Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai anggrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya. Ia setia dengan memberikan keindahan. Ia lahir untuk membuat dunia indah. Tataplah sekuntum bunga, dan dunia akan terkembang dalam keindahan di depan hidungmu. Tersenyumlah seperti bunga. Tersenyumlah, Cucu!
-Kakek pada Buyung, "Dilarang Mencintai Bunga-bunga", hal. 11.
Cerpen karya Kuntowijoyo ini merupakan salah satu cerpen yang sudah saya baca sejak duduk di bangku sekolah dasar. Cerpen ini menceritakan seorang anak laki-laki bernama Buyung, yang pindah dari lingkungan dusun ke perkotaan. Di lingkungan baru tempatnya tinggal itulah kemudian ia mendapat pengalaman sekaligus pembelajaran baru tentang kehidupan. Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, menurut saya adalah suatu kritik terhadap streotipe yang ada dalam masyarakat saat ini. Keharusan seorang laki-laki yang tetap pada perannya sebagai seorang yang maskulin, dan perempuan untuk selalu bersikap feminim. Tentu, ini menjadi suatu kritik bahkan di zaman post-modernisme yang bahkan, masih banyak orang yang memiliki pikiran untuk mengkotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan baik dalam ruang publik maupun domestik. Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga ditulis dengan gaya realis, sarat akan makna namun tetap ditulis dengan diksi yang sederhana. Tidak hanya dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, namun juga mampu memberikan sindiran-sindiran terhadap ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan yang dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk pada praktik sosial masyarakat.Â
Kritik atas Maskulinitas
Kuntowijoyo memang tidak pernah gagal dalam menyampaikan pesan-pesannya dalam sebuah cerita. Dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, dialog antara Buyung-Ayah, atau Buyung-Kakek memberikan sindiran-sindiran terhadap bagaimana laki-laki harus bersikap dan berperan. Dialog antara Buyung-Ayah menggambarkan bahwa laki-laki harus memiliki sikap maskulin, tidak perlu lah bermain atau menanam bunga. Bunga itu untuk perempuan, sedangkan tangan laki-laki harus selalu kotor untuk bekerja, harus kuat, ulet dan tidak boleh lemah.Â
"Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan, bolehlah. Tetapi, engkau laki-laki." hal. 7
"Engkau mulai cengeng, Buyung. Boleh ke sungai untuk berenang, bukan mencari bunga." hal. 12
"Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, Buyung. Ayo, timba air banyak-banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja. Tahu!" hal. 23
Dialog antara Buyung-Ayah menekankan sisi maskulinitas terhadap diri seorang laki-laki yang memiliki standar normatif terkait bagaimana mestinya menjadi laki-laki. Dalam dialog tersebut juga menunjukkan bahwa saat ini, aspek sosio-kultural masyarakat juga turut ambil bagian dalam rangka memproduksi pandangan maskulinitas yang diharapkan. Dalam aspek sosio-kultural, biasanya berasosiasi dengan citra industrialisasi, seperti kekuatan militer, dan peran sosial gender yang konvensional. Misalnya saja, laki-laki harus kuat secara fisik, pintar, agresif secara seksual, logis, individualistik, condong memimpin, serta sifat-sifat jantan lainnya. Dalam konteks budaya Jawa saja, laki-laki dikatakan sebagai must be a big wheel. Seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukilo (burung peliharaan), dan pusoko (senjata atau kesaktian) (Osella & Osella, 2000: 120). Dalam gaya realis, Kuntowijoyo menggambarkan bagaimana realitas kehidupan dalam masyarakat menempatkan perempuan sebagai orang yang butuh berlindung di balik punggung laki-laki, sebaliknya, "...laki-laki yang tak bisa menundukkan perempuan, tak usahlah dia kawin." Adanya standar normatif dan ketimpangan relasi gender tersebut terkadang tidak hanya semata-mata tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di ruang publik dan domestik, namun juga tentang bagaimana ia mendapat pengakuan dari masyarakat, bahwa mereka telah berperilaku sesuai perannya.
Dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Buyung sebagai tokoh utama tidak hanya kebingungan untuk memilih peran, terpaksa bekerja kasar untuk menuruti ayah, atau menanam dan merawat bunga-bunga bersama kakek. Sindiran terhadap standar normatif terkait bagaimana mestinya menjadi seorang laki-laki menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Sedangkan dialog Buyung-Kakek, menekankan pada bagaimana cara mendapatkan kedamaian dan ketenangan jiwa.Â
"Segalanya mengendap. Cobalah lihat, Cucu. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketenangan, dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Kendaraan hilir-mudik. Orang berjalan ke sana kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Tukang copet memainkan tangannya. Pemimpin meneriakkan semboyan kosong. Anak-anak bertengkar merebut layang-layang. Apakah artinya semua itu, Cucu? Mereka menipu diri sendiri. Hidup ditemukan dalam ketenangan. Bukan dalam hiruk pikuk dunia." hal. 16
Dalam dialog yang dibangun oleh kakek dan Buyung, saya merasa bahwa ini adalah satir yang coba dibangun oleh Kuntowijoyo dengan memperhatikan bagaimana realitas masyarakat yang ada. Orang bisa mencari uang dari pagi hingga sore, bekerja tak kenal lelah, berdagang, beternak, atau aktivitas-aktivitas lain untuk mengejar dunia. Tetapi mereka lupa, atau kerap abai untuk mencari kedamaian dan ketenangan jiwa. Konstruksi dalam cerpen ini disampaikan oleh Kakek bahwa ketenangan menghasilkan kesopanan, dan kecemasan menghasilkan tingkah laku kasar. Seseorang yang terlalu hanyut dalam nafsu dan aktivitas-aktivitas dunia, akan kerap merasakan kecemasan dan tingkah laku mereka kasar. Maka, agama menjadi solusi praktis dari kecemasan itu. Sosok ibu menjadi karakter konstruktif yang memberikan pesan bahwa pergi mengaji-masjid merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan jiwa.Â
Cerpen ini, menurut saya tidak hanya memberikan kritik namun juga menunjukkan bahwa tidak ada yang sangat benar atau sangat salah dalam hidup ini. Karakter Ayah sebagai sosok maskulin yang gagah, berotot, seram dan pekerja keras. Karakter ibu yang lembut, dan penyayang. Kemudian Kakek yang ceria, penuh wibawa, dan senang dengan bunga-bunga, menunjukkan bahwa hidup ini memberikan banyak pilihan. Hidup ini memberikan kebebasan. Kita bisa memilih apa saja yang kita suka, dan itu bisa saja berlandaskan dari apa yang kita yakini dapat memberikan kedamaian dan ketenangan jiwa. "...Malam hari aku pergi tidur dengan kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun bunga, Ayah kerja-bengkel, Ibu mengaji-masjid."
Begitulah kiranya. Cerpen ini memberikan pesan bahwa, baik laki-laki maupun perempuan, tak masalah untuk memasak, mencuci, merawat tanaman, atau mencintai bunga-bunga, pun tak masalah juga untuk melakukan kerja kasar. Ketimpangan relasi gender yang ada saat ini merupakan konstruksi masyarakat yang terus dilanggengkan sehingga menjadi sesuatu yang memang sudah "normalnya" seperti itu. Sehingga, apabila tidak bisa terlepas dari ketimpangan itu, bisa saja merugikan keduanya. Baik laki-laki maupun perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H