Ada yang sedikit berbeda di linimasa media sosial pada akhir bulan Maret 2019 ini. Di tengah gencarnya pembicaraan seputar politik, mulai dari yang penting sampai adu meme para pendukung, bahkan sampai dominasi tagar di jajaran trending topik Indonesia, sesekali muncul topik di luar politik yang menarik perhatian. Salah satunya adalah tagar #LindungiNasabahFintech yang 'mendadak' muncul di jajaran trending topik dunia.
Tagar #LindungiNasabahFintech yang 'mendadak' muncul ini cukup menarik perhatian di tengah hiruk pikuk pembicaraan seputar dunia politik. Terlepas dari siapa yang berinisiatif membuatnya, ternyata tagar tersebut mendapatkan amplifikasi di beberapa media kredibel nasional. Jika dikaji lebih dalam, tagar yang berkaitan dengan industri keuangan yang berkaitan dengan teknologi, di mana startup-nya sudah mulai menjamur di Indonesia itu seperti sedang menunjukan fenomena gunung es yang perlu diselesaikan bersama-sama.
Jika ditelisik lagi, tagar terkait Nasabah Fintech yang muncul ke publik berisi berbagai keluhan terkait industri fintech, sampai dampak negatif yang ada. Yang terparah, dikabarkan ada seorang nasabah yang meninggal karena terlilit hutang dari sebuah perusahaan pinjaman daring di Indonesia. Lalu, apakah semenyeramkan itu? Tentu saja sebenarnya tidak. Jika sudah dianggap menyeramkan, tentu saja industri fintech tidak akan berkembang dan tidak akan ada lagi nasabah yang berkenan untuk meminjam uang kepada mereka.
Namun demikian, keduanya bukanlah penentu utama keberlangsungan sebuah industri. Jika pasar menghendaki, dan pasar merasakan adanya keuntungan dari industri yang sedang berkembang, tentunya akan mendorong peningkatan demand yang membuat industri fintech berkembang.
Namun, di balik perkembangan industri fintech seperti sekarang ini, sepertinya sudah saatnya pemerintah, sebagai salah satu pihak yang menjadi 'wasit' di tengah-tengah pelaku industri dan konsumen untuk mempertegas aturan yang berlaku saat ini. Sebagai penengah antara industri fintech dan masyarakat, pemerintah memang tidak tinggal diam. Setidaknya, salah satu lembaga pemerintah yang mulai menjalankan perannya terkait industri fintech adalah Otoritas Jasa Keuangan RI.
Yang baru-baru ini, entah memang kebetulan bersamaan dengan kemunculan tagar #LindungiNasabahFintech atau memang sudah dijadwalkan, OJK merilis beberapa informasi terkait fintech pada akhir bulan Maret ini. Diantaranya adalah terkait perijinan beberapa pelaku fintech, serta beberapa data terkait fintech mulai dari Pertumbuhan industrinya hingga catatan mengenai non performing loan (NPL).
Dikutip dari CNN Indonesia, Sampai pertengahan Maret 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut sebanyak 34 perusahaan teknologi finansial (financial technology/fintech) tengah diseleksi untuk memasuki uji regulatory sandbox perusahaan fintech.Â
Deputi Komisioner OJK Sukarela Batunanggar mengatakan uji coba melalui regulatory sandbox ini adalah tahapan lanjutan setelah perusahaan rintisan mendaftarkan diri ke OJK.Â
Menurut Peraturan OJK Nomor 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola perusahaan.
Sementara itu, dikutip dari Liputan6, OJK menilai industri Fintech tumbuh sangat pesat. Data akhir Februari, total pinjaman outstanding sekitar Rp 7 triliun. Tumbuhnya sekitar 600 persen. Sayangnya menurut OJK, pertumbuhan tersebut tidak diimbangi dengan mitigasi resiko yang ada.Â
Mitigasi resiko yang rendah dari pelaku fintech terlihat dari beberapa data yang dirilis OJK, seperti masih ada 3,17 persen untuk rasio kredit tidak lancar atau Non Performing Lian (NPL) untuk rentang waktu 30-90 hari, dan 3,18 persen untuk kredit macet di atas 90 hari.
Lalu, bagaimana kita menghadapi situasi yang ada terkait industri fintech saat ini?
Tentunya diperlukan kolaborasi yang lebih intens antara pelaku industri fintech, asosiasi industri fintech, dan pemerintah selaku regulator. Selain itu, peran masyarakat dan konsumen pun perlu diberi tempat sehingga mereka tidak terjebak dalam kubangan jamur industri fintech yang ada saat ini.
Dari sisi pemerintah sebagai regulator, tentunya diperlukan keseriusan dan kecepatan dalam menentukan aturan main para pelaku di Industri Fintech. Dengan adanya regulasi tersebut, pelaku industri fintech dan konsumen akan mendapatkan kepastian yang jelas sehingga mereka tidak perlu khawatir berada di dalam industri yang saat ini dianggap lebih banyak memberikan dampak positif dibanding dampak negatif bagi publik.
Dari sisi pelaku industri fintech dan asosiasi yang menaunginya, tentu saja diperlukan keseriusan dalam melakukan improvisasi teknologi dan sistem yang ada di dalam perusahaan. Salah satu kasus yang paling baru dan dapat dijadikan contoh pelaku industri fintech yang ada adalah keberanian Uang Teman menhentikan operasi bisnisnya untuk sementara di seluruh cabang. Inisiatif tersebut bertujuan untuk memperbaiki sistem secara internal, serta meningkatkan performa teknologi yang dimiliki sehingga dapat lebih optimal saat dirilis kembali ke publik.
Dari sisi konsumen? Tentunya perlu lebih berhati-hati dan perlu memperbanyak waktu untuk mempelajari berbagai hal terkait industri fintech. Kelebihan dan kekurangan saat meminjam melalui pinjaman daring, serta lebih memilih perusahaan mana yang tidak 'mencekik' dan memiliki sistem yang jelas. Selain itu, konsumen juga perlu mengontrol emosi. Jangan marah saat tidak mendapatkan pinjaman saat mengajukan ke perusahaan fintech. Bisa jadi, analisa resiko dari pinjaman yang diajukan lebih besar sehingga berpotensi gagal bayar.
Satu lagi catatan penting buat konsumen. Memang, budaya literasi alias membaca di Indonesia masih relatif rendah. Tapi, tidak ada salahnya apabila untuk urusan teknologi yang berhubungan dengan cuan atau duit, kita perlu lebih teliti lagi. Misalnya, saat kita menggunakan aplikasi fintech, budayakan membaca perjanjian yang diberikan oleh penyedia aplikasi. Baca dengan teliti syarat dan ketentuannya juga. Jangan 'mentang-mentang' kita perlu uang cepat, kita terburu-buru klik setuju atas perjanjian yang ditawarkan oleh penyedia.
Selain itu, satu hal lagi yang perlu diperhatikan konsumen. Sebelum berpikiran untuk meminjam uang di aplikasi fintech, coba perkirakan kemampuan dalam mengembalikan pinjaman yang diajukan. Jangan sampai, saat pinjaman sudah cair, kita akan kesulitan saat mencicil pengembaliannya. Ingat kata pepatah,"Jaman sekarang, yang lebih galak bukan yang nagih utang, tapi yang ditagih utang.". Semoga kita bukan salah satu yang seperti itu ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H