Pendahuluan
What, Why & How
Semar, sosok panakawan dalam pewayangan Jawa, lebih dari sekadar tokoh pelawak. Ia adalah representasi dari pemimpin yang bijaksana, adil, dan penuh kasih sayang. Melalui lensa semiotik, kita dapat mengurai simbol-simbol yang melekat pada sosok Semar. Wujudnya yang unik, antara tua dan muda, laki-laki dan perempuan, mencerminkan keseimbangan dualitas dalam kepemimpinan. Semar tidak hanya tegas, tetapi juga empatik. Ia adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat, memahami penderitaan mereka, namun tetap memiliki wibawa.Â
Tokoh Semar, kaitannya dengan kepemimpinan  pertunjukan  tradisional  Jawa Wayang  memiliki  karisma  yang  lebih  tinggi yang  kemudianSemarmenanamkan  padaPunokawan  dan  bahkan  Pandawa  akan  sifat-sifat kepemimpinan dan keteladanan sehingga  sehingga  secara  bawah  sadar  paraPunokawan  dan  Pandawa  akan  mensensorperilaku-perilaku   yang   membuat   mereka berkesan dan mengaplikasikanya ketika mereka mengalami situasi yang membutuhkan perubahan perilaku.Â
Ketokohan Semar di  dalam  pertunjukan tradisional  kebudayaan  Jawa  yaitu  Wayang diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu panduan dalam rangka merekomendasikan solusi-solusi terhadap berbagai krisis kepemimpinan yang melanda bangsa Indonesia saat ini.Â
Kepemimpinan menurut Kebudayaan Jawa, bentuk dan konsepnya bervariasi. Meskipun demikian konsep-konsep  tersebut  arahnya menuju pada suatu paradigm keseimbangan. Dalam karya sastra dapat kita mengkaji nilai-nilai  filosofis yang telah diwariskan untuk dapat digunakan kehidupan sekarang, termasuk konsep tentang  kepemimpinan. Dalam  karya  sastrajawa, konsep kepemimpinan banyakdituangkan  dalam  bentuk  ajaran salah  satudi antaranya yaitu Nilai Kepemimpinan dalam Serat Sastra Gendhingbahwa  dijabarkan beberapa sifat kepemimpinan sebagai berikut :
Gaya Kepemimpinan Nusantara (Semar/Ismoyo)Â
1. Semar sebagai Personifikasi Kepemimpinan Jawa NusantaraÂ
Semar digambarkan sebagai personifikasi nilai kepemimpinan dalam budaya Jawa Nusantara yang mencakup berbagai agama seperti Hindu, Islam, dan kepercayaan lokal. Semar dipandang sebagai manifestasi dari "Dan Hyang Semar," yang juga dikenal dalam mitologi oleh tokoh seperti Syekh Subakir dan Sabdo Palon.
Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di Jawa, disebutkan bahwa Syekh Subakir melakukan "pamitan" atau perpisahan di Gunung Telomoyo, Merapi, dan Merbabu, dengan Semar sebagai pelindung Nusantara. Istilah "Dang" dalam nama Semar menunjukkan gelar bagi dewa atau leluhur, mirip dengan istilah "Hyang" yang dipakai dalam budaya Kaharingan di Kalimantan. Transformasi nama ini mengisyaratkan kedekatan budaya Jawa dengan konsep dewa dan leluhur yang dihormati.Â
2. Semar sebagai Lambang Ilmu Langit dan KepemimpinanÂ
Semar digambarkan memiliki kondisi sebagai seorang pemimpin yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang tinggi (ilmu langit) dan menguasai kebijaksanaan sebagai pemimpin yang berbudi luhur.Â
3. Metafora Telur: Kulit, Putih, dan Kuning TelurÂ
Dalam filosofi kepemimpinan Nusantara, tiga lapisan telur (kulit, putih, dan kuning telur) menjadi simbolisasi yang mencerminkan lapisan spiritual yang mendalam dalam masyarakat Jawa. Telur ini melambangkan tokoh-tokoh penting seperti Gunung Siem, Batara Guru, Semar, dan Togog yang secara hierarkis memiliki peran berbeda dalam kosmologi Jawa.Â
4. Interpretasi dalam Teks Kuno JawaÂ
Dalam naskah kuno Jawa, terdapat istilah "Pikulan Tunggal," yang merujuk pada filosofi eksistensi sebelum segala sesuatu ada. Nama-nama seperti Sanghyang Wenang atau Sanghyang Tunggal dan Batara Tunggal digunakan untuk menggambarkan entitas yang memegang "telur" dengan berbagai warna sebagai simbol kekuatan spiritual dan kemakmuran. Kuning telur disebut sebagai "Manik Moyo" atau Batara Guru.
1. Nama Semar : Ismoyo, SamarmayaÂ
Semar dikenal dengan nama lain seperti Ismoyo atau Samarmaya, yang menunjukkan identitasnya sebagai sosok yang mendua (maya) atau samar.Â
2. BadranayaÂ
"Badranaya" berarti membangun fondasi dasar, di mana Semar berperan sebagai utusan yang membawa pesan moral bagi masyarakat. Badranaya menekankan keberanian melawan ketidakadilan dengan filosofi "Semar Gugat Kekuasaan," yang juga diibaratkan sebagai tindakan simbolik membuang angin di Kahyangan, sehingga memberikan pandangan unik terhadap perjuangan melawan ketidakbenaran.Â
3. Dualitas Semar sebagai Simbol HermeneutikÂ
Semar melambangkan dualitas antara manusia biasa dan figur spiritual (nabi atau rasul dalam budaya Nusantara). Dualitas ini dikenal sebagai "double hermeneutics," atau metafora dari kekuatan spiritual Semar yang dapat menaklukkan kekuatan lain melalui humor, seperti kentut yang diibaratkan sebagai senjata ampuh dalam situasi kritis.Â
Kentut Semar menjadi simbol ketulusan yang kuat untuk meluruskan kezaliman pemimpin, seperti saat mengkritik kekuasaan pada masa Presiden Soeharto pada tahun 1988. Tokoh Semar atau Ismoyo merepresentasikan pemimpin yang adil dan bijaksana yang dapat membawa kemakmuran, keadilan, dan ketulusan untuk seluruh rakyat.Â
Tokoh Semar dalam budaya Jawa memiliki peran penting sebagai representasi simbolik kepemimpinan Nusantara yang mengedepankan nilai-nilai spiritual, kearifan lokal, dan kritik sosial terhadap kekuasaan yang tidak adil. Semar menjadi inspirasi untuk kepemimpinan yang adil, dengan kualitas pembimbing yang luhur dan sifat yang membumi, menjadikannya simbol dari pemimpin yang abadi dan terus relevan dalam konteks budaya Indonesia.
Makna Semiotik & Hermeneutis SEMARÂ
1. Semar secara Fisik Gambar
Semar digambarkan secara fisik bukan sebagai laki-laki atau perempuan, menunjukkan dualitas atau ambiguitas gender. Tangan kanannya terangkat ke atas, sementara tangan kirinya mengarah ke bawah, yang bisa diartikan sebagai simbol keseimbangan antara kekuatan atas dan bawah.
Dalam pewayangan, Semar sering ditampilkan sebagai sosok yang tua, namun juga seperti anak-anak, dengan tertawa dan menangis dalam waktu yang bersamaan. Hal ini melambangkan kepribadian yang kompleks, penuh kedalaman emosi, serta kemampuannya untuk menampilkan sifat-sifat manusiawi yang beragam sekaligus.
2. Semar Memiliki Kulit Hitam
Warna kulit hitam pada Semar melambangkan bumi atau tanah, yang dianggap sebagai elemen paling teguh dan stabil. Bumi sebagai elemen menerima segalanya, memberikan tanpa pamrih, dan tetap kokoh meskipun berhadapan dengan elemen lainnya seperti air, api, dan angin. Bumi menjadi simbol ketahanan yang rendah hati, tanpa kesombongan, dan selalu berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan.
Filosofi ini sesuai dengan prinsip "Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe," yang berarti bekerja dengan ikhlas tanpa mengharapkan penghargaan atau pamrih. Semar menjadi representasi manusia yang mampu menerima segala kenyataan (realitas) dan bahkan bisa menerima realitas yang lebih tinggi atau "meta-realitas" tanpa terpengaruh kategori duniawi.
3. Semar dan Simbol Kuncung 8 (Delapan)
"Kuncung" atau ciri khas Semar dengan 8 atribut ini melambangkan berbagai kategori pengendalian diri dan ketahanan. Atribut tersebut adalah: tidak merasa lapar, tidak ngantuk, tidak jatuh cinta, tidak bersedih, tidak merasa capek, tidak sakit, tidak kepanasan, dan tidak kedinginan.
Delapan atribut ini memberikan makna bahwa Semar memiliki kemampuan pengendalian diri yang kuat, seperti filosofi Stoa, yang tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Kuncung 8 ini menjadikan Semar sosok yang sakti, karena ia mampu mengatasi hasrat duniawi dan tetap teguh dalam menjalankan perannya.
4. Posisi Semar sebagai Dewa Kemangungsaan
Semar dilambangkan sebagai dewa yang berperan sebagai manusia, tetapi bukan manusia yang mengaku sebagai dewa. Simbol ini menunjukkan peran Semar sebagai pemimpin NKRI yang sifatnya merakyat, karena ia berfungsi sebagai dewa pelindung masyarakat.
Dalam pandangan ini, ada paralel antara tokoh-tokoh spiritual seperti Krishna dan Siwa dalam ajaran Jawa dan Nusantara, atau perpaduan antara ajaran Siwa dan Buddha yang ada dalam tradisi Siwa-Buddha di Indonesia. Dalam sejarah Majapahit, ajaran Siwa dan Buddha seringkali berbaur menjadi satu dalam karya sastra klasik seperti Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya.
Siwa, yang sering disebut sebagai Bhairawa dalam ajaran ini, menjadi representasi dewa yang mengandung nilai-nilai campuran antara agama Hindu dan Buddha, yang akhirnya tercermin dalam sosok Semar sebagai dewa kemanusiaan yang merakyat.
Penjelasan ini menguraikan Semar sebagai simbol kepemimpinan spiritual yang melampaui batas-batas duniawi. Semar dianggap memiliki kualitas sakral dan penuh makna filosofis sebagai representasi bumi yang kuat, dewa yang dekat dengan rakyat, dan sosok yang mampu mengatasi segala keterbatasan duniawi. Semar dalam budaya Jawa menjadi simbol kepemimpinan yang seimbang, menerima, dan ikhlas yang dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat dalam memahami hakikat kepemimpinan dan kearifan lokal.Â
Gaya Kepemimpinan Nusantara: Semar/IsmoyoÂ
Makna Semiotik & Hermeneutis SEMARÂ
Semar bukan hanya tokoh dalam cerita pewayangan, tetapi juga simbol dari filosofi kepemimpinan Nusantara. Dalam konteks ini, Semar melambangkan sosok Ponokawan yang memiliki peran penting, yaitu:Â
Ponokawan : Memiliki arti "pono" yang berarti memiliki visi atau pandangan yang jernih.
Sosok yang mampu berpikir murni, jujur, dan menjadi sahabat sejati.Â
Semar berperan sebagai pendidik dan pemberi solusi, tetapi bukan seorang pelayan atau budak.Â
Metafora Utama Semar
- Mbregegeg : Jangan diam. Ini menekankan pentingnya sikap aktif dan bergerak.
- Ugeng-ugeng : Berusaha terus untuk melepaskan diri dari berbagai belenggu hidup.
- Hmel-hmel : Mencari segala bentuk kebaikan dalam kehidupan.
- Sak Ndulit : Hasil dari usaha mungkin sedikit, tetapi itu tetap berharga.
- Langgeng : Ketekunan dan integritas akan membawa pada keberlanjutan dan hasil yang abadi.
Tiga Doktrin Ajaran Semar
1. Ojo Dumeh
Jangan mentang-mentang. Ini adalah larangan untuk tidak sombong atau merasa paling unggul dalam tindakan, ucapan, atau pikiran. Hindari sikap Adigang, Adigung, Adiguna (merasa paling berkuasa, kuat, atau pintar).
2. Eling
Selalu ingat kepada Tuhan, serta ingat usia, asal-usul, dosa, dan kematian. Sikap ini mengajarkan kebijaksanaan dalam setiap langkah hidup.Â
3. WaspodoÂ
Kehati-hatian, ketelitian, dan pengendalian diri dalam sikap maupun tindakan. Ini penting agar tidak terjerumus dalam kesalahan atau kecerobohan.Â
"Eling lan Waspada": Ilmu Weruh Sadurung WinarahÂ
Seorang pemimpin harus selalu sadar dan waspada, mampu menguasai ilmu dan memiliki intuisi dalam mengambil keputusan sebelum hal-hal buruk terjadi. Ajaran ini mengajarkan keseimbangan antara kesadaran diri dan kewaspadaan.Â
Bisa Rumangsa, Ojo Rumangsa Bisa:
- "Bisa Rumangsa" artinya berempati atau merasa wajib memahami orang lain.
- "Ojo Rumangsa Bisa" artinya jangan merasa sudah paling mampu atau hebat (anti-sombong).
Filosofi ini menekankan bahwa dalam hidup, ada tiga hal utama yang harus diraih:
- Wirya/Keluhuran
- Arta/Kekayaan
- Winasis/Ilmu Pengetahuan
Jika ketiganya tidak bisa dicapai, lebih baik menjadi pribadi yang sederhana dan rendah hati. Filosofi ini mengajarkan kita untuk tetap bersyukur dan tidak mudah terlena oleh ambisi.Â
Aplikasi Praktis :
- Atetamba yen wus bucik : Jangan memperbaiki sesuatu setelah terluka atau hancur. Lebih baik mencegah dengan berhati-hati.
- Nggugu Karape Priyangga : Jangan bertindak sesuka hati. Bertindaklah dengan bijak, matang, dan sesuai tatanan.
- Berbudi Bawa Leksana : Menjadi pribadi yang berbudi luhur, yang sejalan antara kata dan perbuatan.
Kepemimpinan ala Semar mengajarkan bahwa pemimpin harus berperan seperti Ponokawan: berpikiran jernih, berintegritas, dan selalu berusaha. Doktrin "Eling lan Waspada" mendorong pemimpin untuk selalu waspada dan bijaksana dalam setiap tindakan. Selain itu, ajaran Ojo Dumeh dan Aja Gumunan menjadi pedoman untuk menjaga diri dari kesombongan dan keterlenaan. Melalui filosofi Semar, kita belajar tentang pentingnya ketekunan, kejujuran, dan keseimbangan dalam hidup serta kepemimpinan.Â
Makna Kepemimpinan Semiotik & Hermeneutis SEMARÂ
Tiga Doktrin, Tiga Sikap Mental dan Jiwa (Ajaran Semar) :
1. Tadah (Hanya kepada Tuhan)
- Makna : Sikap ini mengajarkan untuk tidak pamrih atau mengharapkan balasan dari perbuatan baik.
- Inti : Bersyukur kepada Tuhan dalam segala kondisi, baik senang maupun sulit. Sikap ini mengajarkan penerimaan penuh terhadap kehendak Tuhan dalam setiap ruang dan waktu.
- Esensi : Pemimpin yang memiliki sikap Tadah akan selalu rendah hati, ikhlas, dan bertumpu pada kehendak Tuhan tanpa terpengaruh oleh ambisi atau kepentingan pribadi.
2. Pradah (Suka Memberi kepada Sesama)
- Makna : Ajaran ini mendorong cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia dengan ikhlas.
- Inti : Memberi dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan atau balasan. Ini bisa berupa pikiran, waktu, tenaga, atau harta yang diberikan dengan niat baik.
- Esensi : Pemimpin yang menerapkan Pradah akan peduli dan berempati pada kebutuhan orang lain, serta selalu mendahulukan kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi.
3. Ora Wegah (Tidak Pemalas/Tidak Menunda)
- Makna : Ajaran ini mengajarkan pentingnya semangat untuk menyelesaikan segala sesuatu tanpa memilih-milih atau menunda pekerjaan.
- Inti : Apa pun tugas atau kewajiban yang ada, harus dilakukan dengan segera dan penuh tanggung jawab tanpa menunggu-nunggu kesempatan lain.
- Dimensi Mental : Ajaran ini menekankan sikap mental "Papan Empan Adepan", yaitu mampu menempatkan diri secara tepat dalam setiap situasi.
- Ungkapan : "Saiki, Neng Kene, Ngene, Aku Gelem" (Sekarang, di sini, begini, dan saya siap) mengajarkan kesiapan untuk menghadapi setiap situasi dengan pikiran dan tindakan yang matang serta tanpa keluhan.
Tiga sikap mental ini merupakan inti dari kepemimpinan ala Semar yang mendorong seorang pemimpin untuk:
- Bersyukur dan bergantung pada Tuhan (Tadah).
- Berempati dan selalu memberi dengan tulus kepada sesama (Pradah).
- Tidak malas dan tidak menunda, siap bertindak kapan pun diperlukan (Ora Wegah).
Pemimpin yang mempraktikkan ketiga nilai ini akan mampu membawa keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan kepemimpinannya. Filosofi ini juga mengajarkan bahwa kesiapan mental dan tindakan yang tepat waktu adalah kunci untuk menghadapi segala tantangan dengan sikap positif dan hasil yang baik.
PPT PROF. APOLLO - TM 8
Ajaran Semar MKG (Manunggaling Kawula Gusti)
Ajaran ini menekankan konsep penyatuan antara manusia (kawula) dan Tuhan (gusti). Dalam Islam, konsep ini disebut ittihad atau wahdat-al-wujud, yaitu menyatunya kehidupan manusia dengan Tuhan, yang diterjemahkan sebagai "hidup atas nama Tuhan" pada segala realitas. Konsep ini juga dikenal dengan istilah fana baqa, yang mengindikasikan kepemimpinan yang dilihat sebagai hubungan seperti buruh dengan majikan, yaitu kepentingan majikan (Tuhan) yang diutamakan.
Ajaran Semar Sangkan Paraning Dumadi
Merupakan konsep tentang keberadaan manusia di dunia, di mana hidup dianggap sebagai "hidup mampir minum". Konsep ini menggambarkan bahwa hidup adalah perjalanan sementara, dengan istilah seperti Cokro Manggilingan yang menggambarkan siklus kehidupan. Ajaran ini mencakup tiga aspek pemikiran ruang dan waktu, yaitu asal-usul (dari mana), keberadaan saat ini (di mana), dan tujuan akhir (ke mana). Konsep ini membagi waktu ke dalam tiga alam: alam purwo (asal usul), alam madyo (kehidupan sekarang), dan alam wasono (akhir kehidupan).
Ajaran Kasedan Jati
Ajaran ini mengajarkan agar manusia tidak melakukan tindakan buruk (ora ilok) untuk menghindari konsekuensi karma atau kuwalat. Hal ini berfungsi sebagai pengingat moral untuk menjaga sikap dan tindakan agar selalu baik dan bertanggung jawab.
Ajaran Semar Memayu Hayuning Bawana
Ajaran ini berarti berbuat baik untuk menjaga keharmonisan dunia, mengendalikan hasrat, dan memahami hukum alam. Dalam ajaran ini, manusia diajarkan tentang telos hidup atau tujuan kehidupan, yang terdiri dari "Memayu Hayuning Bawana" yaitu memperindah dunia. Ada konsep "Hamemayu Hayuning Bawono" yang mencakup menjaga keseimbangan di alam, baik itu di hutan, gunung, lautan, hingga budaya. Cara menjaga harmoni alam ini disebut Ni-Rokake, yang terdiri dari Ni (mengingat dan mengenali), Rokake (memahami), dan NaMbahi (memberi nilai baik pada alam).
PPT PROF. APOLLO - TM 8
Konsep "Tan Keno Kinaya Ngapa: Kapitayan"
Konsep ini membahas tentang Sanghyang Taya, suatu entitas yang tidak bisa dipikir, diraba, atau dijelaskan, namun eksistensinya dikenal melalui hukum alam. Sanghyang Taya adalah penggambaran dari "kekosongan" atau suwung, yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang tak terbatas dan tak terjangkau.
Genealogi Kata Tuhan dalam Perspektif Semar
Semar menggambarkan Tuhan dalam dua kategori: Tu (baik) dan Han (kejahatan). Kata "Tu" menggambarkan Tuhan dalam konteks kebaikan, sedangkan "Han-tu" melambangkan kekuatan jahat. Misalnya kata Tugu, Tumbak, dan Tumpeng menggambarkan Tuhan sebagai jalan alam semesta, seperti konsep Tao yang bersifat transenden namun tetap hadir. Tuhan dalam perspektif ini memiliki satu substansi dengan banyak kategori dan sering disebut politeisme dalam manifestasinya.
Sanghyang Taya dalam Aspek Politeisme dan Monoteisme
Sanghyang Taya, melalui Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Manikmoyo, mencakup kekuatan dari entitas purba yang memberikan kekuatan hidup di dunia. Hal ini mencerminkan konsep eksistensi baik versus buruk (Tu-ah vs Tu-lah), yang mengajarkan keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk di dunia.
Aksara Kawi Aji Saka sebagai Manifestasi Jiwa Manusia
Dalam bentuk lain, konsep ini diekspresikan melalui Aksara Jawa atau Aji Saka yang terdiri dari 20 huruf dengan makna filosofis sebagai "tatanan" dalam jiwa manusia. Contohnya, huruf ha na ca ra ka melambangkan tesis, da ta sa wa la sebagai antitesis, dan seterusnya. Kombinasi dari unsur positif dan negatif ini menghasilkan harmoni dan keselarasan sebagai ajaran dasar yang diinternalisasikan dalam jiwa manusia menurut versi Semar.
Ajaran Semar ini mencerminkan filosofi kepemimpinan yang dalam dan filosofis, yang mengedepankan hubungan antara manusia dan Tuhan, harmoni dalam kehidupan, kesadaran moral, dan penghormatan terhadap alam.
PPT PROF. APOLLO - TM 8
Makna Kepemimpinan Semiotik & Hermeneutis SEMAR
TUTUP
Artinya lengkap paripurna, yang mencerminkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas dan kesempurnaan dalam menjalankan tugasnya. Pemimpin dengan nilai TUTUP diharapkan bisa menjadi sosok yang utuh, tanpa ada kekurangan dalam prinsip-prinsip yang dijunjung.TUHU
Artinya Tulus dan berharap pada kebaikan, mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketulusan hati dan selalu berorientasi pada kebaikan. TUHU berarti bahwa pemimpin tidak boleh memiliki niat tersembunyi atau maksud yang negatif, dan harus selalu mengharapkan hal yang baik untuk dirinya dan orang lain.TUNGGA
Artinya Mulya untuk dunia, yang mengindikasikan bahwa seorang pemimpin harus berperan untuk kesejahteraan semua orang. TUNGGA mencerminkan kemuliaan, sehingga pemimpin ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dan membawa kemakmuran serta keharmonisan dalam kehidupan.TUGUL
Artinya manusia awam/ikut saja, atau sikap untuk menjadi bawahan yang baik. TUGUL mengandung makna bahwa dalam kepemimpinan, seorang pemimpin pun harus siap mendengarkan dan belajar dari yang lain, serta menghargai peran orang lain. Ini adalah bentuk dari kerendahan hati, di mana pemimpin siap untuk ikut serta dan tidak selalu harus menjadi yang terdepan.
Nilai-nilai ini berasal dari filosofi Jawa, di mana Semar dianggap sebagai sosok yang bijaksana dan penuh dengan kearifan lokal. Keutamaan ini juga relevan dalam konteks modern, sebagai pedoman bagi para pemimpin untuk selalu rendah hati, tulus, bertanggung jawab, dan berkomitmen pada kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka
PPT (MODUL PRO. APOLLO) TM 8 - Diskursus Makna Kepemimpinan Semiotik & Hermenutis Semar.
Nurhadi Siswanto (2019) Filosofi Kepemimpinan Semar, Jurnal Isbi 29.
Taufiq, Wildan. Semiotika untuk Kajian Sastra dan Alqur’an. Bandung: Yrama Widya. 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H