Beberapa upaya untuk mencegah toxic masculinity adalah mengedukasi sejak dini kepada anak-anak bahwa laki laki diperbolehkan dan tidak ada masalah untuk menunjukkan rasa kesedihannya dan bahkan menangis, memberikan pemahaman bahwa seorang laki-laki boleh kuat namun tidak dengan paksaan ataupun permintaan dari orang lain, karena setiap orang mempunyai prinsip hidup masing-masing, menumbuhkan rasa empati pada anak laki-laki, mengedukasi anak laki-laki untuk menghindari perilaku negatif merendahkan perempuan, serta mensosialisasikan mengenai dampak buruk toxic masculinity dalam media sosial.
Oleh karena itu, mari bersama-sama menghentikan dan mencegah terjadinya budaya toxic masculinity karena memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kondisi psikologis dan mental yang berujung pada bullying, depresi, hingga bunuh diri. Adanya edukasi dini mengenai studi gender dan toxic masculinity merupakan salah satu langkah baik untuk melawan hal ini dalam masyarakat yang masih patriarkis.
Referensi:
Azwar, A., Endriawan, D., & Sintowoko, D. A. W. (2023). BAD IMPACT ABOUT MASCULINITY: VISUALISASI FOTOGRAFI DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SLOW SHUTTER SPEED DAN LIGHT PAINTING. eProceedings of Art & Design, 10(4): 1-27
Jufanny, D., & Girsang, L. R. (2020). Toxic masculinity dalam sistem patriarki (analisis wacana kritis Van Dijk dalam film “Posesif”). SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi, 14(1): 8-23.
Novalina, M., Flegon, A. S., & Valentino, B. (2021). Kajian Isu Toxic Masculinity di Era Digital dalam Perspektif Sosial dan Teologi. Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 8(1): 28-35.
Nur, F. (2022). KONSTRUKSI SOSIAL MASKULINITAS POSITIF DAN KESEHATAN MENTAL (Studi Fenomenologi Toxic Masculinity Pada Generasi Z) (Doctoral dissertation, UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H