Mohon tunggu...
Annisa Hariyani
Annisa Hariyani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Ilmu Komunikasi

yooowatzup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Idealisme Terbuang Karena Uang

18 Maret 2020   13:19 Diperbarui: 18 Maret 2020   13:32 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Turunkan menteri BS! Turunkan menteri korupsi!" begitulah teriakan dari ribuan mahasiswa, "KAMI, MAHASISWA UNIVERSITAS IMAJINASI, MENUNTUT KEADILAN" puluhan mahasiswa dibarisan paling depan memegangn baliho besar berisi tulisan yang bernada marah.

Para wartawan bagai melihat tumpukan emas didepan mata, jelalatan mencari pendemo yang paling heboh berteriak, kemudian cepat-cepat menariknya dan dicecar berbagai pertanyaan yang telah menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Dan yang paling disorot adalah mahasiswa yang menjabat ketua Departemen Politik Badan Eksekutif Mahasiswa, Universitas Imajinasi Jakarta di depan sana. Yang begitu berani dan tak gentar walau didepannnya berdiri pria bersenjata yang dari tadi menjadi tameng gedung pemerintahan.

***

"Tidak bisa!" Andhika, lelaki berambut kribo yang telah memimpin demontrasi besar-besaran selama enam jam tanpa henti, mata elang pria berusia 22 tahun itu menatap tajam lawan bicaranya memperlihatkan kemarahan yang tidak main-main.

"Gini loh, dik aku tahu kamu sangat benci sama yang namanya korupsi, tapi dengan kamu memprovokasi seluruh mahasiswa Universitas Imajinasi, itu keterlaluan. Kamu bisa dikeluarkan loh" Revan, ketua Departemen Kesejahteraan Mahasiswa yang penuh kharisma sedang berkompromi.

"Kamu bicara saja itu memang mudah ya van" Andhika membantah "Ini masalah negara, apa jadinya negeri ini kalau harus dibelenggu dengan korupsi, korupsi dan korupsi!"

Suasana hening seketika menyelimuti ruang itu yang luasnya sekitar 2x3. Revan sedang memilih kalimat yang tepat untuk menjawab sanggahan itu.

"Walaupun aku harus di D.O, aku rela" ujar Andhika kemudian dilanjutkan "Ini harga mati."

Revan pasrah karena mendengar omongan Andhika yang terakhir merasa kalau itu sudah final dan Revan mengangguk lalu pergi meninggalkan Andhika sendiri.

Tak lama Andhika mendapat telepon, "Hallo, ini siapa?" tanya Andhika dengan nada yang masih jengkel. "Lo gak liat chat grup ya? Ini gua Ali, bagian Divisi Aksi dan Propaganda"

"ohh lo Ali, kenapa?"

"Ini, gua udah nyewa gedung buat rapat kita yang bahas tentang demo berikutnya, jadi gimana langkah selanjutnya?"

***

Di pagi hari, Andhika berada di sebuah warung di ujung jalan yang cukup ramai.

"Mi telur setengah matang satu, sama es teh manis ya bu" pesan Andhika tanpa mengalihkan matanya ke Bu Rasim penjaga warung tersebut. andhika fokus pada televisi yang menampilkan wajahnya yang bermandikan keringat di-zoom, sama sekali tidak terlihat bahwa dia adalah mahasiswa tingkat akhir yang biaya kost-kostan saja masih dibantu orang tua. Tiba-tiba seorang bujang rantauan Kalimantan Barat berkata "Berlagak sekali gayamu, Boi pakaii baju layaknya orang penting, teriak sana-sini yang bahkan aku tak mengerti artinya" sahut Bang Lay.

Andhika dengan senyum ciri khasnya menerima semangkuk mie rebus dari Bu Rasim, "Saya hanya membela dan mempertahankan yang menurut saya benar, negara ini tidak akan pernah maju jika penghambatnya terus sama, yaitu pejabat tinggi yang korupsi" Beberapa orang yang berada di warung sederhana itu mengangguk, tetapi ada yang menggeleng tak mengerti, namun lebih banyak lagi yang tidak peduli dengan terus melahap menu masing-masing. Baru beberapa suap Andhika memakan sarapannya dan meminum es teh manis, ada sosok berjas rapih datang.

"Dengan saudara Andhika Mahatma?" tanya sosok itu. Andhika mengangkat tangannya sedikit ragu.

"Bisa kita bicara diluar?"

***

"secangkir teh manis saja lebih dari cukup, saya sudah sarapan tadi" jawab Andhika canggung ketika ditanya ingin memesan apa.

Sosok tersebut akhirnya memperkenalkan diri, "ayolah kapan lagi kau seorang mahasiswa bisa makan di tempat mewah seperti ini. Oh ya perkenalkan namaku Edwart Solihin. Kau bisa menyebutku Pendukung Menteri BS". Dengan cepat Andhika menjawab "Pendukung?" dengan ekspresi marah yang ia tunjukkan.

Alih-alih takut, Edwart tertawa kecil dan menjelaskan tujuannya "Ohh anak muda tenanglah, tidak selamanya yang terlihat buruk itu benar-benar buruk." "Apa maumu?" jawab Andhika. "aku ingin membuat kesepakatan" ujar Edwart cepat. Tanpa berkata-kata Edwart mengeluarkan amplop dari tas kerjanya. Andhika menelan ludah, sepertinya ia mulai mengerti alur tujuan Edwart.

"Aku mendapat kabar ibumu sakit keras di kampung halaman? Kemudian ayahmu hanyalah buruh tani. Akan sangat sulit bagimu seorang mahasiswa tingkat akhir hidup di kota yang keras ini". Seketika Andhika mengusap wajah,  ia berkeringat dingin dan semakin gugup. Kemudian dengan tangan gemetar Andhika meraba amplop tersebut, cukup tebal.

"Ambil itu, dan hentikan demonya." Padangan Andhika buram dan pikirannya kosong. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"sisanya akan ku kirim ke nomor rekeningmu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun