[caption id="attachment_237711" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]
Selamat malam, kompasianer. Pada postingan kali ini saya ingin membahas tentang cadel. Tentu kita sudah tidak asing dengan istilah cadel. Tapi, apa sih sebenarnya arti cadel itu? Cadel merupakan istilah untuk ketidakmampuan seseorang untuk melafalkan huruf tertentu. Pada umumnya melafalkan huruf "R" sebagai "L".
Penyebab cadel pun macam-macam. Bisa karena kurangnya koordinasi antara organ-organ yang berperan dalam pelafalan, seperti mulut dan lidah. Ada juga mitos tentang penyebab cadel, yaitu karena lidahnya pendek. Atau mungkin bisa saja efek kebiasaan. Mungkin karena ketika bayi masih belajar bicara, orang-orang dewasa disekitar bayi tersebut sering mencadel-cadelkan dan mengimut-imutkan diri (bahasa bayi, red) mereka saat berbicara dengan bayi.
Saya juga cadel. Dalam kasus saya, saya tidak bisa melafalkan huruf "R". Saya mengganti "R" dengan "L". Atau paling hebat saya berhasil melafalkan "R" seperti orang bule yang melafalkan "ARE". Jadi "R"-nya tidak jelas. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan lidah saya untuk bergetar saat melafalkan huruf "R".
Saat kecil, saya menganggap cadel itu adalah suatu bentuk cacat. Saya malu sekali. Teman-teman sering mengejek saya. Saya pernah bercerita tentang MERECON yang saya nyalakan saat tahun baru kepada teman-teman saya. Dan mereka tertawa sambil berkata, "kalo ga bisa bilang MERECON, bilang aja PETASAN!" Sungguh kejam. Saya paling benci jika disuruh menjadi pemimpin barisan. Saya pasti menolaknya. Karena saya malu, tidak bisa mengucapkan "SIAP GERAK!" "HORMAT GERAK!" :'(
Hal-hal tersebut mendorong saya untuk mencari cara menyembuhkan cadel yang saya derita. Saya berlatih didepan cermin menggetarkan lidah saya. Tapi gagal. Suatu hari, saat saya baru masuk SMA, saya bertemu sepupu saya yang sudah TK. Saya sudah lama tidak bertemu. Terakhir bertemu saat dia masih belajar berbicara. Dan sekarang dia sudah bisa bilang "R" dengan lancarnya. Padahal waktu belajar bicara dulu dia cadel. Apa yang salah dengan saya?!
Kemudian saya mengingat-ingat, dan mendapat ilham. Dulu sepupu saya itu melafalkan huruf "R" dengan "N". Adik saya yang pertama, melafalkan "R" dengan "NG". Kemudian anak tetangga saya melafalkan huruf "R" dengan "N". Sedangkan saya melafalkan "R" dengan "L". Saya juga menyambung-nyambungkan dengan (maaf tidak bermaksud rasis) orang Chinese yang melafalkan "R" dengan "L".
Saya berkesimpulan, jika kita melafalkan huruf "R" dengan "L", itu akan membuat kita cadel. Karena menurut saya, itu adalah latihan yang salah. Cara pengucapan "L" tidak sama dengan "R". Berbeda di lebar bukaan rongga mulut dan gerakan lidah. Membingungkan ya?! Anyway, Intinya saya memutuskan: mengganti huruf "R" dengan huruf konsonan lain, seperti "N" atau "NG" adalah lebih baik untuk bayi saat sedang belajar bicara.
Kemudian, saya mempraktekan hasil riset-kurang-data-dan-tanpa-metode saya ini. Saya menyebutnya "Teori Titik Nol". Dimana saya kembali ke titik nol. Titik dimana saya kembali ke keadaan saya ketika bayi. Ketika masih belajar bicara. Setiap saya menyebutkan kata yang ada huruf "R"-nya, saya menggantinya dengan "N" jika ditengah dan "NG" jika diakhir kata. Sebagai contoh, kata "ORANG" menjadi "ONANG" dan "ULAR" menjadi "ULANG".
Untuk menghindari disangka (maaf) keterbelakangan mental atau malah lebih parah dianggap kurang waras, saya hanya mempraktekkannya saat berbicara dengan keluarga saya. Awalnya orang tua saya tidak mengerti ucapan saya dan meminta saya berbicara dengan normal. Tapi saya tetap bandel. Hehehe.. Bukannya menjelaskan. Karena saya belum yakin berhasil. Hanya kedua adik saya yang membiarkan saya tetap berbicara seperti itu.
Saya terus berbicara seperti anak kecil baru belajar bicara sampai suatu saat yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Ketika itu, saya sudah kelas 2 SMA. Saya sedang menonton televisi di rumah. Ada berita tentang Australia. Tapi saya lupa beritanya apa. Yang jelas, berita itu cukup penting untuk membuat saya berlari ke ibu saya, untuk menceritakannya. "Ma! Ada ...bla...bla...bla.." Kata saya kepada ibu saya dengan semangatnya. Ibu saya pun bertanya, "Dimana?" Dan saya menjawab dengan lancarnya, "AustRalia."
Kontan saja ibu saya kaget. "Coba ulangi lagi, dimana?" Kata ibu saya. Saya yang masih belum ngeh dengan polosnya menjawab, "AustRalia." Ibu saya langsung heboh, "Wah! kamu bisa ngomong R. Coba lagi!" Dan saya mengulang lagi. Kemudian dengan euforia berlebihan, saya mencoba semua kata yang ada huruf "R"-nya. Dan ternyata saya bisa mengucapkan huruf "RRRRRRR" yang menjadi momok selama ini.
Tapi saat itu, ada kelemahannya. Saya belum bisa mengucapkan kata dengan 2 huruf "R" didalamnya. Misalnya, kata "RARA" atau "RIRIN". Selalu saja gagal menyebutkan dengan benar. Salah satu huruf "R"-nya menjadi "L" lagi. Tapi saya tidak berputus asa. Saya terus melanjutkan "Teori Titik Nol" saya. Dan sekarang saya sudah 100% tidak cadel. Saya bisa menyebutkan kalimat fenomenal, "Ular melingkar melungker-melungker diatas pagar bundar" dengan lancar.
Jadi, menurut saya cadel itu bisa disembuhkan. Walaupun saya belum pernah melakukan riset resmi dan sample yang saya ambil juga terlalu sedikit untuk bisa dianggap valid. Anggaplah "Teori Titik Nol" saya sebagai sebuah terapi berbicara. Semoga bisa membantu mengatasi cadel Anda. Maafkan jika penyusunan kalimat saya buruk dan malah membingungkan. Saya terbuka untuk kritik yang membangun.
Salam sehat dan senyum untuk semua kompasianer dan pembaca...
Annisa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H