Mohon tunggu...
Annisa LylaSyahdani
Annisa LylaSyahdani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi membaca, membuat kue, dan merajut.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Istilah Toxic Masculinity

10 Oktober 2023   16:00 Diperbarui: 10 Oktober 2023   16:10 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kamu kan laki-laki, masa begitu saja nangis sih!” Apakah kamu pernah mendengar atau mendapatkan kalimat tersebut? Kalimat tersebut merupakan salah satu contoh toxic masculinity, toxic masculinity memiliki banyak dampak buruk bagi kehidupan sosial dan kesehatan mental bagi laki-laki. 

Toxic masculinity merupakan salah satu dampak negatif dari sistem patriarki, patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan property. Sistem patriarki ini menempatkan bahwa laki-laki harus selalu melebihi perempuan dan tidak boleh mengekspresikan kesedihannya dengan menangis karena tangisan dianggap mencerminkan kelemahan.

Secara sederhana istilah toxic masculinity adalah suatu perilaku yang terkait dengan peran gender dan sifat laki-laki yang dominan, cenderung melebih-lebihkan standar maskulinitas pada laki-laki. Budaya toxic masculinity sudah dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan harus dilakukan, akan tetapi budaya inilah yang justru akan memberikan beban berat kepada pria dalam menjalani kehidupannya. Toxic masculinity mengharuskan laki-laki berperilaku dengan “memaksakan” standar “jantan” atau “laki-laki sejati” dimana laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh bermain dengan anak perempuan, dilatih bermain permainan fisik, dan stereotip lainnya.

Toxic masculinity dapat dikenali dengan ciri-ciri dibawah ini:

a. Mempunyai pandangan bahwa laki-laki tidak seharusnya mengeluh dan menangis.

b. Laki-laki cenderung bersikap kasar terhadap orang lain.

c. Rasa mendominasi terhadap orang lain.

d. Agresif, bahkan kasar secara seksual terhadap pasangan atau orang lain.

e. Laki-laki tidak perlu membela hak kaum perempuan dan kaum marginal lain.

f. Menganggap kegiatan dalam rumah tangga seperti memasak, menyapu, berkebun, dan mengasuh anak sebagai tugas perempuan.

Toxic masculinity memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan mental laki-laki, yang bisa menjadi egois, kurang empati, dan berperilaku kasar. Jika ada laki-laki yang tampaknya tidak sesuai dengan maskulinitas yang mapan, laki-laki tersebut dikenakan sanksi sosial, seperti pengucilan dan penindasan sosial. Konstruksi sosial toxic masculinity yang telah terbangun di masyarakat menyebabkan krisis identitas ketika laki-laki berusaha mencapai maskulinitas ideal. Hal ini menyebabkan laki-laki menunjukkan kurangnya empati, terlibat dalam perilaku kasar terhadap yang lain, didiagnosis dengan lebih banyak gangguan mental dan menghindari mencari bantuan profesional. Hal ini bukan hanya berdampak kepada laki-laki itu sendiri, tetapi juga berdampak kepada orang lain dimana mereka akhirnya menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki. Pada tahun 2018 dan 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat beberapa kasus kekerasan seksual pada anak perempuan dan anak laki-laki yang dilakukan oleh laki-laki.

Beberapa upaya untuk mencegah toxic masculinity adalah mengedukasi sejak dini kepada anak-anak bahwa laki laki diperbolehkan dan tidak ada masalah untuk menunjukkan rasa kesedihannya dan bahkan menangis, memberikan pemahaman bahwa seorang laki-laki boleh kuat namun tidak dengan paksaan ataupun permintaan dari orang lain, karena setiap orang mempunyai prinsip hidup masing-masing, menumbuhkan rasa empati pada anak laki-laki, mengedukasi anak laki-laki untuk menghindari perilaku negatif merendahkan perempuan, serta mensosialisasikan mengenai dampak buruk toxic masculinity dalam media sosial.

Oleh karena itu, mari bersama-sama menghentikan dan mencegah terjadinya budaya toxic masculinity karena memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kondisi psikologis dan mental yang berujung pada bullying, depresi, hingga bunuh diri. Adanya edukasi dini mengenai studi gender dan toxic masculinity merupakan salah satu langkah baik untuk melawan hal ini dalam masyarakat yang masih patriarkis.

Referensi:

Azwar, A., Endriawan, D., & Sintowoko, D. A. W. (2023). BAD IMPACT ABOUT MASCULINITY: VISUALISASI FOTOGRAFI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SLOW SHUTTER SPEED DAN LIGHT PAINTING. eProceedings of Art & Design, 10(4): 1-27

Jufanny, D., & Girsang, L. R. (2020). Toxic masculinity dalam sistem patriarki (analisis wacana kritis Van Dijk dalam film “Posesif”). SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi, 14(1): 8-23.

Novalina, M., Flegon, A. S., & Valentino, B. (2021). Kajian Isu Toxic Masculinity di Era Digital dalam Perspektif Sosial dan Teologi. Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 8(1): 28-35.

Nur, F. (2022). KONSTRUKSI SOSIAL MASKULINITAS POSITIF DAN KESEHATAN MENTAL (Studi Fenomenologi Toxic Masculinity Pada Generasi Z) (Doctoral dissertation, UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun