1. Nama Semar : Ismoyo, SamarmayaÂ
Semar dikenal dengan nama lain seperti Ismoyo atau Samarmaya, yang menunjukkan identitasnya sebagai sosok yang mendua (maya) atau samar.Â
2. BadranayaÂ
"Badranaya" berarti membangun fondasi dasar, di mana Semar berperan sebagai utusan yang membawa pesan moral bagi masyarakat. Badranaya menekankan keberanian melawan ketidakadilan dengan filosofi "Semar Gugat Kekuasaan," yang juga diibaratkan sebagai tindakan simbolik membuang angin di Kahyangan, sehingga memberikan pandangan unik terhadap perjuangan melawan ketidakbenaran.Â
3. Dualitas Semar sebagai Simbol HermeneutikÂ
Semar melambangkan dualitas antara manusia biasa dan figur spiritual (nabi atau rasul dalam budaya Nusantara). Dualitas ini dikenal sebagai "double hermeneutics," atau metafora dari kekuatan spiritual Semar yang dapat menaklukkan kekuatan lain melalui humor, seperti kentut yang diibaratkan sebagai senjata ampuh dalam situasi kritis.Â
Kentut Semar menjadi simbol ketulusan yang kuat untuk meluruskan kezaliman pemimpin, seperti saat mengkritik kekuasaan pada masa Presiden Soeharto pada tahun 1988. Tokoh Semar atau Ismoyo merepresentasikan pemimpin yang adil dan bijaksana yang dapat membawa kemakmuran, keadilan, dan ketulusan untuk seluruh rakyat.Â
Tokoh Semar dalam budaya Jawa memiliki peran penting sebagai representasi simbolik kepemimpinan Nusantara yang mengedepankan nilai-nilai spiritual, kearifan lokal, dan kritik sosial terhadap kekuasaan yang tidak adil. Semar menjadi inspirasi untuk kepemimpinan yang adil, dengan kualitas pembimbing yang luhur dan sifat yang membumi, menjadikannya simbol dari pemimpin yang abadi dan terus relevan dalam konteks budaya Indonesia.
Makna Semiotik & Hermeneutis SEMARÂ
1. Semar secara Fisik Gambar
Semar digambarkan secara fisik bukan sebagai laki-laki atau perempuan, menunjukkan dualitas atau ambiguitas gender. Tangan kanannya terangkat ke atas, sementara tangan kirinya mengarah ke bawah, yang bisa diartikan sebagai simbol keseimbangan antara kekuatan atas dan bawah.
Dalam pewayangan, Semar sering ditampilkan sebagai sosok yang tua, namun juga seperti anak-anak, dengan tertawa dan menangis dalam waktu yang bersamaan. Hal ini melambangkan kepribadian yang kompleks, penuh kedalaman emosi, serta kemampuannya untuk menampilkan sifat-sifat manusiawi yang beragam sekaligus.
2. Semar Memiliki Kulit Hitam
Warna kulit hitam pada Semar melambangkan bumi atau tanah, yang dianggap sebagai elemen paling teguh dan stabil. Bumi sebagai elemen menerima segalanya, memberikan tanpa pamrih, dan tetap kokoh meskipun berhadapan dengan elemen lainnya seperti air, api, dan angin. Bumi menjadi simbol ketahanan yang rendah hati, tanpa kesombongan, dan selalu berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan.
Filosofi ini sesuai dengan prinsip "Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe," yang berarti bekerja dengan ikhlas tanpa mengharapkan penghargaan atau pamrih. Semar menjadi representasi manusia yang mampu menerima segala kenyataan (realitas) dan bahkan bisa menerima realitas yang lebih tinggi atau "meta-realitas" tanpa terpengaruh kategori duniawi.
3. Semar dan Simbol Kuncung 8 (Delapan)
"Kuncung" atau ciri khas Semar dengan 8 atribut ini melambangkan berbagai kategori pengendalian diri dan ketahanan. Atribut tersebut adalah: tidak merasa lapar, tidak ngantuk, tidak jatuh cinta, tidak bersedih, tidak merasa capek, tidak sakit, tidak kepanasan, dan tidak kedinginan.
Delapan atribut ini memberikan makna bahwa Semar memiliki kemampuan pengendalian diri yang kuat, seperti filosofi Stoa, yang tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Kuncung 8 ini menjadikan Semar sosok yang sakti, karena ia mampu mengatasi hasrat duniawi dan tetap teguh dalam menjalankan perannya.
4. Posisi Semar sebagai Dewa Kemangungsaan
Semar dilambangkan sebagai dewa yang berperan sebagai manusia, tetapi bukan manusia yang mengaku sebagai dewa. Simbol ini menunjukkan peran Semar sebagai pemimpin NKRI yang sifatnya merakyat, karena ia berfungsi sebagai dewa pelindung masyarakat.
Dalam pandangan ini, ada paralel antara tokoh-tokoh spiritual seperti Krishna dan Siwa dalam ajaran Jawa dan Nusantara, atau perpaduan antara ajaran Siwa dan Buddha yang ada dalam tradisi Siwa-Buddha di Indonesia. Dalam sejarah Majapahit, ajaran Siwa dan Buddha seringkali berbaur menjadi satu dalam karya sastra klasik seperti Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya.
Siwa, yang sering disebut sebagai Bhairawa dalam ajaran ini, menjadi representasi dewa yang mengandung nilai-nilai campuran antara agama Hindu dan Buddha, yang akhirnya tercermin dalam sosok Semar sebagai dewa kemanusiaan yang merakyat.
Penjelasan ini menguraikan Semar sebagai simbol kepemimpinan spiritual yang melampaui batas-batas duniawi. Semar dianggap memiliki kualitas sakral dan penuh makna filosofis sebagai representasi bumi yang kuat, dewa yang dekat dengan rakyat, dan sosok yang mampu mengatasi segala keterbatasan duniawi. Semar dalam budaya Jawa menjadi simbol kepemimpinan yang seimbang, menerima, dan ikhlas yang dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat dalam memahami hakikat kepemimpinan dan kearifan lokal.Â