Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) telah menjadi permasalahan geopolitik paling sensitif dan kompleks di kawasan Asia Tenggara, bahkan dapat berdampak lebih luas dikarenakan letak geografisnya yang berada di jalur perdagangan dunia. Menurut lembaga Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat, LCS merupakan area dengan komoditi laut yang berlimpah dan memiliki cadangan gas alam yang setara milik negara Qatar, serta cadangan minyak yang jumlahnya sepuluh kali lipat dari cadangan minyak nasional Amerika Serikat. Jadi tidak mengherankan jika setiap claimant state akan berupaya keras mempertahankan kepentingan nasional mereka di LCS.
LCS adalah salah satu kawasan yang paling strategis di dunia. Berdasarkan Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC), LCS menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga menjadikannya salah satu jalur tersibuk di dunia. Setengah lalu lintas perdagangan dunia melewati LCS, yang secara langsung menjadikannya sebagai jalur laut utama perekonomian global.
Letak geografis LCS dikelilingi oleh negara Brunei Darussalam, Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Kawasan ini menjadi titik koordinat sengketa teritorial yang telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Sengketa ini berpusat di gugusan kepulauan Paracel dan Spratly, dengan Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan terakhir Taiwan sebagai pihak yang saling mengeklaim wilayah LCS berdasarkan letak geografis atau historis masing-masing negara.
Negara Tiongkok menggunakan peta Nine Dash Line, peta buatan mereka sendiri, sebagai dasar klaim historisnya. Sementara negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam mengajukan klaim berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Tiongkok melakukan berbagai manuver terbuka, termasuk membangun pulau buatan dan menempatkan tentara militer mereka di kawasan sengketa tersebut.
Di pihak lain, salah satunya Filipina, menempuh jalur gugatan terhadap Tiongkok ke Pengadilan Hukum Laut Internasional. Pada tahun 2016, UNCLOS memutuskan untuk menolak klaim sepihak Tiongkok karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Permasalahan kedaulatan di LCS ini menjadi rumit karena keputusan UNCLOS belum berhasil menyelesaikan perselisihan, dan masing-masing negara yang bersengketa masih menggunakan interpretasi dan acuan yang berbeda. Tiongkok menolak keputusan UNCLOS tersebut dan tetap meyakini bahwa LCS merupakan milik mereka.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa nenek moyang mereka sudah berlayar sejak dulu di wilayah LCS. Selain itu, sikap penolakan tersebut juga dipengaruhi oleh arogansi kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang mereka miliki sebagai salah satu negara besar di dunia.
Rumitnya Konflik di LCS yang Turut Menyeret Indonesia
Sengketa kedaulatan di Laut Cina Selatan (LCS) menggambarkan bagaimana konsep kedaulatan negara terus diuji. Batas-batas kekuasaan dan hak kedaulatan suatu negara ternyata dapat bergesekan dengan dinamika politik regional bahkan kepentingan global.
Upaya diplomasi telah dilakukan melalui ASEAN dan mekanisme multilateral lainnya untuk meredakan ketegangan di LCS. Tetapi, keberhasilan diplomasi ini juga terhambat oleh tindakan sepihak Tiongkok yang ingin menegaskan kekuatannya di wilayah LCS, hal ini terus memicu ketegangan bahkan sampai mendorong terjadinya konfrontasi militer.