I'm literrally crying during a class. Lebih tepatnya saya menghadiri sebuah seminar yang dilaksanakan oleh program studi. Judul kuliahnya tidak aneh, tidak romantis ataupun melankolis.Â
Kira-kira begini "Logology and Ecolinguistics: The Language of Consumerism and Environmentalist" dengan narasumber seorang dosen yang sudah lama tinggal dan mengajar di Amerika.Â
Nah, penyebab menangis nya apa? Jadi gini, kuliah ini membahas bagaimana perkembangan bahasa termasuk kosa kata yang ada di dalamnya bisa membuat seseorang terpengaruh untuk melakukan tindakan konsumtif yang kemudian akan berdampak pada lingkungan. Contohnya adalah pengaruh iklan, fast-fashion, penggunaan plastik, dan lain sebagainya.Â
Disini seorang linguist dapat bertindak sebagai penggiat lingkungan dengan melakukan riset sebagai bentuk tindakan kontra dalam misi menyelamatkan dan bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
At some point, bapak dosen ini mulai menyinggung kebahagiaan, apakah dengan pola hidup yang konsumtif kita merasa bahagia? Jawabannya ya mungkin saja, apalagi bagi orang-orang yang sudah tidak pusing untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan dan tempat tinggal, dan tentu saja sifatnya semu.Â
Apalagi dengan sifat alamiah manusia yang tidak pernah puas. Akan ada suatu saat di mana mereka akan merasa tertinggal karena tidak bisa mengikuti hal-hal yang dianggap "tren". Rasa ketertinggalan inilah yang membuat keinginan untuk membeli suatu barang juga akan semakin tinggi.Â
Bapak dosen kemudian bilang, orang bisa bahagia jika bisa mensyukuri apa yang dia miliki tanpa mengikuti atau dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat pada umumnya.Â
Nah, bercermin ke keluarga saya, saya teringat akan sosok ayah. Yes! My dad, my role model. Beliau bukan berasal dari keluarga berada, malah bisa dibilang miskin, Ayah sudah bekerja sedari kecil, mulai dari jadi buruh, berdagang, bertani, dan lain sebagainya.Â
Hingga sekarang di usia yang sudah melewati 50 tahun , Ayah akhirnya stabil secara ekonomi sebagai pedagang, along with Ibu tentunya yang sama-sama berjuang dari nol. Kuliah yang saya temui saat menjalani pendidikan magister ternyata sudah diterapkan Ayah yang sama sekali tidak menduduki bangku pendidikan tinggi.Â
Hal ini lah yang secara tidak sadar membuat saya emosional ketika perkuliahan berlangsung. Ayah itu sederhana, baju yang ia pakai sedari bujangan masih tersusun rapi di lemari dan sesekali masih saja di pakai. Baju kaos yang sudah bolong hingga baju kampanye SBY-Boediono juga masih jadi favorit untuk dipakai ketika bekerja. Sebuah sajadah berusia 24 tahun, masih dipakai ketika shalat dengan bagian kaki dan kepala yang sudah terlihat jaring-jaring benangnya, you know what I mean.
Tahun 2020, saat pandemi Covid menyerang, Ayah memutuskan untuk membeli mobil. Wah, akhirnya ayah konsumtif, apalagi ketika terjadi wabah. Agak lain nih, masak beli mobil ketika perekonomian sedang amburadul. Tapi mobil yang dibeli tentu saja mobil bekas, Kijang Grand tahun 1996 berwarna abu-abu gelap. Much older than me.Â