Swamedikasi merupakan upaya terapi atau pengobatan yang dilakukan secara mandiri terhadap penyakit minor simtomatik yang dapat didasarkan dari keberhasilan pengalaman terapi sebelumnya, saran dan rekomendasi orang terdekat, ataupun berdasarkan informasi terkait penggunaan obat yang diperoleh dari media elektronik ataupun pada kemasan obat. Metode terapi ini menjadi alternatif yang kerap diambil oleh masyarakat luas dengan beberapa faktor motivasi seperti keinginan untuk segera sehat dan pulih dari penyakit ataupun keluhan penyakit yang diderita, dihadapkan dengan persoalan akses pelayanan medis ataupun kefarmasian, keinginan untuk mendapatkan pengobatan yang lebih praktis dan efisien waktu, serta keinginan untuk meningkatkan keterjangkauan dalam biaya pengobatan.
Swamedikasi merupakan langkah pengobatan yang banyak diambil oleh masyarakat luas pada umumnya untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit ringan -- demam, pusing, nyeri, batuk, influenza, gastritis (maag), diare, konstipasi, infeksi cacing, ataupun penyakit kulit seperti dermatitis; jerawat; serta infeksi jamur - sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke pusat layanan kesehatan.
Swamedikasi menjadi alternatif terapi atau pengobatan penyakit minor dengan menggunakan obat-obatan yang dapat diberikan tanpa resep (Over the Counter) seperti golongan obat bebas, bebas terbatas, dan obat wajib apotek (OWA). Dengan catatan untuk obat wajib apotek hanya dapat diberikan atas saran dari apoteker.
Berkaca pada peristiwa memuncaknya angka kejadian Covid-19 beberapa waktu lalu, dimana terjadi peningkatan jumlah morbiditas dan mortalitas hampir di setiap harinya, kebutuhan akan layanan medis dan produk kefarmasian meningkat, namun disamping itu juga terdapat regulasi pemerintah terkait dengan pembatasan sosial yang kian hari kian ketat, membludaknya antrean di pusat layanan kesehatan, serta ketidakseimbangan supply-demand dari obat dan alat kesehatan sehingga berdampak pada fenomena kelangkaan. Berdasarkan keadaan yang sedemikian rupa, maka motivasi masyarakat untuk melakukan swamedikasi pun mengalami peningkatan.
Di kala pandemi dengan mobilitas yang begitu terbatas, pengembangan teknologi guna menunjang aktivitas dan kebutuhan secara luas sangat dibutuhkan, termasuk didalamnya kebutuhan akan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian sedapat mungkin harus beradaptasi dengan keadaan yang ada guna tetap memberikan asuhan kefarmasian sesuai standar. Sebagai solusi atas persoalan tersebut, maka teknologi telefarmasi mulai dikembangkan. Telefarmasi merupakan bentuk digitalisasi pelayanan kefarmasian dengan menggunakan teknologi telekomunikasi. Telefarmasi dapat diaplikasikan dalam pemberian asuhan kefarmasian secara luas seperti pelayanan informasi obat (PIO), konseling pasien, monitoring terapi obat; kepatuhan pasien dalam konsumsi obat; serta efek samping obat. Adanya sisi kemudahan dalam mengakses layanan kefarmasian melalui telefarmasi semakin memfasilitasi masyarakat untuk melakukan swamedikasi.
Swamedikasi didalamnya meliputi beberapa perilaku terapeutik seperti diagnosis atau pengenalan terhadap penyakit, pemilihan jenis obat atau kombinasi jenis obat yang digunakan, perhitungan dosis tiap kali pemakaian serta dosis maksimum obat dalam rentang terapinya, penentuan rute penggunaan obat, pengenalan terhadap kontraindikasi atau efek samping dari pemakaian obat, serta penentuan batas waktu wajar terapi obat terhadap suatu penyakit tertentu hingga akhirnya diputuskan untuk mengambil tindakan lanjut (pemeriksaan oleh dokter).
Di samping nilai kebermanfaatannya, swamedikasi juga turut berisiko terhadap status kesehatan individu bilamana tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesalahan dalam berswamedikasi akan berdampak negatif pada tingkat keparahan penyakit, munculnya efek penggunaan obat yang tidak diinginkan, meningkatnya kadar toksisitas obat dalam plasma, serta dapat menjadi faktor penunda untuk mendapatkan intervensi medis dengan tertutupinya gejala yang timbul karena penyakit tertentu. Sehingga dengan demikian, disadari bahwa pengetahuan yang baik dalam penentuan jenis dan jumlah obat yang digunakan berdasarkan prinsip rational drug use diperlukan guna mencapai target terapi yang diinginkan, dan sedapat mungkin dipersiapkan dengan baik dan matang sebelum mengambil langkah swamedikasi.
Selain dikarenakan oleh terbatasnya pengetahuan, kesalahan dalam swamedikasi turut disebabkan karena kurangnya informasi yang seharusnya dapat diberikan oleh tenaga kefarmasian baik apoteker atau tenaga teknis kefarmasian saat penyerahan obat ataupun rendahnya kesadaran serta kemampuan masyarakat untuk mendapatkan informasi tersebut melalui platform layanan telefarmasi yang tersedia. Â
Salah satu metode pemberdayaan masyarakat yang saat ini direkomendasikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam berswamedikasi yakni melalui metode Cara Belajar Insan Aktif atau Community based Interactive Approach yang kemudian disingkat dengan CBIA. Metode edukasi masyarakat ini pertama kalinya dikembangkan oleh seorang guru besar farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada bernama Prof. Dr. Sri Suryawati, Apt, pada tahun 1992. Beberapa tahun sejak pertama kali dikembangkan, pada tahun 2008 metode ini diadopsi dan dilaksanakan secara rutin oleh Kementerian Kesehatan RI hingga saat ini.
Berbeda dengan mekanisme pelaksanaan kegiatan edukasi atau sosialisasi pada umumnya, metode ini melibatkan partisipasi aktif dari peserta selama pelaksanaannya. Inovasi yang tercipta dalam metode ini diketahui lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap materi yang disampaikan. Melalui metode CBIA, peserta dibantu untuk lebih mudah mengingat materi edukasi yang disampaikan sebagai pengalaman yang berkesan dalam melakukan diskusi dan pengamatan secara aktif yang dipandu oleh fasilitator. Sementara itu, penyampaian materi dilakukan oleh narasumber.