Mohon tunggu...
Annissa Haq
Annissa Haq Mohon Tunggu... -

One In A Million!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Reklamasi dan Suara dari Ibu Kota hingga Pulau Dewata

23 Mei 2018   17:42 Diperbarui: 23 Mei 2018   18:29 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Tolak Reklamasi (nasional.tempo.co)

                                                                                                             

Reklamasi menjadi rencana pembangunan yang masuk ke dalam agenda pembangunan berbagai wilayah pesisir di Indonesia. Namun, dari sepanjang garis pantai laut Indonesia dengan (rencana) reklamasinya, terdapat dua proyek reklamasi yang menyedot perhatian publik sejak beberapa tahun terakhir. Proyek tersebut adalah Reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta.

Teletak di selatan Bali, Teluk Benoa merupakan salah satu titik penting pesisir Bali, baik secara ekologis ataupun sebagai destinasi pariwisata. Kualitas perairan Teluk Benoa dari segi kandungan senyawa kimia tergolong cukup mengkhawatirkan dengan kondisinya di luar rentang baku mutu air laut untuk kehidupan biota laut (KepmenLH: 2004), Adapun parameter lingkungannya seperti suhu, pH, dan lain-lain, kondisi perairan masih aman untuk kehidupan biota di sekitar perairan.

Berdasarkan hidrodinamikanya, terjadi penurunan kecepatan arus dan tinggi gelombang di kawasan Teluk Benoa pada saat sebelum reklamasi (studi tahun 1995) dibandingkan kondisi saat ini (studi 2015-2016). Ekosistem perairan (mangrove) dan laut (karang) secara spasial terlihat berkurang saat pembangunan jalan Tol pada tahun 2009, namun kembali bertambah pada tahun 2015. Reklamasi kemudian diwacanakan sebagai solusi masalah lingkungan hidup serta meningkatkan pembangunan pariwisata di Teluk Benoa.  

Sejak sewindu lalu rencana reklamasi Teluk Benoa ini telah dirancang. Sempat terjadi tarik-ulur terkait hal ini, karena dianggap bertentangan dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali Nomor Tahun 2009. Pada tahun 2014, diterbitkanlah Perpres No. 51 Tahun 2014 yang kemudian dijadikan payung hukum proyek reklamasi Teluk Benoa ini. Perseroan Wahana Tirta Bali Internasional (PT. TWBI) dari Artha Graha Group kemudian ditunjuk sebagai pengembang dalam proyek ini.

Setali tiga uang dengan di pulau dewata, reklamasi juga masuk dalam agenda pembangunan pesisir utara Ibukota Jakarta. Bahkan, untuk rencana reklamasi Teluk Jakarta telah mulai dirancang sejak hampir dua dawasarsa silam. Bermula sebagai ide mengatasi masalah ketersediaan lahan hunian di Jakarta, reklamasi tertuang dalam Kepres No. 52 Tahun 1995.

Reklamasi bahkan digadang-gadang sebagai jalan keluar permasalahan banjir kronik. Selain itu, reklamasi juga dianggap menjadi solusi jitu mengatasi permasalahan lingkungan hidup lainnya yang ada di utara Jakarta, seperti berkurangnya secara signifikan wilayah ekosistem mangrove dan tingginya konsentrasi Total Suspended Solid (TTS).  

Wilayah reklamasi ini juga diperluas hingga ke pesisir utara Tangerang (Banten) dan Bekasi (Jawa Barat) serta akan dibangun pulau-pulau buatan. Hal tersebut sesuai dengan  Kepres No. 54 Tahun 2008. Tujuan reklamasi Teluk Jakarta kian bertambah hingga menyentuh ranah ekonomi, perdagangan dan jasa, pelabuhan wisata, serta penyediaan kawasan hunian kelas menengah-atas, yang mana hal tersebut tertuang dalam Perda No. 6 Tahun 1999 (Qodriyatun: 2009).

Pembangunan reklamasi semakin dikuatkan dengan terbitnya Perda DKI Jakarta No. 1 2012 serta dimutakhirkan melalui Pergub DKI No. 121 Tahun 2012, yang menyatakan pembangunan 17 pulau buatan (Pulau A-Q). Kemudian di tahun 2013, pemerintah memperkenalkan program National Capital Integrated Coastal Development (NCID) yang berisi grand design pembangunan Great Giant Sea Wall (GGSW) sebagai tanggul penahan air laut di sisi utara Teluk Jakarta. Pembangunan GGSW ini bertujuan untuk mencegah banjir akibat abrasi dan juga penurunan permukaan tanah Jakarta.  

Reaksi Masyarakat terhadap Reklamasi

Muncul beragam reaksi dari berbagai kalangan masyarakat terkait reklamasi. Dari nelayan hingga seniman. Dari akademisi hingga politisi. Pemberitaan mengenai reklamasi Benoa dan Jakarta menjadi headline dan perbincangan hangat, bahkan hingga dunia internasional. Banyak dari masyarakat yang melakukan penolakan. Bahkan gelombang aksi penolakan terus ada hingga kini.

Secara historis, baik masyarakat Bali ataupun Jakarta pernah merasakan dampak buruk dari proyek reklamasi. Pengalaman buruk ini yang kemudian menjadi alasan banyaknya penolakan terhadap proyek reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta. Ada kekhawatiran besar dari warga Bali bahwa reklamasi itu hanya akan berakhir seperti reklamasi Pulau Serangan pada dekade 90-an.

Reklamasi Serangan menyebabkan penyempitan wilayah hutan mangrove dan sempadan pantai untuk jungkung nelayan, sehingga mengganggu keseimbangan arus perairan laut (menjadi lebih tinggi) dan menyebabkan banyak nelayan yang gantung jaring (Suryawan: 2015). Di Jakarta sendiri, tak sedikit warga yang tertimpa banjir sebagai efek samping dari proyek Pantai Indah Kapuk.

Dinamika Gerakan Tolak Reklamasi Bali: dari Nelayan hingga Seniman, dari Rakyat Hingga Tokoh Adat

Tolak Perpres 51 2014 (tempo.co)
Tolak Perpres 51 2014 (tempo.co)
Gelombang aksi penolakan reklamasi Benoa mulanya datang dari masyarakat dan nelayan pesisir selatan Bali, seperti di Desa Adat Tanjung, Benoa. Lambat laut gelombang penolakan ini semakin besar, hingga mencakup masyarakat yang tinggal jauh dari pantai, seperti di Desa Adat Pasedahan (Karangasem). Beragam elemen masyarakat bereaksi menolak proyek reklamasi Benoa ini, dari nelayan, tokoh adat, akademisi, aktivis lingkungan, pelaku usaha pariwisata, hingga seniman. Gerakan ini tergabung dalam satu wadah yakni Forum Bali Tolak Reklamasi (ForBali).

Reklamasi Teluk Benoa ditengarai akan merusak fungsi wilayah konservasi dan ekosistem terumbu karang. Dari beberapa penelitian, kejadian abrasi dan banjir diprediksi akan semakin meningkat, dimana diperkirakan tinggi level air naik dari kondisi normal setelah adanya pulau reklamasi. Tak hanya laut, Daerah Aliran Sungai (DAS), yakni DAS Tukad Badung, mengalami pencemaran dan pengurangan reservoir. Dengan kata lain, diperkirakan kawasan Bali Selatan akan dilanda banjir dan wabah penyakit yang disebabkan oleh limpahan air yang tercemar.

Reklamasi juga dinilai akan menyebabkan ketimpangan pembangunan Bali kawasan utara dan selatan. Hal ini tak pelak menimbulkan kesenjangan sosial.  Alih-alih meningkatkan pariwisata, pengembangan Reklamasi Benoa justru akan mematikan bisnis pariwisata kecil dan menengah. Pembangunan wisata high class di kawasan tersebut dapat berdampak pada persaingan tak sehat dalam bisnis pariwisata di pulau dewata, yang sebelumnya sudah dianggap terlalu masif pembangunannya.

Reklamasi Benoa bukan hanya akan merusak laut sebagai ruang hidup nelayan saja, melainkan bagi hampir seluruh masyarakat Bali. Dalam kepercayaan Hindu Bali, laut adalah tempat suci yang memiliki peranan penting terkait ritual adat dan keagamaan, seperti meruwat dan melasti. Terdapat 60 titik suci sekitar Teluk Benoa. Pengurugan untuk reklamasi dianggap akan merusak kesucian tempat-tempat tersebut. Reklamasi Benoa dianggap bertentangan dengan prinsip Tri Hita Karana yang menjadi pegangan hidup masyakat Hindu Bali.

Dinamika Gerakan Tolak Reklamasi Jakarta: dari Nelayan untuk Keadilan Lingkungan

Sumber: www.aktual.com
Sumber: www.aktual.com
Serupa dengan di Bali, terdapat beragam respon dari masyarakat terkait dengan reklamasi teluk Jakarta. Gerakan penolakan juga masif terjadi menolak proyek ini, yang meyoritas berasal dari petani dan organisasi masyarakat. Koalisi Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI), Solidaritas Perempuan, Koalisi Masyarakat Selamatkan Teluk Jakarta secara aktif melakukan aksi protes Reklamasi Teluk Jakarta. Walhi, LBH Jakarta, Kiara, dan Greenpeace Indonesia juga turut bereaksi keras terhadap reklamasi Teluk Jakarta.

Tidak jauh berbeda dengan kondisi Teluk Benoa, Teluk Jakarta juga mengalami perubahan fisik yang cukup signifikan. Kusumastanto (2007) menyebutkan reklamasi menyebabkan kerusakan habitat pesisir, perubahan garis pantai, serta degradasi kawasan ekosistem mangrove. Hasil dari penelitian juga menyatakan bahwa kondisi Teluk Jakarta rentan terhadap abrasi, sedimentasi, dan mutu air laut masuk pada kondisi tercemar berat.

Hal ini tentu mempunyai banyak pengaruh, baik dari sisi ekologi, sosial, ataupun ekonomi. Keanekaragaman hayati mulai menurun, budidaya kerang hijau terganggu, penghasilan nelayan berkurang. Nelayan menjadi pihak pertama dan utama yang mengalami kerugian akibat dari proyek reklamasi ini. Reklamasi Teluk Jakarta merampas hak dan ruang hidup nelayan serta menyebabkan nilai kerugian mencapai hingga Rp. 94.714.228.734 pertahun (Ramadhan, et. al.: 2016).

Reklamasi juga dinilai akan menyebabkan kesenjangan sosial yang semakin besar. Proyek ini dinilai hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. Hal tersebut tak bisa dipungkiri, karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan reklamasi, sehingga tak sedikit yang menganggap program ini tidak ramah bagi seluruh lapisan masyarakat.

From Tweet to The Street

Social Media Revolution (vhttp://www.lesmarquesalaloupe.com)
Social Media Revolution (vhttp://www.lesmarquesalaloupe.com)

Fenomena menarik dari respon masyarakat terhadap kedua proyek reklamasi ini adalah wacana yang bergulir di sosial media. Facebook, Twitter, microblog, youtube serta tak ketinggalan petisi online di change.org menjadi kanal informasi dan produksi wacana penolakan reklamasi. Bahkan social media activism ini berhasil menghimpun massa yang akhirnya turun dalam sebuah aksi nyata penolakan reklamasi, terutama yang dilakukan ForBali terkait tolak reklamasi Benoa. (Lim, M: 2013). Poin penting dalam social media activism adalah pembentukan narasi (dan tekait metanarasi seperti agama dan nasionalisme), munculnya simbolisme, dan lite package.

ForBali berhasil menggaungkan gerakan tolak reklamasi Benoa. Hal ini tak terlepas dari narasi yang mengakitkan narasi adat relijius Hindu Bali (Tri Hita Karana) dalam tolak reklamasi. Pada masyarakat Bali yang homogen dan tergolong masyarakat paguyuban (Gemeinschaft), solidaritas tolak reklamasi Benoa terbentuk dengan mudah cepat dan menjadi semakin besar, dikarenakan ikatan adat dan keagamaan yang cenderung kuat. Selain itu narasi tolak reklamasi juga cenderung mudah "dicerna" oleh para netizen secara luas, di mana secara sederhana diangkat reklamasi vs tolak reklamasi.

Hal ini sedikit berbeda dengan reklamasi Teluk Jakarta. Masyarakat urban Jakarta heterogen dan merupakan masyarakat patembayan (Gesselschaft) dengan ikatan yang cenderung longgar serta individualistik. Isu kehidupan nelayan dan kesenjangan sosial, keadilan ekologi dan HAM menjadi narasi kompleks yang mengisi penolakan reklamasi Teluk Jakarta.

ForBali sendiri menjadi simbol pemersatu dari aksi penolakan Reklamasi Benoa. Selain itu, Bali sendiri sudah sejak lama menjadi ikon pariwisata dan sarta keindahan,sehingga banyak muncul penolakan bahkan dari luar Bali terkait reklamasi, karena diasosiasikan merusak keindahan lingkungan Bali. Berbeda dengan Teluk Jakarta yang cenderung tidak memiliki sebuah simbol sebagai penolakan bersama. Di samping itu, Teluk Jakarta banyak diidentikkan sebagai daerah yang kumuh.

Terakhir, ForBali juga dengan apik mengemas aksi mereka lekat dengan unsur seni dan cara yang populer. Contohnya adalah melalui kampanye online dan penjualan online kaos kampanya Tolak Reklamasi Benoa, yang menyajikan ikon populer di dalamnya. Sejauh dilihat, hal tersebut tidak dilakukan sebagai bagian dari kampanye Tolak Reklamasi Jakarta.

Dari berbagai sumber.

Oleh: Annissa Haq,  Alve Hadika,  Abetnego Panca Putra Tarigan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun