Mohon tunggu...
Mohammad Imam Farisi
Mohammad Imam Farisi Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan IPS

FKIP Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tafsir Baru SU 1 Maret 1949?

16 Maret 2022   08:43 Diperbarui: 16 Maret 2022   08:50 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tafsir baru ini tentu akan ditentang keras oleh tafsir sebelumnya yang sudah menjadi mainstream yang telah dibangun sejak tahun akhir 1970an melalui dramatisasi film-film heroisme glorifikasi seperti “Janur Kuning” (1979) dan ”Serangan Fajar” (1982), yang menempatkan Letkol Suharto sebagai tokoh utama. Bahkan, film-film tersebut menjadi film wajib tonton bagi siswa. Efek dramatisasi seperti itu niscaya menimbulkan kesan mendalam yang sulit digantikan. Dalam konteks ini, apapun bukti, fakta dan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dihadirkan, ketika semua itu tak terjelaskan oleh paradigma lama yang sudah dianggap mapan, akan dianggap sebagai sebuah anomali, dan "bukan fakta sejarah". Demikian pula sebailknya.

Inilah yang menjadi motivasi utama mengapa para penulis Naskah Akademik merasa perlu untuk menulis ulang sejarah sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, dengan menempatkan peran tokoh-tokoh utama dimaksud pada posisi yang semestinya. Di sisi lain, Keppres berupaya membangun paradigma baru tentang sejarah dan pahlawan sebagai “peristiwa kolektif,” yang melibatkan peran banyak tokoh, bukan hanya terpusat pada “seorang tokoh” saja. Atau seperti kata Adian Napitupulu (09/03/2022), Keppres HPKN selain berupaya meluruskan sejarah terkait gagasan, ide dan perintah tentang SU 1 Maret 1949, juga merupakan upaya "menjaga" nama Soeharto dengan membatasi agar tidak terjadi klaim berlebihan terhadap peristiwa sejarah tersebut.

Sejarah bangsa/nasional sesungguhnya bukanlah sejarah tentang orang-orang secara “individual/personal” yang pada akhirnya berujung pada “kultus pribadi”. Sejarah adalah bangsa/nasional sejatinya memuat perjuangan sebuah bangsa/negara secara kolektif, sebuah “sejarah kolektif”. Semoga Keppres HPKN ini menjadi momentum bagi kita untuk mengakhiri sejarah seperti ini, dan lebih pada perjuangan kolektif seluruh bangsa, walaupun tentu ada tokoh yang menjadi penggagas dan penggeraknya.

Namun yang pasti, historiografi akan selalu ditafsir dan ditulis ulang oleh setiap generasi dengan semangat zaman dan perspektif masing-masing. Karenanya, tak ada tafsir sejarah yang bersifat tunggal. Seperti sejarah Supersemar, peristiwa SU 1 Maret 1949 juga masih penuh kontrovesi, dan memiliki beberapa versi, yang masing-masing menganggap versinya yang paling benar  (p2k.unkris.ac.id/).

 Tangsel, 14 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun