Generalisasi pada Penelitian Kuantitatif
Generalisasi dalam tradisi penelitian kuantitatif merupakan simpulan akhir dari hasil uji deduktif atas hipotesis-hipotesis yang telah diuji (hypothesis testing) secara empirik. Sementara, hipotesis-hipotesis tersebut secara teoretik diturunkan dari substantive theory. Generalisasi ini dinamakan generalisasi empirik (empirical generalization), yang merupakan pernyataan ilmiah yang bersifat deskriptif dan konkret tentang hubungan atau pengaruh antarvariabel yang diyakini beroperasi secara empirik. Dalam struktur tubuh ilmu pengetahuan, generalisasi ini menempati level bawah (low-level generalization) (Neuman, 2014).
Dalam penelitian kuantitatif, generalisasi disusun dan dirumuskan secara empirik atas dasar atau "berbasis sampel" (sample-based generalization) tanpa mempertimbangkan konteks di mana sampel penelitian berada (context-free generalization). Karenanya, ketepatan penarikan sampel yang diklaim sebagai representasi dari populasi penelitian sangat krusial untuk menjamin akurasi, validitas, dan reliabilitas generalisasi yang disusun/dirumuskan dan akan diberlakukan untuk seluruh populasi. Penelitian apapun menjadi tidak bernilai secara metodologis, teoretis, dan praktis apabila sampel yang digunakan tidak memenuhi persyaratan akurasi, validitas, dan reliabilitas (Neuman, 2014; Losh & Carol, 2000).
Kesalahan dalam pemilihan teknik pengambilan sampel (sampling error) akan menghasilkan rumusan generalisasi yang salah, dan cacat prosedural, metodologis, dan teoretik. Dengan kata lain, persoalan penting dan krusial dalam penelitian kuantitatif dalam rangka penyusunan dan perumusan generalisasi adalah persoalan "representativitas sampel".
Representativitas sampel ini menjadi semakin krusial, manakala generalisasi-generalisasi yang dihasilkan dari berbagai hasil studi empirik tersebut akan diberlakukan kepada populasi yang lebih luas melalui kajian meta-analisis, atau melalui penelitian "generalisasi validitas" (Ulfa & Pada, 2014). Melalui meta-analisis, peneliti bisa merumuskan simpulan-simpulan yang lebih general hingga pada tataran teori melalui teknik inventori proposisi, yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin untuk dilakukan dan dicapai dengan metode riset yang lain. Generalisasi hasil meta-analisis ini merupakan Teori Tengahan (Middle-Range Theory) (Rogers, 2003),
Hal penting yang juga harus dilakukan peneliti dalam melakukan meta-analisis adalah evaluasi dan koreksi terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan, perbedaan atau variasi, validitas terkait dengan: (1) ukuran sampel (sample size), (2) pengukuran variabel (measures of variables), (3) kualitas metode penelitian (methodological quality), (4) ukuran dampak variable (size of the effects of variables) (Neuman, 2014), dan (5) faktor reactive effect terkait dengan perhitungan dampak dari pengaruh pre-test dan variabel-variabel personal (misal. pengalaman pribadi, persepsi, kedewasaan, dll.) dalam penelitian eksperimen yang berakibat pada terciptanya generalisasi yang bias (Ulfa & Pada, 2014), atau bahkan "overgeneralization" yang mengasumsikan generalisasi tersebut bisa diterapkan atau berlaku dalam berbagai situasi. Topik tentang meta-analisis ini bisa dicermati di dalam artikel "Meta-Riset dan Kisah Lain Penemuan Ilmiah" (Farisi, 2022).
Generalisasi pada Penelitian Kualitatif
Berbeda pada tradisi kuantitatif, generalisasi pada tradisi kualitatif BUKAN hasil uji-deduktif atas hipotesis-hipotesis secara empiric, melainkan merupakan konseptualisasi dan teoresasi secara induktif (inductive conceptualizing/theorizing) atau konseptualisasi dan teoresasi secara membumi (grounded theorizing) dari hasil/temuan penelitian lapangan.
Generalisasi kualitatif ini memuat pernyataan ilmiah yang memperlihatkan adanya hubungan dan/atau pengaruh diantara berbagai konteks penelitian (fenomena/peristiwa/situasi). Berbeda dengan penelitian kuantitatif, dalam tradisi kualitatif, konteks penelitian (sosial, budaya, ekonomi, dll.) memiliki peran dan pengaruh sentral dalam membentuk pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan seseorang (subjek, partisipan) yang menjadi objek penelitian; serta bagaimana pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan seseorang dipahami.
Berdasarkan unit analisisnya, penelitian kualitatif ada yang bersifat "mikro, makro, dan makro analisis" (micro, macro, meso analysis). Unit analisis mikro-analisis adalah interaksi tatap-muka antar-individu atau keterlibatan seseorang dalam kontak/relasi personal dalam sebuah konteks tertentu. Unit analisis makro-analisis adalah peristiwa, proses, pola, dan struktur yang terjadi di dalam unit-unit sosial skala besar. Sedangkan unit analisis meso-analisis adalah organisasi, gerakan, atau komunitas social di dalam unit-unit sosial. Generalisasi yang dihasilkan dari konseptualisasi dan teoresasinya pun bisa berupa "micro-level theory, macro-level theory, dan/atau meso-level theory", dengan konteks yang juga berbeda untuk masing-masing unit analisis pun.
Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak dapat berdiri sendiri atau terlepas tanpa melihat konteksnya, yang diyakini mempengaruhi setiap pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan subjek atau partisipan di dalam mana hal itu terjadi/dibentuk (McMillan & Schumacher 2001; Johnson & Christensen, 2014). Karenanya, dalam tradisi penelitian kualitatif, generalisasi TIDAK disusun dan dirumuskan atas dasar pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan subjek atau partisipan an-sich, melainkan didasarkan atau atau "berbasis konteks" (context-based generalization, context-bound generalization) (McMillan & Schumacher, 2001:21). Konteks sebagai basis perumusan/penyusunan generalisasi sebagai temuan/hasil akhir penelitian ini dalam filsafat ilmu dikenal sebagai "kontenks penemuan" (context of discovery) atau "konteks penelitian" (context of inquiry) (Reichenbach, 1938; Blackwell, 1980; Hoyningen-Huene, 1986).