Bulan lalu, media sosial X (sebelumnya Twitter) diramaikan oleh dugaan tindak kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang menyeret seorang mahasiswa dari perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Terduga pelaku disebut membuat banyak akun media sosial palsu dan menyamar menjadi orang lain untuk mendapatkan foto-foto sensitif dari korban. Melansir dari Antara News (2024), kasus ini pun bergulir dan sedang ditangani oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di universitas terkait. Banyak korban yang melapor bahwa mereka mengalami hal yang serupa oleh terduga pelaku yang sama.
Kasus tersebut bukanlah kasus KBGO pertama yang di-blow up di media sosial. Namun, sayangnya kejadian seperti ini terus berulang. Bagaimana kita mencegah KBGO terjadi dan kalaupun sudah terjadi, bagaimana cara penanganannya?
Sekilas Mengenai KBGO
KBGO itu sendiri merupakan kekerasan langsung terhadap seseorang yang didasarkan atas gender mereka dan difasilitasi oleh teknologi digital, misalnya media sosial. Komnas Perempuan mulai mencatat laporan KBGO sejak 2017 dengan jumlah 16 kasus. Di tahun 2023, jumlahnya sudah mencapai 1272 kasus. Meskipun menurun sebanyak 425 kasus dari tahun sebelumnya, hal ini belum bisa diartikan sebagai pertanda baik, sebab kini semakin banyak lembaga bantuan hukum yang dapat diakses dengan mudah. Jadi, tidak semua kasus KBGO dilaporkan ke Komnas Perempuan.
Tindakan KBGO bisa didorong oleh rasa memiliki, hasrat seksual, niat menghancurkan seseorang, profit, atau bahkan menjadi bagian dari agenda politik. Pelakunya bertujuan untuk menyerang korban secara psikologis, menyakiti secara fisik, atau menjalankan norma yang ia yakini. Hubungan antara pelaku dan korban KBGO bisa bersifat personal, impersonal, maupun institusional.
Dari sisi korban, tindak KBGO memberikan banyak dampak negatif. Secara fisik, korban bisa mengalami gangguan kesehatan sedangkan secara psikologis, korban bisa mengalami gangguan kecemasan, depresi, hingga keinginan bunuh diri. Secara sosial, korban cenderung mengasingkan diri, apalagi bagi korban penyebaran konten seksual. Selain itu, dari segi ekonomi, korban dirugikan karena kehilangan pekerjaan sehingga tidak lagi memiliki penghasilan. Adapun secara fungsional, tidak sedikit korban yang kehilangan kepercayaan terhadap lingkungannya dan memutus akses terhadap banyak orang.
Rumpun KBGO
Komnas Perempuan (2024) membagi KBGO ke dalam lima rumpun, yakni serangan online (penindasan online, pemerasan, penguntitan online, ujaran kebencian, dan intimidasi); pelanggaran privasi (pencurian identitas dan penyebaran informasi personal); pelecehan seksual online (cyber flashing, transmogrification, digital voyeurism, sexting); eksploitasi seksual (produksi konten seksual, prostitusi online, cyber grooming, dan cyber recruitment); dan malicious distribution (penyebaran nama baik, hoaks, non-consensual dissemination of intimate image/NCII, dan distribusi konten ilegal).
Rumpun KBGO ini bisa saja tumpang tindih karena satu pelaku dapat melakukan lebih dari satu jenis kejahatan kekerasan berbasis gender online. Misalnya dalam kasus yang disinggung di awal. Terduga pelaku berpura-pura menjadi orang lain (impersonating), mengirim konten seksual secara tiba-tiba tanpa konsen penerima (cyber flashing), dan membujuk korban agar mengirimkan konten seksual (cyber grooming).
Perlindungan Hukum bagi Korban KBGO
Semua orang berpotensi menjadi korban KBGO, utamanya seseorang yang terlibat dalam hubungan intim, tenaga profesional, dan penyintas atau korban penyerangan fisik. Hukum di Indonesia melindungi korban KBGO dengan menjerat pelakunya melalui perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023, Komnas Perempuan mengelompokkan undang-undang yang dapat dikenakan untuk menghukum pelaku KBGO berdasarkan rumpunnya. Pelaku cyber sexual harassment dapat dijerat dengan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS; pelaku sexploitation dengan Pasal 12 UU TPKS, UU Pornografi, dan Pasal 407 KUHP; pelaku online threats dengan Pasal 14 UU TPKS dan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Revisi UU ITE; pelaku malicious distribution dengan Pasal 14 UU TPKS, Pasal 29 Revisi UU ITE, dan Pasal 407 KUHP; serta pelaku pelanggaran privasi dapat dijerat dengan Pasal 14 UU TPKS.
Apa yang Harus Dilakukan Saat Menjadi Korban atau Saat Mendampingi Korban?
Karena terjadi di ruang digital, langkah pertama yang harus dilakukan saat menyadari bahwa kamu korban adalah mendokumentasikan semua hal yang terjadi. Memang terasa sulit apalagi saat korban mulai panik dan takut, namun korban juga perlu mengumpulkan bukti dan mencatat detail kejadian. Kedua, korban perlu mencari bantuan. Ceritakan kejadian tersebut pada orang atau lembaga yang terpercaya yang dinilai mampu memberikan bantuan. Korban juga bisa mencari tahu layanan pengaduan yang bisa dilakukan jarak jauh, misalnya dengan menghubungi Komnas Perempuan melalui telepon atau email. Lalu terus pantau situasi yang dihadapi, selalu waspadalah terhadap pelaku. Kemudian, jangan lupa untuk memutus akses informasi terhadap pelaku dan orang-orang yang mencurigakan lainnya dengan melaporkan dan memblokir akun mereka.
Adapun saat mendampingi korban, kita harus selalu berpegang pada prinsip keberpihakan pada korban, tidak menyudutkan atau menyalahkan korban, pemberdayaan korban, dan penyadaran keadilan gender. Dalam Buku Saku #2 Penanganan KBGO dan Tantangannya, PurpleCode Collective menjelaskan empat aspek penanganan KBGO yang meliputi pendekatan sosial seperti mendengarkan tanpa menghakimi hingga membentuk jejaring dukungan; pendekatan teknologi misalnya dengan membantu mengamankan perangkat dan akun-akun korban; pendekatan psikologis dengan menyediakan akses konseling; dan pendekatan hukum dengan mencari bantuan pendampingan hukum jika korban memutuskan untuk lapor polisi.
Jalan Panjang Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender
Penggunaan teknologi yang kian masif dan popularitas media sosial yang terus meningkat akan selalu memiliki dua mata pisau. Dunia maya sayangnya terus menjadi medium bagi berbagai kejahatan yang merugikan banyak orang, termasuk tindak KBGO. Namun medium adalah medium. Kekerasan berbasis gender sejak awal mengakar pada budaya misoginis dan patriarki yang masih kental di tengah masyarakat. Belum lagi stereotip dan stigmatisasi terhadap korban yang membuat mereka berulang kali menjadi korban. Dan jangan lupa juga bahwa ada penegak hukum yang masih harus terus belajar untuk menihilkan impunitas pelaku, melindungi korban, dan menghidupkan keadilan gender. Untuk itu, jangan lelah untuk terus mengedukasi diri dan lingkungan sekitar. Ini adalah jalan panjang kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H