Mohon tunggu...
annisa sabitha
annisa sabitha Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

RUU POLRI, Kemunduran Demokrasi dan Ancaman Bagi Kebebasan Sipil

29 Juni 2024   20:04 Diperbarui: 29 Juni 2024   20:04 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rancangan Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) yang saat ini sedang dibahas di DPR RI telah memicu kontroversi dan kekhawatiran di berbagai lapisan masyarakat. Meskipun dimaksudkan untuk memperkuat dan memodernisasi institusi kepolisian, RUU ini justru berpotensi menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Berbagai pasal dalam RUU ini menunjukkan kecenderungan untuk memperluas kewenangan kepolisian secara berlebihan, tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai.

Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dari RUU Polri adalah perluasan kewenangan penyadapan. Dalam draf RUU ini, kepolisian diberi wewenang untuk melakukan penyadapan tanpa perlu izin pengadilan dalam situasi yang dianggap "mendesak". Definisi "mendesak" yang tidak jelas dan terlalu luas membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini berpotensi melanggar hak privasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan dapat digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi atau membungkam suara-suara kritis terhadap pemerintah atau kepolisian itu sendiri.

Lebih lanjut, RUU ini juga memberikan kewenangan kepada polisi untuk memanggil dan memeriksa orang yang dianggap mengetahui tentang adanya rencana kejahatan, meskipun belum ada bukti konkret. Ketentuan ini sangat problematik karena dapat digunakan untuk melakukan intimidasi terhadap aktivis,  jurnalis, atau siapa pun yang dianggap "berpotensi" mengganggu kepentingan penguasa. Dalam praktiknya, hal ini dapat menjadi alat represi yang efektif untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.

Aspek lain yang patut dikritisi adalah pembatasan terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggota kepolisian. RUU ini mengatur bahwa penyelidikan terhadap anggota Polri harus melalui prosedur internal kepolisian terlebih dahulu. Ketentuan ini jelas merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan adanya aturan ini, independensi KPK dalam menjalankan tugasnya menjadi terganggu, dan potensi terjadinya "perlindungan korps" dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota kepolisian menjadi semakin besar.

RUU Polri juga memuat pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kritik terhadap institusi kepolisian. Misalnya, ada ketentuan yang melarang penyebaran informasi yang dianggap dapat menurunkan kehormatan dan martabat Polri. Pasal semacam ini sangat rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik yang legitim terhadap kinerja kepolisian. Dalam negara demokratis, kritik terhadap lembaga publik, termasuk kepolisian, merupakan hal yang wajar dan bahkan diperlukan untuk menjaga akuntabilitas dan mendorong perbaikan kinerja.

Selain itu, RUU ini juga menunjukkan kecenderungan ke arah militerisasi kepolisian. Beberapa pasal memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan tindakan-tindakan yang biasanya menjadi domain militer, seperti pengamanan objek vital nasional dan penanganan situasi darurat. Hal ini berpotensi mengaburkan batas antara fungsi kepolisian sebagai penegak hukum sipil dengan fungsi militer sebagai pertahanan negara. Dalam jangka panjang, kecenderungan ini dapat mengancam prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia pasca reformasi.

Aspek lain yang perlu disoroti adalah lemahnya mekanisme pengawasan eksternal dalam RUU ini. Meskipun ada pasal yang mengatur tentang Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), namun kewenangannya masih sangat terbatas dan tidak memiliki "gigi" yang cukup untuk mengawasi dan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Tanpa pengawasan eksternal yang kuat, potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi semakin besar.

Perlu diingat bahwa reformasi kepolisian pasca era orde Baru dimaksudkan untuk mentransformasi institusi ini menjadi lembaga penegak hukum yang profesional dan berorientasi pada pelayanan masyarakat. Namun, RUU Polri yang diajukan saat ini justru menunjukkan kecenderungan untuk kembali ke model kepolisian yang represif dan berorientasi pada kekuasaan.

Dalam konteks global, kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain yang telah berhasil melakukan reformasi kepolisian. Misalnya, di beberapa negara Eropa, kepolisian diposisikan sebagai "polisi masyarakat" (community policing) yang lebih menekankan pada pencegahan kejahatan dan kerjasama dengan masyarakat, bukan pendekatan represif. Model seperti ini terbukti lebih efektif dalam menjaga keamanan dan ketertiban tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Mengingat besarnya potensi ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan sipil yang terkandung dalam RUU Polri, masyarakat sipil perlu mengambil sikap kritis dan aktif dalam proses pembahasannya. Organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media massa harus terus mengawal dan mengkritisi setiap pasal dalam RUU ini. Pressure public harus terus dibangun untuk mendorong DPR dan pemerintah agar melakukan revisi mendasar terhadap draf RUU ini.

Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan antara lain: pertama, menghapus pasal-pasal yang memberikan kewenangan berlebihan kepada kepolisian, terutama dalam hal penyadapan dan pemanggilan paksa. Kedua, memperkuat mekanisme pengawasan eksternal, misalnya dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Kompolnas. Ketiga, menghapus pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kritik terhadap kepolisian. Keempat, mempertahankan independensi KPK dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggota kepolisian. Kelima, memperjelas batasan kewenangan kepolisian agar tidak tumpang tindih dengan fungsi militer.

Pada akhirnya, RUU PoIri seharusnya bertujuan untuk menciptakan institusi kepolisian yang profesional, akuntabel, dan berorientasi pada perlindungan hak-hak warga negara. Bukan sebaliknya, menjadikan kepolisian sebagai alat represi yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Hanya dengan pendekatan yang seimbang antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia, kita dapat membangun sistem kepolisian yang sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.

RUU Polri yang sedang dibahas di DPR RI menimbulkan kekhawatiran serius bagi para ahli hukum dan masyarakat sipil.  Rancangan undang-undang ini, yang seharusnya bertujuan untuk memperkuat dan memodernisasi institusi kepolisian, justru berpotensi menjadi ancaman besar terhadap demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. RUU ini menunjukkan kecenderungan untuk memperluas kewenangan kepolisian secara berlebihan tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang memadai.  

Pasal-pasal dalam RUU Polri juga berpotensi mengkriminalisasi kritik terhadap institusi kepolisian.  Ketentuan yang melarang penyebaran informasi yang dianggap dapat menurunkan kehormatan dan martabat Polri sangat rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik yang legitim. RUU ini juga menunjukkan kecenderungan ke arah militerisasi kepolisian.  Pemberian kewenangan kepada polisi untuk melakukan tindakan-tindakan yang biasanya menjadi domain militer, seperti pengamanan objek vital nasional dan penanganan situasi darurat, mengaburkan batas antara fungsi kepolisian dan militer.  Hal ini dapat mengancam prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia.

Jadi, dapat disimpulkan bawah RUU Polri yang diajukan saat ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.  Jika disahkan tanpa revisi yang mendalam, RUU ini akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.  Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa harus terus mengawal dan mengkritisi setiap pasal dalam RUU ini untuk mendorong DPR dan pemerintah agar melakukan revisi mendasar terhadap draf RUU ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun