Tak dipungkiri, keruntuhan era kepakaran berbarengan dengan terjadinya revolusi industri informasi berbasis internet. Sebuah revolusi yang memungkinkan informasi yang tersedia secara melimpah dan terperikan di berbagai kanal seperti Google, Wikipedia, Blog, dll. Revolusi yang telah menciptakan sebuah dunia yang berorientasi pada informasi (information- oriented world), di mana setiap orang bisa memperolehnya dengan mudah, cepat, dan gratis.
Di satu sisi, revolusi digital, Internet, dan medsos telah menggerus kekuasaan dan kontrol kalangan pakar (intelektual, cendekiawan, ilmuwan) atas wacana akademik dan kebenaran di ranah publik. Kehadiran Internet telah merongrong otoritas para ahli, dan sentimen anti-keahlian dan anti-intelektualisme. Di sisi lain, revolusi digital, Internet, dan medsos juga telah membantu memicu lonjakan egalitarianisme intelektual narsistik dan sesat di ruang-ruang maya publik.
Publik (citizen, netizen) tidak perlu lagi berguru dan belajar melalui jenjang pendidikan yang bisa menguras tenaga, pikiran, biaya, dan waktu. Melalui kanal-kanal Google, Wikipedia, Blog, dll. mereka "mengklaim" bisa belajar secara mandiri dan menjadi pakar, serta membangun kepercayaan diri bahwa mereka pun sebagai ahli dalam segala hal (everyone is as smart as everyone else). Bahkan, kehadiran mereka telah menjadi kekuatan sosial baru yang akan terus berkembang (the developing forces), dan memberikan sesuatu yang berharga bagi dunia melalui posting-posting yang diunggahnya (Farisi, 2022c).
Sayangnya, kehadiran kanal-kanal informasi dan pengetahuan berbasis jaringan/internet ini, tidak segera diantisipasi oleh pakar/ahli dengan turut hadir dan berpartisipasi di dalamnya, melalui tulisan-tulisan kepakaran yang bisa mengedukasi dan mencerahkan publik. Para pakar juga terlambat menyadari bahwa di era kebebasan informasi dan masyarakat bebas dewasa ini, Internet selain merupakan repositori pengetahuan yang luar biasa, namun juga merupakan sumber dan pemicu penyebaran epidemi misinformasi, fake, hoax, dan semacamnya. Internet tidak hanya membuat banyak dari mereka menjadi bodoh, menjadi lebih jahat, lebih sering berdebat daripada berdiskusi, tetapi juga menjadikan mereka cenderung menghina daripada mendengarkan.
Sebuah era kebebasan dan keterbukaan, yang kerap dinisbatkan sebagai "Post-Truth Era", dimana fakta, realitas, kebenaran tidak lagi menjadi otoritas mutlak kalangan intelektual yang lahir dari dan diproduksi oleh tradisi universiter yang sangat ketat dan canggih. Sebuah era, ketika perdebatan tentang kebenaran lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebenaran itu sendiri. Sebuah era, tatkala kebenaran dibangun di atas fondasi kebohongan dan hoaks yang terus-menerus dinarasikan yang kemudian dianggap dan diyakini sebagai sebuah kebenaran, atau sebuah era, ketika fakta tidak lagi terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Farisi, 2021a). Sebuah era, yang diyakini telah "menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan" melalui konflik, kerusuhan, pembunuhan yang ditimbulkannya (Maulana, 2021).
Dalam konteks ini, kehadiran pakar dan kepakaran di ruang-ruang dan kanal-kanal berbagi informasi dan pengetahuan sangat penting dan niscaya, agar ikhtiar kepakaran untuk membangun diskursus tentang peradaban manusia yang egaliter yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan tidak menjadi absurd (Farisi, 2021b).
Para pakar harus memiliki kesadaran dan politik media sosial. Sebuah kesadaran dan politik kecendekiaan yang dilandasi oleh nilai-nilai kepakaran untuk menciptakan dan mengembangkan budaya partisipatif dan politik aktif publik di ruang-ruang virtual berjejaring. Melalui kesadaran dan politik media sosial ini, kehadiran pakar dan kepakarannya diharapkan mampu membangun medsos sebagai ruang demokratis yang berkeadaban yang mampu menciptakan warganet (netizen) yang beradab (civilized netizen) sebagai basis network society. Hal mana sama pentingnya dengan tanggung jawab untuk membangun warganegara (citizen) yang baik (good citizen) sebagai basis civil society (Farisi, 2021c). Â
Kesalahan PakarÂ
"Experts are not infallible. They have made terrible mistakes, with ghastly consequences" (p.10), kata Nichols. Kesahan bisa terjadi karena berbagai hal, seperti kesengajaan, penipuan (falsifikasi, fabrikasi), arogansi atas kepercayaan diri yang berlebihan, atau juga karena faktor manusiawi biasa. Karenanya, tidak sedikit hasil-hasil pemikiran dan penelitian hasil atau produk kepakaran yang kemudian "salah", tidak terbukti secara empiris/sosiologis, menyebabkan kerugian atau petaka bagi alam dan manusia, serta menimbulkan "distrust" kepada pakar dan kepakarannya.
Kesalahan, sekecil apapun, tak bisa didiamkan tanpa dikomunikasikan. Karenanya, sangat penting bagi pakar untuk memberikan pengertian dan edukasi kepada publik, bagaimana, dan mengapa kesalahan itu terjadi, dan mengapa pula ahli/pakar bisa berbuat salah. Edukasi dan diseminasi hasil-hasil pemikiran dan penelitian pakar merupakan ruang dialog antara pakar-publik untuk menciptakan publik sebagai konsumen ahli yang cerdas. Bukan sekedar konsumen pasif yang hanya menerima saja produk kepakaran.
Selain itu edukasi dan diseminasi sangat penting untuk membangun keyakinan publik tentang cara-cara para ahli membangun kepakarannya. Jika hal ini tidak dilakukan dan diabaikan, setiap kesalahan yang dilakukan oleh para ahli, sekecil apapun, akan menjadi umpan bagi publik untuk menyerang kepakaran mereka, yang pada akhirnya akan berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap profesi atau kepakaran mereka.