Mohon tunggu...
Siti Annisa Rizki
Siti Annisa Rizki Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Director of Arunika Psikologi Group. Top 15 Writer for the Call for Papers on Transition to Just Energy by The Habibie Center 2023. Favorite Blogger at BRI Write Fest 2023. Industrial and Organizational Psychologist since 2012 for State-Owned Enterprises (BUMN) and national Business Companies. • Your empathetic psychologist • Free spirit | open mind | happy to support.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kecemasan Rakyat Indonesia Terhadap Laut Natuna Utara dan Upaya Strategis Pemerintah untuk Menjaga Kedaulatan Negara

31 Mei 2024   17:37 Diperbarui: 31 Mei 2024   17:37 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) telah menjadi permasalahan geopolitik paling sensitif dan kompleks di kawasan Asia Tenggara, bahkan dapat berdampak lebih luas dikarenakan letak geografisnya yang berada di jalur perdagangan dunia. Menurut lembaga Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat, LCS merupakan area dengan komoditi laut yang berlimpah dan memiliki cadangan gas alam yang setara milik negara Qatar, serta cadangan minyak yang jumlahnya sepuluh kali lipat dari cadangan minyak nasional Amerika Serikat. Jadi tidak mengherankan jika setiap claimant state akan berupaya keras mempertahankan kepentingan nasional mereka di LCS.

LCS adalah salah satu kawasan yang paling strategis di dunia. Berdasarkan Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC), LCS menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga menjadikannya salah satu jalur tersibuk di dunia. Setengah lalu lintas perdagangan dunia melewati LCS, yang secara langsung menjadikannya sebagai jalur laut utama perekonomian global.

Letak geografis LCS dikelilingi oleh negara Brunei Darussalam, Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Kawasan ini menjadi titik koordinat sengketa teritorial yang telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Sengketa ini berpusat di gugusan kepulauan Paracel dan Spratly, dengan Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan terakhir Taiwan sebagai pihak yang saling mengeklaim wilayah LCS berdasarkan letak geografis atau historis masing-masing negara.

Negara Tiongkok menggunakan peta Nine Dash Line, peta buatan mereka sendiri, sebagai dasar klaim historisnya. Sementara negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam mengajukan klaim berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Tiongkok  melakukan berbagai manuver terbuka, termasuk membangun pulau buatan dan menempatkan tentara militer mereka di kawasan sengketa tersebut. 

Di pihak lain, salah satunya Filipina, menempuh jalur gugatan terhadap Tiongkok ke Pengadilan Hukum Laut Internasional. Pada tahun 2016, UNCLOS memutuskan untuk menolak klaim sepihak Tiongkok karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Permasalahan kedaulatan di LCS ini menjadi rumit karena keputusan UNCLOS belum berhasil menyelesaikan perselisihan, dan masing-masing negara yang bersengketa masih menggunakan interpretasi dan acuan yang berbeda. Tiongkok menolak keputusan UNCLOS tersebut dan tetap meyakini bahwa LCS merupakan milik mereka. 

Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa nenek moyang mereka sudah berlayar sejak dulu di wilayah LCS. Selain itu, sikap penolakan tersebut juga dipengaruhi oleh arogansi kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang mereka miliki sebagai salah satu negara besar di dunia.

Rumitnya Konflik di LCS yang Turut Menyeret Indonesia

Sengketa kedaulatan di Laut Cina Selatan (LCS) menggambarkan bagaimana konsep kedaulatan negara terus diuji. Batas-batas kekuasaan dan hak kedaulatan suatu negara ternyata dapat bergesekan dengan dinamika politik regional bahkan kepentingan global.

Upaya diplomasi telah dilakukan melalui ASEAN dan mekanisme multilateral lainnya untuk meredakan ketegangan di LCS. Tetapi, keberhasilan diplomasi ini juga terhambat oleh tindakan sepihak Tiongkok yang ingin menegaskan kekuatannya di wilayah LCS, hal ini terus memicu ketegangan bahkan sampai mendorong terjadinya konfrontasi militer.

Kehadiran kekuatan besar seperti Amerika Serikat juga memperumit situasi di LCS. Negara adidaya ini menentang ekspansi Tiongkok melalui operasi Freedom of Navigation (FONOPS) dengan alasan untuk memastikan bahwa jalur perdagangan internasional tetap terbuka dan bebas dari klaim sepihak. Dari sudut pandang lain, aktivitas militer AS di kawasan ini juga menunjukkan betapa pentingnya LCS tidak hanya bagi negara-negara di sekitarnya, tetapi juga bagi kepentingan global.

Walaupun bukan sebagai claimant state, ternyata Indonesia tidak terlepas dari sengketa LCS. Sejak tahun 2010, secara sepihak Tiongkok mengeklaim wilayah utara Kepulauan Natuna dan menyeret Indonesia ke dalam konflik ini. Tiongkok mengeklaim wilayah tersebut merupakan bagian dari traditional fishing zone mereka, sementara Indonesia menegaskan bahwa wilayah tersebut berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. 

Ketegangan mencapai puncaknya pada tahun 2016, ketika sejumlah kapal nelayan dan coast guard Tiongkok melakukan kegiatan ilegal di wilayah perairan Natuna, yang tentu saja dianggap Indonesia sebagai pelanggaran kedaulatan.

Insiden pelanggaran tersebut terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya, menunjukkan bahwa perbedaan pandangan antara Tiongkok dan Indonesia masih belum menemui kata selesai. Indonesia dengan tegas menolak klaim Nine Dash Line ciptaan Tiongkok dan konsisten menegaskan kedaulatannya di Laut Natuna Utara.

Respon Masyarakat Indonesia Terkait Sengketa di LCS

Terkait konflik yang muncul akibat klaim Tiongkok atas hampir 90 persen wilayah LCS berdasarkan Nine Dash Line, mayoritas rakyat Indonesia memandang Tiongkok sebagai ancaman nyata terhadap kedaulatan negara Indonesia. Kesimpulan ini diperoleh dari hasil survei yang dilakukan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) dan Litbang Kompas pada tahun 2024, yang melibatkan sebanyak 312 responden yang berusia 17-60 tahun dari 5 (lima) kota besar di Indonesia, diantaranya Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar. 

Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa 79 persen responden menilai Tiongkok sebagai ancaman bagi negara-negara ASEAN. Dominansi persepsi negatif tersebut berasal dari responden yang berusia 27-42 tahun.

Tindakan agresif Tiongkok di LCS dianggap sebagai ancaman realistis terhadap wilayah teritorial sekaligus sumber daya alam milik negara Indonesia. Ancaman realistis ini berkaitan dengan keamanan fisik dan kesejahteraan ekonomi, serta bertentangan juga dengan norma, nilai, dan identitas bangsa Indonesia. 

Sentimen negatif dari mayoritas rakyat Indonesia merupakan gambaran kekhawatiran dan kecemasan atas ancaman realistis yang berlangsung saat ini dan yang akan terjadi di masa depan. Berdasarkan sejarah, masyarakat Indonesia memiliki identitas nasional yang kuat dan telah terbangun sejak masa perjuangan meraih kemerdekaan hingga saat ini. Apabila identitas nasional terancam, maka setiap lapisan masyarakat di Indonesia akan lebih solid untuk bersatu.

Ketidakpastian stabilitas di kawasan LCS akibat perilaku Tiongkok memunculkan perasaan tidak nyaman bagi negara-negara yang bersengketa, termasuk di Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil survei ISDS dan Litbang Kompas yang telah dipaparkan sebelumnya. Saat ini, negara-negara ASEAN sedang memperkuat aliansi yang lebih kokoh agar dapat melindungi kepentingan bersama.

Dari sisi strategis dan nilai ekonomi, Indonesia memiliki alasan kuat untuk menjaga kedaulatan NKRI di wilayah Laut Natuna Utara (LNU). Selain posisi geografisnya yang strategis sebagai lintasan perdagangan internasional, perairan Natuna berpotensi memberikan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia melalui kekayaan sumber daya alam lautnya.

Menurut kajian yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, Blok Natuna D-Alpha mengandung gas alam dengan volume 222 triliun kaki kubik. Ladang gas alam tersebut dinilai merupakan yang terbesar di Asia Pasifik, bahkan di dunia. Jika dieksplorasi berpotensi menyumbang penambahan sekitar 20% cadangan gas nasional Indonesia, cadangan gas alam tersebut diperkirakan tidak akan habis selama 30 tahun ke depan.

Selain itu, berdasarkan hasil identifikasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau, potensi dari perairan Natuna dapat menghasilkan rata-rata 500 ribu ton tangkapan ikan per tahun. Berdasarkan Annex VII UNCLOS 1982 dan diperkuat keputusan Permanent Court of Arbitration tahun 2016, Indonesia memiliki hak kedaulatan untuk mengeksplorasi sumber daya alam sampai batas 200 mil di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tersebut.

Dengan daftar kekayaan sumber daya alam mineral dan energi yang luar biasa serta ketetapan hukum internasional yang mengakui bahwa LNU merupakan bagian dari wilayah NKRI, maka negara Indonesia wajib untuk mempertahankan kedaulatannya. Sangat bisa dipahami bagaimana perilaku Tiongkok dipersepsikan sebagai ancaman bagi mayoritas masyarakat Indonesia. 

Sentimen negatif yang kuat terhadap Tiongkok, secara positif dapat mendorong Pemerintah Indonesia lebih proaktif dan konsisten menjalin diplomasi internasional terutama bersama negara-negara ASEAN untuk melindungi kedaulatan wilayah NKRI.

Menurut pakar hubungan internasional, Kenneth Waltz, yang menginterpretasikan teori John Mearsheimer, berpandangan bahwa tujuan utama sebuah negara adalah untuk bertahan hidup (survive). Maka setiap negara, termasuk Indonesia, sejatinya harus menjaga kedaulatannya sekaligus mempertahankan posisinya dalam struktur internasional melalui balance of power. Pendapat ini menjadi relevan bagi Indonesia dalam menghadapi sengketa di Laut Natuna Utara (LNU).

Langkah Strategis Pemerintah Indonesia Melindungi Kedaulatannya

Indonesia memiliki alasan kuat dan jelas untuk menjaga kedaulatan di wilayah Laut Natuna Utara (LNU). Pemerintah menegaskan bahwa klaim Tiongkok di LNU akan dihadapi dengan respon yang penuh kebijaksanaan. Indonesia mengadopsi strategi netral dalam menghadapi gejolak di LCS, terus mengamati geopolitik yang terjadi, serta aktif melakukan diplomasi dan penyiagaan kekuatan militer di wilayah NKRI.

Untuk mempertahankan kedaulatannya, Pemerintah Indonesia menempuh jalur resmi dengan mengirimkan nota diplomatik ke PBB untuk menolak klaim Tiongkok, serta mengirim nota protes kepada Tiongkok atas pelanggaran kedaulatan yang mereka lakukan. Presiden Jokowi sebagai simbol negara menunjukkan langkah tegas dengan melakukan kunjungan langsung dan menggelar rapat di KRI Imam Bonjol, di atas perairan Natuna. 

Indonesia juga merespon dengan mengeluarkan peta NKRI dengan penamaan Laut Natuna Utara, dan menyusun rencana percepatan peningkatan kegiatan ekonomi di Kepulauan Natuna dengan mengundang investor asing untuk turut mengembangkan potensi di sektor migas, kelautan, dan pariwisata.

Di sisi militer, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Bakamla RI ditugaskan menjaga keamanan dan kedaulatan Indonesia di wilayah Natuna. Latihan militer rutin dilakukan baik secara internal maupun bersama negara lain, serta peningkatan patroli teritorial menjadi komitmen serius Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya.

Tantangan yang dihadapi Indonesia ini tidaklah mudah. Kekuatan militer dan ekonomi Tiongkok jauh lebih besar. Oleh karena itu, dibutuhkan modernisasi alutsista dan peningkatan kapasitas pasukan pertahanan RI. Kebutuhan tersebut dinilai menjadi prioritas untuk memastikan bahwa Indonesia mampu melindungi setiap jengkal wilayah NKRI di LNU. Hal ini sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, pada debat calon presiden bulan Januari 2024 yang lalu terkait permasalahan di LCS.

Untuk menghadapi situasi yang mungkin dapat berubah secara dinamis, Indonesia perlu terus memperkuat diplomasi internasionalnya dengan menjalin hubungan yang lebih erat terutama dengan negara-negara yang memiliki kepentingan yang sama di LCS. 

Upaya diplomatik antar negara yang bersengketa harus dibangun dengan dialog konstruktif berlandaskan penghormatan atas kedaulatan negara masing-masing yang mengacu pada ketetapan hukum internasional. Kesepakatan Declaration of Conduct antara ASEAN dan Tiongkok yang telah berproses sejak tahun 2002, diharapkan dapat segera rampung dan berjalan untuk kepentingan bersama menjaga stabilitas di Kawasan LCS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun