Angin pagi berjalan begitu dingin sampai menusuk tulang. Hijau pohon di hutan tak mampu menyelimuti dinginnya angin yang bertiup. Berulang kali si Momo, seekor harimau putih yang memejamkan mata di kamar yang empuk dan mengambil selimutnya. Tapi selimut itu seperti tidak dapat mengalahkan dinginnya angin malam. Ada satu harapan yang terpikir oleh Momo, agar sang mentari cepat muncul dari persembunyiannya. Karena hanya mentarilah yang dapat menaklukan serangan angin yang begitu menyiksanya.
“Hei, mentari cepatlah kau muncul. Dan kau angin, pergilah dari sini.” Kata Momo dengan lantang.
Namun, semakin Momo berteriak, angin pun semakin kencang berjalan dan semakin menggigilah dia.
“Hei angin, kemari kau? Aku tak takut padamu.” Kata Momo yang semakin geram.
Angin pun tak ada yang menghampirinya. Dan kemarahan Momo semakin menjadi-jadi.
“Dimana kau? Aku tak takut. Cepat kemari. Aku Momo, raja hutan tak takut pada siapapun.” Kata Momo semakin kesal.
Angin seolah-olah diam dan tidak mau berkata-kata lagi.
Semakin Momo berusaha menantang angin, angin pun semakin melawan Momo. Dan beranjaklah dia dari tempat tidur. Selimut hangat yang menemaninya tidur dirangkulkannya ke tubuh yang kekar.
Momo berusaha memejamkan mata dan tertidurlah dia. Keesokan harinya,Momo berlari dengan cepat sepulang dari rumah sahabatnya, Sipa, seekor singa betina yang menjadi sahabatnya sejak kecil. Tiba-tiba, Momo menabrak seekor gajah kecil yang sedang berjalan. Dan terjatuhlah keduanya.
“Hei gajah kecil, dimana matamu?”. Kata Momo dengan kemarahannya.
“Sebaiknya kau berjalan dengan hati-hati”. Kata gajah kecil menjelaskan.