Kehadiran kekuatan besar seperti Amerika Serikat juga memperumit situasi di LCS. Negara adidaya ini menentang ekspansi Tiongkok melalui operasi Freedom of Navigation (FONOPS) dengan alasan untuk memastikan bahwa jalur perdagangan internasional tetap terbuka dan bebas dari klaim sepihak. Dari sudut pandang lain, aktivitas militer AS di kawasan ini juga menunjukkan betapa pentingnya LCS tidak hanya bagi negara-negara di sekitarnya, tetapi juga bagi kepentingan global.
Walaupun bukan sebagai claimant state, ternyata Indonesia tidak terlepas dari sengketa LCS. Sejak tahun 2010, secara sepihak Tiongkok mengeklaim wilayah utara Kepulauan Natuna dan menyeret Indonesia ke dalam konflik ini. Tiongkok mengeklaim wilayah tersebut merupakan bagian dari traditional fishing zone mereka, sementara Indonesia menegaskan bahwa wilayah tersebut berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Ketegangan mencapai puncaknya pada tahun 2016, ketika sejumlah kapal nelayan dan coast guard Tiongkok melakukan kegiatan ilegal di wilayah perairan Natuna, yang tentu saja dianggap Indonesia sebagai pelanggaran kedaulatan.
Insiden pelanggaran tersebut terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya, menunjukkan bahwa perbedaan pandangan antara Tiongkok dan Indonesia masih belum menemui kata selesai. Indonesia dengan tegas menolak klaim Nine Dash Line ciptaan Tiongkok dan konsisten menegaskan kedaulatannya di Laut Natuna Utara.
Respon Masyarakat Indonesia Terkait Sengketa di LCS
Terkait konflik yang muncul akibat klaim Tiongkok atas hampir 90 persen wilayah LCS berdasarkan Nine Dash Line, mayoritas rakyat Indonesia memandang Tiongkok sebagai ancaman nyata terhadap kedaulatan negara Indonesia. Kesimpulan ini diperoleh dari hasil survei yang dilakukan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) dan Litbang Kompas pada tahun 2024, yang melibatkan sebanyak 312 responden yang berusia 17-60 tahun dari 5 (lima) kota besar di Indonesia, diantaranya Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar.
Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa 79 persen responden menilai Tiongkok sebagai ancaman bagi negara-negara ASEAN. Dominansi persepsi negatif tersebut berasal dari responden yang berusia 27-42 tahun.
Tindakan agresif Tiongkok di LCS dianggap sebagai ancaman realistis terhadap wilayah teritorial sekaligus sumber daya alam milik negara Indonesia. Ancaman realistis ini berkaitan dengan keamanan fisik dan kesejahteraan ekonomi, serta bertentangan juga dengan norma, nilai, dan identitas bangsa Indonesia.
Sentimen negatif dari mayoritas rakyat Indonesia merupakan gambaran kekhawatiran dan kecemasan atas ancaman realistis yang berlangsung saat ini dan yang akan terjadi di masa depan. Berdasarkan sejarah, masyarakat Indonesia memiliki identitas nasional yang kuat dan telah terbangun sejak masa perjuangan meraih kemerdekaan hingga saat ini. Apabila identitas nasional terancam, maka setiap lapisan masyarakat di Indonesia akan lebih solid untuk bersatu.
Ketidakpastian stabilitas di kawasan LCS akibat perilaku Tiongkok memunculkan perasaan tidak nyaman bagi negara-negara yang bersengketa, termasuk di Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil survei ISDS dan Litbang Kompas yang telah dipaparkan sebelumnya. Saat ini, negara-negara ASEAN sedang memperkuat aliansi yang lebih kokoh agar dapat melindungi kepentingan bersama.
Dari sisi strategis dan nilai ekonomi, Indonesia memiliki alasan kuat untuk menjaga kedaulatan NKRI di wilayah Laut Natuna Utara (LNU). Selain posisi geografisnya yang strategis sebagai lintasan perdagangan internasional, perairan Natuna berpotensi memberikan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia melalui kekayaan sumber daya alam lautnya.