Dia berbicara dengan nada rendah dibalas dengan nada yang cukup tinggi, kaget pasti yang dirasakan pada awalnya. Setelah hari ke hari tinggal disana pada akhirnya dia terbiasa dengan intonasi dan nada tinggi tersebut. Lucunya seperti kucing yang mengikuti tuan rumah, dia juga kadang mulai berbicara dengan nada tinggi mengikuti warga lokal sana.
Kesulitan transportasi juga merupakan masalah yang indri alami, beliau kaget ketika pertama menunggu angkutan umum lama sekali sampe bermenit menit berbeda dengan diwilayah asalnya yang angkutan umumnya berseliweran.
Masalah masalah tadi membuat mentalnya sedikit terguncang, dimana dirinya harus segera menyesuaikan diri ditempat tersebut dengan cepat dengan posisi dirinya jauh dari keluarganya dan tidak memiliki satupun anggota keluarga di daerah tersebut, yang membuat mau tidak mau dirinya harus mengatasi hal tersebut seorang diri.
Pada untungnya indri memaparkan jika dirinya mendapat mentor yang baik serta bisa dijadikan tempat cerita, juga teman teman yang bisa menerimanya, sehingga para mahasiswa PMM di Universitas tersebut saling merangkul dan bekerja sama untuk mengatasi culture shock mereka masing masing.
Berbeda dengan Indri yang dari pulau Jawa merantau keluar pulau, ada Nadia mahasiswa asal sulawesi yang mendapat penempatan universitas PMM di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten.Â
Awal menginjakan kakinya di tanah Banten, bagi Nadia udaranya adalah hal baru yang dia rasakan. Banten adalah provinsi yang dekat dengan banyak pantai, itulah yang membuat kota ini lebih panas dari kota asal Nadia sendiri.
"Pas awalnya tuh kaget kek panas bangett yaa disini, kirain tuh ga sepanas itu" papar Nadia saat diwawancarai.
Memasuki area asrama yang dijadikan tempat tinggal anak PMM, ada beberapa hal yang membuat Nadia kaget pada awalnya, dimana dia mengira jika asrama tersebut pernah ditempati oleh mahasiswa Untirta sebelumnya, padahal kenyataannya tahun ini adalah tahun pertama asrama Untirta Sindangsari ada yang menempati, dan langsung ditempati oleh mahasiswa PMM.Â
Ibarat tempat baru, pasti ada penghuni sebelumnya, itulah yang dipaparkan terkait asrama Sindang sari menurut Nadia, dimana pernah kejadian beberapa hal mistis yang dialami oleh teman temannya pada awal tinggal disana. Selain dari segi mistis, fasilitas yang digemborkan akan kemewahannya ternyata nyatanya tidak seperti itu, dimana menurut Nadia masih banyak sekali kamar yang pembagian perabotannya belum merata, seperti ada kamar yang berisikan 3 orang mahasiswa tapi didalam kamar tersebut terdapat 4 buat buah kasur dan 4 buah lemari, sedangkan dilain sisi, ada kamar yang berisikan 5 orang mahasiswa tapi hanya terdapat 4 buah kaasur didalam kamar tersebut.Â
Semua hal tersebut dikarenakan pada saat awal pembagian kamar, mahasiswa tidak ditegaskan untuk menempati kamar sesuai dengan daftar yang seharusnya, dimana saat pertama menginjakan kakinya di Untirta, mereka dibiarkan untuk menempati kamar bebas semau mereka denga siapa saja tapi nanti akan dipindahkan sesuai rencana awal, tapi pada kenyataannya hingga hari ini pembagian kamarpun belum terlaksana dengan baik, dimana mereka masih menampati kamar asal yang mereka pilih bersama teman temannya pas awal. Tidak ada culture shock yang terlalu membuat dia sampai tertekan menurut Nadia, hanya saja memang ada beberapa hal yang memang membuat dia kaget, seperti udara tadi salah satunya serta fasilitas yang dijanjikan.
Perbedaan bahasa bicara sehari hari adalah hal paling utama yang Nadia rasakan dan akan sangat sesuai dengan kajian culture shock ini, dimana pada awal memasuki kelas dirinya merasa bagai kucing yang dikelilingi banyak serigala, dimana hampir sebagian besar Mahasiswa Untirta yang didominasi warga Banten dan area JaBoDeTaBek menormaslisasi umpatan dan bahasa kasar, dan hal itupun yang terjadi pada lingkungan kelasnya, dimana pada awal memasuki kelas terdengar umpatan dimana-mana, dan tidak ada yang tersinggung sama sekali bahkan cenderung menganggap itu adalah guyonan semata, sedangkan menurut Nadia di daerah asalnya di Sulawesi umpatan dan bahasa kasar itu tidak dapat di normalisasi, sehingga banyak sekali orang yang akan tersingging ketika mendengar umpatan dan bahasa kasar kepada mereka.