Pertama, peneliti lebih secure untuk menyimpan dan mendokumentasikan setiap dokumen/bukti penggunaan dana DARIPADA dokumen/bukti penelitian. Kedua, peneliti melakukan "fabrikasi dan/atau falsifikasi" dokumen/bukti penggunaan dana untuk meminimalisasi/men-zero-kan pengembalian dana. Apalagi peneliti (ketua dan anggota) tidak memperoleh honorarium.
Ketiga, jika peneliti kurang memiliki komitmen dan tanggung jawab keilmuan yang kuat atas penelitian yang dilakukan, maka bisa diprediksi kualitas hasil penelitian pun bisa dipertanyakan dengan membuat laporan penelitian asal jadi.
Keempat, peneliti mengalami “de-motivasi” untuk mengajukan pendanaan penelitian, dan memilih melakukan projek penelitian mandiri dengan biaya sendiri. Sehingga, peneliti bisa lebih fokus pada kualitas proses dan hasil penelitian. Tanpa terdistorsi oleh tuntutan kewajiban pertanggungjawaban keuangan.
Kelima, tugas dan tanggung jawab dari Komite Penilaian dan/atau Reviewer Keluaran Penelitian dan lembaga/instansi pemberi dana pun bertambah kompleks. Mereka tidak hanya menilai kelayakan keluaran/sub keluaran, tetapi juga menilai keabsahan dan akuntabilitas setiap detail dokumen/bukti penggunaan dana. Sebuah tugas tambahan yang tidak diatur di dalam Permenristekdikti No. 27/2019 pasal 6 ayat (2) jo No. 69/2016 pasal 6 ayat (2).
Permenristekdikti hanya mengatur tugas Komite Penilaian dan/atau Reviewer Keluaran Penelitian untuk "menilai kelayakan antara keseluruhan biaya yang telah diberikan/disetujui dengan keluaran/sub keluaran yang dicapai". Tidak menilai detail/rincian biaya sebagaimana ditetapkan oleh paradigma PMK-SBM. Jika keluaran/sub keluaran penelitian dinilai "tidak layak dan tidak setuju", sanksinya tidak berupa pengembalian dana (sebagian atau seluruhnya) seperti pada paradigma PMK-SBM, melainkan Ketua Peneliti tidak diizinkan untuk mengajukan/menjadi Ketua Peneliti pada proposal penelitian pada tahun anggaran berikutnya, tergantung pada klausul yang diatur di dalam Kontrak Penelitian.
Dualisme paradigma PMK bidang penelitian ini perlu mendapatkan perhatian serius dan bisa segera diklirkan dan diakhiri. Terutama oleh dua institusi keuangan, yaitu pembuat kebijakan keuangan (Kemenkeu) dan pemeriksa laporan keuangan (BPK), dengan membuat demarkasi yang jelas antara SBM dan SBK, termasuk bentuk pertanggungjawabannya. Mengacu pada PMK No. 232/PMK.02/2020, model pertanggungjawaban penggunaan dana/biaya penelitian seharusnya tetap konsisten menggunakan referensi tunggal, yaitu PMK-SBK.
Karena SBM adalah mengatur dan menetapkan besaran satuan biaya untuk menyusun biaya komponen keluaran (output). Artinya, SBM hanya digunakan sebagai referensi untuk menyusun dan menilai kelayakan besaran biaya/dana yang diusulkan/disetujui,
BUKAN sebagai referensi pertanggungjawaban penggunaan dana dari kegiatan penelitian yang berbasis keluaran (output/sub output) yang sejatinya sudah ditetapkan di dalam SBK. Karena sejatinya, besaran biaya untuk menghasilkan keluaran (output/sub output) sebagaimana ditetapkan di dalam PMK-SBK sudah memperhitungkan struktur biaya komponen keluaran penelitian yang ada di dalam SBM.
Jika penggunaan referensi dan paradigma tunggal dalam penelitian ini bisa dilakukan (hanya menggunakan PMK-SBK), maka peneliti/tim peneliti cukup menyampaikan Laporan Penelitian atau Naskah Kebijakan sebagai output projek penelitiannya sesuai dengan kualifikasi standar kualitas yang telah disetujui dan ditetapkan oleh Komite Penilaian atau Reviewer Keluaran Penelitian.
Selain itu, dampak negatif yang ditimbulkan akibat adagium klasik tersebut di atas, bisa diminimalisasi, dan dampak positifnya dapat ditingkatkan secara signifikan. SEMOGA.
Tangsel, 11 Mei 2022