Mohon tunggu...
Annissa Haq
Annissa Haq Mohon Tunggu... -

One In A Million!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Reklamasi dan Suara dari Ibu Kota hingga Pulau Dewata

23 Mei 2018   17:42 Diperbarui: 23 Mei 2018   18:29 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media Revolution (vhttp://www.lesmarquesalaloupe.com)

Reklamasi juga dinilai akan menyebabkan kesenjangan sosial yang semakin besar. Proyek ini dinilai hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. Hal tersebut tak bisa dipungkiri, karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan reklamasi, sehingga tak sedikit yang menganggap program ini tidak ramah bagi seluruh lapisan masyarakat.

From Tweet to The Street

Social Media Revolution (vhttp://www.lesmarquesalaloupe.com)
Social Media Revolution (vhttp://www.lesmarquesalaloupe.com)

Fenomena menarik dari respon masyarakat terhadap kedua proyek reklamasi ini adalah wacana yang bergulir di sosial media. Facebook, Twitter, microblog, youtube serta tak ketinggalan petisi online di change.org menjadi kanal informasi dan produksi wacana penolakan reklamasi. Bahkan social media activism ini berhasil menghimpun massa yang akhirnya turun dalam sebuah aksi nyata penolakan reklamasi, terutama yang dilakukan ForBali terkait tolak reklamasi Benoa. (Lim, M: 2013). Poin penting dalam social media activism adalah pembentukan narasi (dan tekait metanarasi seperti agama dan nasionalisme), munculnya simbolisme, dan lite package.

ForBali berhasil menggaungkan gerakan tolak reklamasi Benoa. Hal ini tak terlepas dari narasi yang mengakitkan narasi adat relijius Hindu Bali (Tri Hita Karana) dalam tolak reklamasi. Pada masyarakat Bali yang homogen dan tergolong masyarakat paguyuban (Gemeinschaft), solidaritas tolak reklamasi Benoa terbentuk dengan mudah cepat dan menjadi semakin besar, dikarenakan ikatan adat dan keagamaan yang cenderung kuat. Selain itu narasi tolak reklamasi juga cenderung mudah "dicerna" oleh para netizen secara luas, di mana secara sederhana diangkat reklamasi vs tolak reklamasi.

Hal ini sedikit berbeda dengan reklamasi Teluk Jakarta. Masyarakat urban Jakarta heterogen dan merupakan masyarakat patembayan (Gesselschaft) dengan ikatan yang cenderung longgar serta individualistik. Isu kehidupan nelayan dan kesenjangan sosial, keadilan ekologi dan HAM menjadi narasi kompleks yang mengisi penolakan reklamasi Teluk Jakarta.

ForBali sendiri menjadi simbol pemersatu dari aksi penolakan Reklamasi Benoa. Selain itu, Bali sendiri sudah sejak lama menjadi ikon pariwisata dan sarta keindahan,sehingga banyak muncul penolakan bahkan dari luar Bali terkait reklamasi, karena diasosiasikan merusak keindahan lingkungan Bali. Berbeda dengan Teluk Jakarta yang cenderung tidak memiliki sebuah simbol sebagai penolakan bersama. Di samping itu, Teluk Jakarta banyak diidentikkan sebagai daerah yang kumuh.

Terakhir, ForBali juga dengan apik mengemas aksi mereka lekat dengan unsur seni dan cara yang populer. Contohnya adalah melalui kampanye online dan penjualan online kaos kampanya Tolak Reklamasi Benoa, yang menyajikan ikon populer di dalamnya. Sejauh dilihat, hal tersebut tidak dilakukan sebagai bagian dari kampanye Tolak Reklamasi Jakarta.

Dari berbagai sumber.

Oleh: Annissa Haq,  Alve Hadika,  Abetnego Panca Putra Tarigan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun