Misalnya, budaya musyawarah atau rembug dalam pengambilan keputusan dapat dipercepat dengan memanfaatkan platform digital, seperti konferensi video atau sistem manajemen proyek daring, sehingga keputusan tetap berbasis konsensus tanpa mengorbankan efisiensi waktu.
Kedua, sikap ewuh-pakewuh (rasa sungkan) yang terkadang menghambat komunikasi langsung dapat diimbangi dengan pelatihan komunikasi asertif yang tetap menghormati hierarki tetapi mendorong transparansi dan inovasi.
Selain itu, pemimpin dapat mengadopsi gaya kepemimpinan yang inklusif, di mana masukan dari seluruh lapisan organisasi dihargai, namun keputusan tetap dibuat secara strategis untuk mendukung tujuan organisasi.Â
Dengan mengadopsi pendekatan fleksibel ini, nilai-nilai tradisional Jawa tidak hanya dilestarikan tetapi juga menjadi pilar budaya organisasi yang relevan dan kompetitif di era modern.
Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, Â Budaya Jawa juga memiliki Tantularisme yang menjadi inti dari pandangan hidup Jawa. Menurut Ir. Sutarjo, Tantularisme memiliki makna bahwa dalam keberagaman, terdapat kesatuan yang mendasrinya.
Semangat keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat dengan tipologi religius, non-doktrinal, toleran, akomodatif, dan optimistik, dapat dianggap sebagai suatu bentuk tantularisme. Semangat ini sejalan dengan kenyataan sosial dan politik di Indonesia, yang dikenal dengan kondisi masyarakatnya yang plural.Â
Dalam konteks ini, tantularisme dapat dilihat sebagai nilai yang mendukung kehidupan bersama yang harmonis, sekaligus memberikan ruang bagi berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI