Mohon tunggu...
Mohammad Imam Farisi
Mohammad Imam Farisi Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan IPS

FKIP Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

The Death of Expertise: Mengapa Publik Tak Percaya Pakar dan Kepakaran?

8 Juli 2022   08:21 Diperbarui: 8 Juli 2022   09:43 2315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Projek-projek pengabdian kepada masyarakat (community service, community development, community empowerment) yang secara konseptual-filosofis merupakan "pembumian sains" hasil karya para pakar/ahli/ilmuwan (Farisi, 2022a), "difusi" hasil-hasil inovasi (Rogers, 1983), atau "hilirisasi" hasil-hasil pemikiran/penelitian (Natsir, 2015) kepada (kelompok) masyarakat, juga tidak lebih mendekatkan, apalagi menyatukan, pakar/ahli/perguruan tinggi dengan masyarakat. Satu dan lain hal, karena masyarakat hanya diposisikan dalam peran sebagai "objek binaan/pembaruan" atau "passive recipient" BUKAN sebagai "agent of change" dalam keseluruhan projek abdimas yang bersifat people-centered, participatory (Farisi, 2022b).

Fenomena ini merupakan persoalan klasik dan menjadi kritik paling keras dari publik kepada para pakar/ahli/perguruan tinggi. Publik hanya melihat mereka sebagai "kelompok elit" yang eksklusif, dan distigmasi sebagai "menara gading" (ivory tower) yang menjulang tinggi. Mereka sama sekali tidak acuh, tidak peduli, tidak peka, dan abai terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan, sosiolog Karl Mannheim dan Antonio Gramsci menuduh mereka sebagai pengkhianat, karena hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya, tanpa terlibat dalam kerja-kerja praksis atau melakukan bentuk aktivisme sosial kolektif di masyarakat yang berada di luar tembok kampus (Farisi, 2021).

Appeals to Authority vs to Society

Publik curiga "sebagian" pakar/ahli telah mengabdi dan bekerja untuk para penguasa atau untuk kepentingan kekuasaan (appeals to authority), daripada mengabdi dan bekerja berdasarkan suara dan kepentingan (aspirasi) publik. Publik mencurigai adanya "persekongkolan" antara pakar/ahli/ahli/kalangan perguruan tinggi dengan kekuasan. Termasuk dalam hal ini adalah praktik plagiarisme dan penganugerahan gelar doktor dan jabatan profesor kehormatan yang mengindikasikan adanya "persekongkolan akademisi dan politikus".

Dalam persekongkolan tersebut, peran pakar/ahli/ahli/kalangan perguruan tinggi adalah memberikan pendapat ahli untuk melegitimasi berbagai sikap dan tindakan penguasa yang oleh publik dianggap "berseberangan" dengan kepentingan mereka. Bahkan, mereka kemudian tampil sebagai pemegang kekuasaan dengan melupakan tugas utamanya sebagai pemegang kebenaran dan penjaga moral dan etika masyarakat, bangsa, dan negara.

Fenomena persekongkolan ini oleh Julien Benda (2014) dianggap sebuah bentuk pengkhianatan intelektual (The Treat of the Intellectuals). Pengkhianatan yang terjadi karena kalangan intelektual Perancis waktu itu melakukan korupsi intelektual dengan berkolaborasi dengan Nazi. Para intelektual, kata Benda, telah meninggalkan tugas utamanya yaitu mencari kesenangan dalam praktik seni atau sains atau spekulasi metafisik, dan tidak terlibat dalam kegiatan atau kepemilikan yang memberikan keuntungan material atau mengejar tujuan-tujuan praktis yang bersifat material.

Mereka, para intelektual (des clercs) dituduh telah terlibat dalam kancah politik (kekuasaan), dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, serta menjelma menjadi petualang politik yang sangat menikmati segenggam kekuasaan. Bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan anti-moralitas.

Tesis Benda tersebut ada benarnya dalam konteks apa yang terjadi pada zaman itu (Nies, 1947). Sejalan dengan berkembangnya bidang-bidang pekerjaan yang membutuhkan jasa intelektual, keterlibatan pakar/ahli/ahli/kalangan perguruan tinggi memang tidak seluruhnya bisa dianggap sebagai pengkhianatan. Mereka disebut pengkhianat, jika sebagai cendekiawan atau intelektual di dalam pusaran kekuasaan, tidak lagi komitmen pada fungsi utamanya untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Pengkhianat, jika mereka juga telah lupa diri untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai mutlak dan abadi kemanusiaan. Nilai-nilai yang intrinsik dalam diri manusia, yakni martabat dan harkat manusia yang terungkap dalam nilai-nilai derivatif, seperti kebebasan, keadilan, kerja, politik, dan teknik (Farisi, 2021).

Cendekiawan atau intelektual sebagai pemegang otoritas sah tradisi agung universitas, sejatinya adalah mereka "yang berumah di angin", kata W.S. Rendra. Atau seperti kata Edward Said, mereka adalah sosok yang bebas, independen, dan tak berada dalam sistem (kekuasaan). Mereka, kata Ali Syariati, seorang sosiolog asal Iran, adalah "rauzan fikr" (manusia yang tercerahkan), sosok yang berpijak hanya pada kebenaran yang tinggi, dengan segala nilai-nilai, perspektif, dan norma melekat di dalamnya.

Ketidakhadiran Pakar di Ruang-ruang Publik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun