Kehadiran medsos tampaknya tidak lagi hanya sebatas ruang berbagi informasi, berjejaring sosial, bersosialisasi, atau berasosiasi di era digital. Medsos adalah sebuah fakta sosial baru di era digital dengan segala aspek positif dan negatifnya bagi publik (Farisi, 2022a). Bahkan, terkadang medsos memainkan peran peradilan di luar pengadilan atau mahkamah, yang dikenal dengan istilah "trial by the netizen atau trial by the social media" (Farisi, 2021a).Â
Kehadirannya tidak lagi hanya menjadi media alternatif yang berani mengambil sikap berbeda, tetapi, sekaligus menjadi "media tandingan" bagi media arus utama (Farisi, 2022b). Bahkan, seperti ditunjukkan oleh hasil review Gilardi (2016), adalah fakta bahwa media sosial sebagai jurnalisme netizen telah berdampak terhadap perubahan cara kerja demokrasi seperti bagaimana mobilisasi politik dan kampanye, polarisasi politik, perangkat pemerintahan, dan kelangsungan hidup rezim berkuasa. Hal ini salah satunya ditunjukkan oleh munculnya fenomena teranyar di ruang medsos yang cukup menarik dan menghentak pada akhir tahun 2021 (Oktober---Desember).
Â
Viral for Justice: Antara Kecewa dan HarapanÂ
Fenomena tersebut tidak lain adalah isu "Viral for Justice" atau "No Viral No Justice", yang kemudian diikuti oleh tagar #PercumaLporPolisi, #SatuHariSatuOknum, hingga #PercumaAdaPolisi. Isu yang dibawa adalah bahwa aparat penegak hukum (kepolisian) seharusnya mampu melaksanakan penegakan hukum secara adil bagi setiap warga, tanpa diskriminasi apapun (equality before the law). Berdasarkan catatan Kompas (17/12/2021), setidaknya, ada empat kasus viral yang ditangani oleh kepolisian di tahun 2021. Tetapi, tidak mendapatkan respon yang memadai dalam persepsi WargaNet. Yaitu: pelecehan seksual pegawai KPI (September); pemerkosaan tiga anak di Luwu Utara (Oktober); kasus bunuh diri mahasiswi NWR (Desember); dan kasus warga Pulogadung yang menjadi korban pencurian (Desember).
Di satu sisi, fenomena ini mengekspresikan kekecewaan WargaNet atas kinerja aparat kepolisian yang dianggap "abai, kurang peduli/responsif" terhadap kasus-kasus yang menimpa masyarakat kecil. Tetapi, fenomena ini juga sekaligus memuat harapan besar WargaNet agar aparat kepolisian bisa menegakkan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum. Pada titik ini, medsos telah menjelma sebagai "alat penegakan hukum" (law enforcement tools).Â
Di sisi lain, fenomena ini merupakan bentuk mobilisasi populis (pengguna internet/media sosial) dalam ruang digital, dan merupakan simbol dari kebangkitan media sosial (medsos) sebagai kekuatan penekan (pressure group).Â
Â
Kilasan Sejarah
Sejatinya, fenomena seperti "Viral for Justice" atau "No Viral No Justice" bukan hal baru. Bila dirunut, dalam sejarah medsos di Indonesia kemunculan medsos sebagai kekuatan atau kelompok penekan (pressure group) pernah terjadi beberapa kali, serta berdampak signifikan dan sistemik terhadap kebijakan publik.
Pada tahun 2009 muncul fenomena perseteruan antarlembaga penegak hukum, yaitu Polri dan KPK yang kemudian dipersepsi kasus bernuansa kriminalisasi KPK dan menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice). Fenomena ini disimbolisasi dalam analog "Cicak vs Buaya". Dalam catatan, kasus ini terjadi dalam 3(tiga) jilid pada dua masa kepresidenan. Jilid I (2009) terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK; Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi. Tak pelak, Presiden SBY pun angkat bicara. Jilid II (2012) terjadi KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Aksi KPK ini mendapatkan reaksi dari pihak Polri untuk menangkap penyidik KPK, Komisaris NB yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. Kembali Presiden SBY angkat bicara. Jilid III (2015) terjadi ketika KPK menetapkan Komjen BG sebagai tersangka. Aksi ini direaksi oleh kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK, BW. Kasus inipun viral dan menjadi trending topik dengan taar #SaveKPK dan #SavePOLRIKPK. Seperti kasus jilid I & II, pada kasus Cicak vs Buaya jilid III Presiden JW pun angkat bicara setelah viral #WhereAreYouJokowi, dan Komjen BG batal dilantik menjadi Kapolri.