Dengan uang tabungan dalam bentuk emas yang sudah dikumpulkan sejak lama. Saat pandemi, harga emas meroket dan bisa dibilang saat yang paling tepat untuk menjualnya. Mobil ini dibeli karena menjadi salah satu keinginan Ayah yang belum terwujud. Hanya untuk sekedar berkendara dan membawa keluarga jalan-jalan, termasuk kakek dan nenek yang saat itu sudah berusia 80 tahun.
Nah, saya kembali teringat kenangan di masa kecil ketika hujan dan panas naik motoran berempat dengan Ibu dan Adik untuk bisa mudik saat lebaran menemui Kakek dan Nenek. Keluarga kami juga bisa survive saat pandemi akibat uang tabungan yang sangat cukup padahal saat itu bisnis ayah tidak bergerak sama sekali.Â
Mobil itu begitu berharga. Setiap kali akan keluar kota akan selalu dicek terlebih dahulu ke bengkel, diisi full tank, dan dicuci. Ayah bisa saja dan mampu membeli mobil baru, tapi mengingat fungsi dan tujuannya, beliau lebih memilih aspek tersebut dibandingkan gengsi.Â
Memang benar, karena dengan Kijang ini kita sekeluarga bisa jalan keluar kota bahkan antar provinsi. Yang merasakan bukan hanya dari keluarga inti bahkan keluarga besar yang terkadang juga ikut serta.Â
Mobil itu berperan besar ketika ada keperluan mendadak seperti jika ada anggota keluarga yang sakit, ataupun untuk melayat ketika ada yang meninggal. Mobil jadul ini juga berperan untuk perkembangan bisnis ayah karena karyawannya yang berada di luar kota sebagai kebutuhan transportasi untuk mengirimkan barang.Â
Jika harus membandingkan dengan kehidupan orang kaya, dengan mobil yang berjejer di bagasi rumah, tidak ada jaminan bahwa si pemilik juga bahagia. Bagaimana jika ada mobil keluaran terbaru tiba-tiba muncul di beranda Instagram-nya? Bagaimana dengan perawatan dan pajak yang harus dibayarkan? Bagaimana jika si pemilik hanya sibuk bekerja dan malah tidak ada waktu untuk quality time bersama keluarga?Â
Sama halnya dengan Ayah, Ibu adalah sosok yang begitu saya kagumi. Seperti kata orang dibalik lelaki yang sukses terdapat perempuan yang hebat. Ibu sama saja minimalis-nya dengan ayah. Sebuah handphone merk Nokia jadul selalu di bawa ke mana-mana.Â
Terkadang Ibu juga insecure karena berkeliling dengan hp jadul yang nada dering nya bisa di dengar satu RT ketika ada yang menelpon. Sebagai anak saya hanya bilang begini "Ibu bisa beli hp model terbaru dengan uang yang ibu punya, tapi orang yang punya hp keren pun kadang duitnya ga ada, ga ada yang nelfon, ga ada yang ngechat, ga punya anak seperti saya, hehehe". Tapi tenang, orang tua saya memiliki sebuah smartphone yang dipakai bersama. Itupun dikarenakan akibat keterpaksaan untuk keperluan dengan mitra bisnis yang sebagian besar sudah berkomunikasi menggunakan smartphone. Jarang-jarang kan sepasang suami istri yang alat komunikasi nya dipakai bersama, lol.
Nah, kira-kira begitu cerita saya untuk hari ini, sekali lagi saya sangat bersyukur terlahir dari keluarga minimalis yang menyadari akan pentingnya mendahulukan kebutuhan dibandingkan keinginan. Tanpa pendidikan tinggi pun, ayah dan ibu memiliki pemahaman yang sama terhadap esensi dari kehidupan di dunia, yang anehnya kembali saya temui di bangku perkuliahan, tetapi tentu saja dalam kerangka yang much complicated dengan tujuan yang sama.Â
Love for My Mum and Dad
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H