Menonton film "The Eagle Huntress" (true story) malam ini membuat saya takjub, karena ternyata gadis kecil berusia 13 tahun dari Mongolia, bisa membuktikan dirinya layak diakui sebagai pemburu Elang sejati. Hal yang banyak diragukan oleh sesepuh di kampungnya.Â
Film ini dibuka dengan gambaran alam yang sangat indah. Bercerita tentang suku nomaden yang menjelajah gunung Altai di Mongolia.Selama ribuan tahun, pengembara yang tangguh ini telah menggunakan elang emas untuk berburu makanan dan bulu yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup ditengah musim dingin yang berat. Dari generasi ke generasi, hal ini diajarkan turun temurun dari ayah ke anaknya. Film ini juga mengisahkan tentang hubungan yang unik tentang manusia dan burung elang. Adat telah mengajarkan setelah 7 tahun masa kesetiaan, burung elang harus dikembalikan ke alam liar untuk meneruskan siklus hidupnya.
Kisah bercerita tentang Aisholpan. Gadis kecil berusia 13 tahun yang lahir di gunung Altai. Anak dari suku nomaden. Aisholpan diceritakan rajin membantu orang tuanya. Semua mereka lakukan bersama-sama. Ia sangat menyayangi ayahnya. Ayahnya seperti guru dan mentor baginya. Ayah dan kakeknya adalah seorang pemburu elang dari generasi ke generasi. Itu bukan merupakan pilihan. Namun, hal tersebut adalah panggilan yang mengalir dalam darahnya. Saat musim salju, mereka naik ke gunung yang tinggi untuk berburu rubah bersama elang mereka. Pemburu dan penangkap bekerja sama sebagai tim.
Ayah Aisholpan, ternyata juga merupakan pemburu elang hebat. Ayahnya sudah sangat sering masuk 5 besar kompetisi atau festival elang, ayahnya bahkan berhasil meraih juara pertama hingga dua kali. Melihat ayah dan kakeknya yang juara, Aisholpan juga bertekad ingin menjadi pemburu elang, sama seperti ayahnya. Impiannya, menjadi pemburu elang wanita pertama di Mongolia. Beruntungnya, keluarga Aisholpan sangat mendukungnya menjadi pemburu elang. Akan tetapi, banyak suara konservatif di komunitas pemburu elang dan para sesepuh di lingkungannya yang memiliki pendapat yang berbeda. Pandangan kaum konservatif ini masih menganggap bahwa wanita tidak layak menjadi pemburu elang karena wanita lebih lemah dan rapuh, sulit bagi wanita untuk ke gunung dan mengejar hewan sambil berkuda. Pria yang seharusnya menjadi pemburu elang. Wanita seharusnya hanya bekerja di rumah membuatkan teh dan air. Memeras susu sapi, mengolah susu, membuat kurt (olahan susu seperti keju). Begitu pendapat para tetua di kampungnya.Â
Aisholpan berkata ia ingin menjadi pemburu elang, meneruskan tradisi keluarga. Ayahnya sebenarnya sangat mengkhawatirkannya. Namun, ayahnya tidak ingin mengecewakan putrinya. Ayahnya berpendapat bahwa wanita dan pria setara, wanita bisa melakukan apa saja yang pria lakukan, asal mereka berusaha. Ayahnya akhirnya bersedia menjadi guru atau mentor bagi Aisholpan untuk menjadi pemburu elang wanita pertama di Mongolia.Â
Hal yang diajarkan ayahnya adalah beberapa hal mendasar yang harus dilakukan jika ingin menjadi pemburu elang. Pertama, ayahnya mengajarinya cara membuka penutup mata elang. Lalu belajar menyeret kelinci sambil berkuda. Setelah itu, belajar memanggil elang untuk makan. Kemudian setelah itu belajar menerbangkan elang dari gunung.Â
Sembari melatih burung elangnya, Aisholpan sering mengajak bicara sambil mengelus-elus kepala burung elangnya, suatu hal yang menurut hemat saya justru membuat ikatan atau bonding antara elangnya dan Aisholpan semakin kuat. Ia terkadang bertanya,Â
"Apa kau lelah?"
"Apa kau kepanasan?"
"Apa kau lapar?"
"Aku akan beri kau makan saat kita sampai di rumah"