Mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Muhammadiyah Banjarmasin (UMB) mengadakan Sosialisasi Bahaya Pernikahan Dini dengan upaya Pencegah Stunting di SDN 1 Ujung, Desa ujung lama, Kec. Bati Bati pada Rabu, (21/08/2024)
Pernikahan dini terus menjadi isu penting di Indonesia, dengan berbagai kebijakan dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi dampak sosial dan kesehatan yang terkait. Meskipun pernikahan dini telah menjadi bagian dari tradisi di beberapa daerah, pemerintah dan berbagai organisasi masyarakat kini lebih fokus pada upaya untuk mengurangi angka pernikahan dini melalui berbagai kebijakan dan program edukasi.Â
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan dini di Indonesia telah menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, angka tersebut masih tinggi dibandingkan dengan standar internasional. Menanggapi hal ini, pemerintah baru-baru ini meluncurkan beberapa inisiatif untuk menanggulangi fenomena ini, termasuk program-program pendidikan dan kampanye kesadaran masyarakat.
Studi WHO di Indonesia menyebutkan salah satu penyebab masalah stunting di Indonesia adalah maraknya pernikahan dini. Apalagi saat ini banyak pihak yang menganggap pernikahan dini sebagai hal biasa.Â
 Pernikahan dini sendiri, menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah pernikahan di bawah usia 19 tahun.
Pemerintah terus melakukan berbagai upaya penanggulangan maupun pencegahan pernikahan dini atau pernikahan di usia muda ini melalui Kementerian Kesehatan sebagai garda terdepan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk sosialisasi dampak pernikahan dini, termasuk  stunting.Â
Apa Hubungan Stunting dengan Pernikahan Dini?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), presentase pernikahan dini di Indonesia meningkat dari tahun 2017 yang hanya 14,18% menjadi 15,66% pada tahun 2018. Ada banyak faktor yang mendasari pernikahan dini, dari adat, ekonomi, hingga kehamilan yang tak diinginkan.
Fakta lainnya, sebesar 43,5% kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dengan usia ibu 14-15 tahun, sedangkan 22,4% dengan rentang usia 16-17 tahun.Â
Lantas, apa hubungan antara stunting dengan pernikahan dini? Saat melakukan sebuah pernikahan, perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis belum matang, serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.Â
Hubungan lainnya, para remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun. Nah, jika mereka sudah menikah  pada usia remaja tahun, misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat berisiko terkena stunting.
Perempuan yang hamil di bawah usia 18 tahun, organ reproduksinya juga belum matang. Organ rahim, misalnya, belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin dan bisa menyebabkan keguguran.Â
Batas Bawah Usia Ideal untuk Hamil
Memang, pada dasarnya tidak ada patokan khusus usia terbaik kehamilan. Namun, seorang wanita mulai memasuki usia produktif pada usia 21 tahun. Jika dipantau dari segi biologis, pada usia 21-35 tahun perempuan memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sel telur yang diproduksi sangat berlimpah.Â
 Risiko gangguan kehamilan, seperti pembukaan jalan lahir yang lambat hingga risiko bayi cacat pada wanita usia 21-35 tahun juga sangatlah kecil.
 Jadi, kalau umur memang masih belum 19 tahun, sebaiknya tunda dulu keinginan untuk menikah. Kan sudah ada hukumnya juga, kalau usia laki-laki dan perempuan harus minimal 19 tahun untuk menikah.
Penulis : Annisa Raqiqah
Proker Individu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H