Mohon tunggu...
Mohammad Imam Farisi
Mohammad Imam Farisi Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan IPS

FKIP Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

The Death of Expertise: Mengapa Publik Tak Percaya Pakar dan Kepakaran?

8 Juli 2022   08:21 Diperbarui: 8 Juli 2022   09:43 2315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Adalah benar, bahwa "runtuhnya" kepercayaan publik terhadap pakar, kepakaran dan/atau produk kepakaran berupa pengetahuan yang telah mapan (established knowledge) atau dalam istilah Kuhn (1971) "sains normal" (normal science) bukan semata-mata atau "sebagian" karena revolusi industri informasi berbasis internet. 

Sebuah revolusi yang memungkinkan informasi yang tersedia di berbagai kanal seperti Google, Wikipedia, Blog, dll. sangat melimpah, dimana setiap orang bisa mengaksesnya secara mudah, dan gratis.

Dari sisi pakar, analisis Tom Nichols (2017) terhadap fenomena "matinya kepakaran" (The Death of Expertise) dan kampanye anti-sains, anti-intelektual ini menemukan sejumlah korelat yang menjadi penyebab, mengapa publik meninggalkan kaum intelektual, ahli atau pakar dan pengetahuan yang sudah mapan yang selama ini telah menopang peradaban moderen. 

Fenomena ini bisa terjadi karena sifat manusia (termasuk pakar) yang cenderung memiliki bias konfirmasi, juga sebagai konsekuensi logis dari produk modernitas dan kemakmuran yang tak terhindarkan.

Kepakaran vs Kemasyarakatan

Banyak ahli/pakar, dan terutama mereka yang berada di lembaga akademi/universitas, enggan, bahkan menolak dan meninggalkan tugas mereka untuk terlibat dengan publik. 

Mereka lebih memilih dan fokus untuk berinteraksi dengan sesama kolega atau anggota komunitas keilmuan masing-masing, melalui organisasi-organisasi keilmuan atau profesi; forum-forum akademik/ilmiah seperti pertemuan/kongres/konferensi/ seminar ilmiah; dan/atau terbitan berkala ilmiah (jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi atau bereputasi).

Mereka juga lebih tertantang dan dituntut untuk "memelihara tradisi akademik" (maintain academic tradition) dan "unjuk prestasi dan kebanggan akademik" (show academic achievement and pride), daripada membangun jaringan dengan publik melalui karya-karya pengabdiannya. 

Karena itu, tidak heran jika pakar/ahli "berlomba-lomba" untuk mempublikasikan karya-karya ilmiahnya ke jurnal ilmiah dan/atau prosiding yang terakreditasi nasional dan/atau bereputasi internasional; memiliki indeks sitasi yang tinggi; dan memiliki faktor dampak (impact factor) yang bagus, atau lazim disebut "scientometric approach" (Wikipedia). Sebuah fenomena yang sejak awal 2000an menjadi paradigma baru dalam menilai derajat "scholarliness" sebuah karya akademik.

Sementara itu, orang-orang yang mengambil jalan tengah, menjembatani antara pakar dengan publik, atau yang kerap disebut sebagai "intelektual publik" (public intellectuals), menjadi frustrasi dan terpolarisasi. 

Mereka berada di simpang jalan antara menjadi "penyambung aspirasi publik" atau "penyambung aspirasi pakar dan komunitasnya" atau mengambil sikap refleksif dan mandiri diantara kedua aspirasi, yang bisa jadi saling berseberangan.

Projek-projek pengabdian kepada masyarakat (community service, community development, community empowerment) yang secara konseptual-filosofis merupakan "pembumian sains" hasil karya para pakar/ahli/ilmuwan (Farisi, 2022a), "difusi" hasil-hasil inovasi (Rogers, 1983), atau "hilirisasi" hasil-hasil pemikiran/penelitian (Natsir, 2015) kepada (kelompok) masyarakat, juga tidak lebih mendekatkan, apalagi menyatukan, pakar/ahli/perguruan tinggi dengan masyarakat. Satu dan lain hal, karena masyarakat hanya diposisikan dalam peran sebagai "objek binaan/pembaruan" atau "passive recipient" BUKAN sebagai "agent of change" dalam keseluruhan projek abdimas yang bersifat people-centered, participatory (Farisi, 2022b).

Fenomena ini merupakan persoalan klasik dan menjadi kritik paling keras dari publik kepada para pakar/ahli/perguruan tinggi. Publik hanya melihat mereka sebagai "kelompok elit" yang eksklusif, dan distigmasi sebagai "menara gading" (ivory tower) yang menjulang tinggi. Mereka sama sekali tidak acuh, tidak peduli, tidak peka, dan abai terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan, sosiolog Karl Mannheim dan Antonio Gramsci menuduh mereka sebagai pengkhianat, karena hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya, tanpa terlibat dalam kerja-kerja praksis atau melakukan bentuk aktivisme sosial kolektif di masyarakat yang berada di luar tembok kampus (Farisi, 2021).

Appeals to Authority vs to Society

Publik curiga "sebagian" pakar/ahli telah mengabdi dan bekerja untuk para penguasa atau untuk kepentingan kekuasaan (appeals to authority), daripada mengabdi dan bekerja berdasarkan suara dan kepentingan (aspirasi) publik. Publik mencurigai adanya "persekongkolan" antara pakar/ahli/ahli/kalangan perguruan tinggi dengan kekuasan. Termasuk dalam hal ini adalah praktik plagiarisme dan penganugerahan gelar doktor dan jabatan profesor kehormatan yang mengindikasikan adanya "persekongkolan akademisi dan politikus".

Dalam persekongkolan tersebut, peran pakar/ahli/ahli/kalangan perguruan tinggi adalah memberikan pendapat ahli untuk melegitimasi berbagai sikap dan tindakan penguasa yang oleh publik dianggap "berseberangan" dengan kepentingan mereka. Bahkan, mereka kemudian tampil sebagai pemegang kekuasaan dengan melupakan tugas utamanya sebagai pemegang kebenaran dan penjaga moral dan etika masyarakat, bangsa, dan negara.

Fenomena persekongkolan ini oleh Julien Benda (2014) dianggap sebuah bentuk pengkhianatan intelektual (The Treat of the Intellectuals). Pengkhianatan yang terjadi karena kalangan intelektual Perancis waktu itu melakukan korupsi intelektual dengan berkolaborasi dengan Nazi. Para intelektual, kata Benda, telah meninggalkan tugas utamanya yaitu mencari kesenangan dalam praktik seni atau sains atau spekulasi metafisik, dan tidak terlibat dalam kegiatan atau kepemilikan yang memberikan keuntungan material atau mengejar tujuan-tujuan praktis yang bersifat material.

Mereka, para intelektual (des clercs) dituduh telah terlibat dalam kancah politik (kekuasaan), dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, serta menjelma menjadi petualang politik yang sangat menikmati segenggam kekuasaan. Bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan anti-moralitas.

Tesis Benda tersebut ada benarnya dalam konteks apa yang terjadi pada zaman itu (Nies, 1947). Sejalan dengan berkembangnya bidang-bidang pekerjaan yang membutuhkan jasa intelektual, keterlibatan pakar/ahli/ahli/kalangan perguruan tinggi memang tidak seluruhnya bisa dianggap sebagai pengkhianatan. Mereka disebut pengkhianat, jika sebagai cendekiawan atau intelektual di dalam pusaran kekuasaan, tidak lagi komitmen pada fungsi utamanya untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Pengkhianat, jika mereka juga telah lupa diri untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai mutlak dan abadi kemanusiaan. Nilai-nilai yang intrinsik dalam diri manusia, yakni martabat dan harkat manusia yang terungkap dalam nilai-nilai derivatif, seperti kebebasan, keadilan, kerja, politik, dan teknik (Farisi, 2021).

Cendekiawan atau intelektual sebagai pemegang otoritas sah tradisi agung universitas, sejatinya adalah mereka "yang berumah di angin", kata W.S. Rendra. Atau seperti kata Edward Said, mereka adalah sosok yang bebas, independen, dan tak berada dalam sistem (kekuasaan). Mereka, kata Ali Syariati, seorang sosiolog asal Iran, adalah "rauzan fikr" (manusia yang tercerahkan), sosok yang berpijak hanya pada kebenaran yang tinggi, dengan segala nilai-nilai, perspektif, dan norma melekat di dalamnya.

Ketidakhadiran Pakar di Ruang-ruang Publik

Tak dipungkiri, keruntuhan era kepakaran berbarengan dengan terjadinya revolusi industri informasi berbasis internet. Sebuah revolusi yang memungkinkan informasi yang tersedia secara melimpah dan terperikan di berbagai kanal seperti Google, Wikipedia, Blog, dll. Revolusi yang telah menciptakan sebuah dunia yang berorientasi pada informasi (information- oriented world), di mana setiap orang bisa memperolehnya dengan mudah, cepat, dan gratis.

Di satu sisi, revolusi digital, Internet, dan medsos telah menggerus kekuasaan dan kontrol kalangan pakar (intelektual, cendekiawan, ilmuwan) atas wacana akademik dan kebenaran di ranah publik. Kehadiran Internet telah merongrong otoritas para ahli, dan sentimen anti-keahlian dan anti-intelektualisme. Di sisi lain, revolusi digital, Internet, dan medsos juga telah membantu memicu lonjakan egalitarianisme intelektual narsistik dan sesat di ruang-ruang maya publik.

Publik (citizen, netizen) tidak perlu lagi berguru dan belajar melalui jenjang pendidikan yang bisa menguras tenaga, pikiran, biaya, dan waktu. Melalui kanal-kanal Google, Wikipedia, Blog, dll. mereka "mengklaim" bisa belajar secara mandiri dan menjadi pakar, serta membangun kepercayaan diri bahwa mereka pun sebagai ahli dalam segala hal (everyone is as smart as everyone else). Bahkan, kehadiran mereka telah menjadi kekuatan sosial baru yang akan terus berkembang (the developing forces), dan memberikan sesuatu yang berharga bagi dunia melalui posting-posting yang diunggahnya (Farisi, 2022c).

Sayangnya, kehadiran kanal-kanal informasi dan pengetahuan berbasis jaringan/internet ini, tidak segera diantisipasi oleh pakar/ahli dengan turut hadir dan berpartisipasi di dalamnya, melalui tulisan-tulisan kepakaran yang bisa mengedukasi dan mencerahkan publik. Para pakar juga terlambat menyadari bahwa di era kebebasan informasi dan masyarakat bebas dewasa ini, Internet selain merupakan repositori pengetahuan yang luar biasa, namun juga merupakan sumber dan pemicu penyebaran epidemi misinformasi, fake, hoax, dan semacamnya. Internet tidak hanya membuat banyak dari mereka menjadi bodoh, menjadi lebih jahat, lebih sering berdebat daripada berdiskusi, tetapi juga menjadikan mereka cenderung menghina daripada mendengarkan.

Sebuah era kebebasan dan keterbukaan, yang kerap dinisbatkan sebagai "Post-Truth Era", dimana fakta, realitas, kebenaran tidak lagi menjadi otoritas mutlak kalangan intelektual yang lahir dari dan diproduksi oleh tradisi universiter yang sangat ketat dan canggih. Sebuah era, ketika perdebatan tentang kebenaran lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebenaran itu sendiri. Sebuah era, tatkala kebenaran dibangun di atas fondasi kebohongan dan hoaks yang terus-menerus dinarasikan yang kemudian dianggap dan diyakini sebagai sebuah kebenaran, atau sebuah era, ketika fakta tidak lagi terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Farisi, 2021a). Sebuah era, yang diyakini telah "menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan" melalui konflik, kerusuhan, pembunuhan yang ditimbulkannya (Maulana, 2021).

Dalam konteks ini, kehadiran pakar dan kepakaran di ruang-ruang dan kanal-kanal berbagi informasi dan pengetahuan sangat penting dan niscaya, agar ikhtiar kepakaran untuk membangun diskursus tentang peradaban manusia yang egaliter yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan tidak menjadi absurd (Farisi, 2021b).

Para pakar harus memiliki kesadaran dan politik media sosial. Sebuah kesadaran dan politik kecendekiaan yang dilandasi oleh nilai-nilai kepakaran untuk menciptakan dan mengembangkan budaya partisipatif dan politik aktif publik di ruang-ruang virtual berjejaring. Melalui kesadaran dan politik media sosial ini, kehadiran pakar dan kepakarannya diharapkan mampu membangun medsos sebagai ruang demokratis yang berkeadaban yang mampu menciptakan warganet (netizen) yang beradab (civilized netizen) sebagai basis network society. Hal mana sama pentingnya dengan tanggung jawab untuk membangun warganegara (citizen) yang baik (good citizen) sebagai basis civil society (Farisi, 2021c).  

Kesalahan Pakar 

"Experts are not infallible. They have made terrible mistakes, with ghastly consequences" (p.10), kata Nichols. Kesahan bisa terjadi karena berbagai hal, seperti kesengajaan, penipuan (falsifikasi, fabrikasi), arogansi atas kepercayaan diri yang berlebihan, atau juga karena faktor manusiawi biasa. Karenanya, tidak sedikit hasil-hasil pemikiran dan penelitian hasil atau produk kepakaran yang kemudian "salah", tidak terbukti secara empiris/sosiologis, menyebabkan kerugian atau petaka bagi alam dan manusia, serta menimbulkan "distrust" kepada pakar dan kepakarannya.

Kesalahan, sekecil apapun, tak bisa didiamkan tanpa dikomunikasikan. Karenanya, sangat penting bagi pakar untuk memberikan pengertian dan edukasi kepada publik, bagaimana, dan mengapa kesalahan itu terjadi, dan mengapa pula ahli/pakar bisa berbuat salah. Edukasi dan diseminasi hasil-hasil pemikiran dan penelitian pakar merupakan ruang dialog antara pakar-publik untuk menciptakan publik sebagai konsumen ahli yang cerdas. Bukan sekedar konsumen pasif yang hanya menerima saja produk kepakaran.

Selain itu edukasi dan diseminasi sangat penting untuk membangun keyakinan publik tentang cara-cara para ahli membangun kepakarannya. Jika hal ini tidak dilakukan dan diabaikan, setiap kesalahan yang dilakukan oleh para ahli, sekecil apapun, akan menjadi umpan bagi publik untuk menyerang kepakaran mereka, yang pada akhirnya akan berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap profesi atau kepakaran mereka.

Betapapun, dalam situasi dilematis ini, kehadiran pakar dan kepakarannya tetap dibutuhkan oleh publik, untuk menjaga dan mengedukasi publik dan juga penguasa agar demokrasi tetap berjalan sesuai dengan rel dan koridor yang sudah disepakati bersama, dan tidak mengalami kemunduran menuju teknokrasi otoriter. Pakar harus mampu membuat demarkasi yang jelas dan tegas yang membedakan dirinya dengan warga kebanyakan, dan terutama dengan pimpinan politik dan pemegang kekuasaan.

Keyakinan dan motivasi ini pula yang melatarbelakangi mengapa Nichols menulis buku "The Death of Expertise". "The experts have an obligation to help (public, laypeople, elites, citizens, leaders, etc.). That's why I wrote this book." (p. 12).

Jember, 8 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun