Penulis: Annisa Ade Pratiwi, dan Iqlima Salsabila
Dugaan mal-administrasi pada pelayanan publik kian meningkat di Indonesia. Kesadaran yang rendah oleh masyarakat, adanya praktik korupsi, penangguhan waktu yang tak kunjung selesai, birokrasi yang rumit, serta perilaku pejabat yang suka meminta pelayanan kembali mencerminkan kondisi birokrasi saat ini.Â
Ombudsman RI tahun 2017 mendapatkan total 8.264 keluhan dari masyarakat terkait anggapan adanya mal-administrasi dalam pelayanan publik. Dari klasifikasi tersebut, tiga jenis anggapan mal-administrasi yang dominan diadukan adalah penangguhan berlarut dengan 2.351 laporan (28,45%), pelanggaran prosedur sebanyak 1.790 laporan (21,77%), dan tidak memberikan pelayanan dengan 1.399 laporan (16,98%).
Mal-administrasi menjadi salah satu faktor penghambat dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Tindakan ini sering dilakukan oleh berbagai lembaga penyelenggara pemerintahan, mencakup BUMN, BUMD, BHMN, dan badan swasta atau individu terkait terlibat dalam memberikan layanan publik yang danai oleh APBN atau APBD.
Secara umum, mal-administrasi dapat dapat dijelaskan sebagai tindakan atau perilaku  yang bertentangan dengan hukum dan etika dalam pelaksanaan pelayanan publik. Hal ini mencakup penyalahgunaan kekuasaan atau posisi, kelengahan dalam bertindak dan mengambil keputusan, mengabaikan tanggungjawab hukum, menunda tindakan secara berlarut, tindakan diskriminatif, meminta bayaran, dan perbuatan lainnya  dan dianggap sebagai kesalahan dalam menjalankan tugas administrasi publik.
Definisi Mal-Administrasi berdasarkan Undang-Undang Ombudsman RI Pasal 1 butir 3 UU No. 37 Tahun 2008 adalah tindakan melawan hukum, menyalahi wewenang, menyalahgunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pelanggaran kewajiban hukum dalam pelaksanaan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintah, termasuk individu yang turut serta dalam pemerintah memberikan pelayanan publik yang menimbulkan kerugian materiil atau imateriil bagi masyarakat dan orang individu.
Bentuk mal-administrasi meliputi :
- Bentuk-bentuk mal-administrasi berhubungan dengan kesesuaian waktu dalam proses penyaluran layanan umum, mencakup: a). Penundaan berlarut-larut, b). Tidak menangani pelayanan, c). Kelalaian dalam kewajiban seperti kurang hati-hati dan tidak memperhatikan tanggung jawabnya.
- Bentuk-bentuk mal-administrasi yang menunjukkan keberpihakan yang menghasilkan ketidakadilan dan diskriminasi, seperti: a). Persekongkolan oleh pejabat publik untuk melakukan kecurangan b). Kolusi dan nepotisme, seperti memberi preferensi kepada keluarga tanpa kriteria objektif c). Bersikap tidak adil dalam pelayanan dan lebih memihak pada satu pihak.
- Bentuk-bentuk mal-administrasi yang lebih merupakan pelanggaran hukum, seperti: a). Perbuatan meniru sesuatu secara tidak sah b). Pelanggaran undang-undang c). Tindakan melanggar hukum.
- Bentuk-bentuk mal-administrasi yang berhubungan dengan wewenang atau kapasitas yang mempengaruhi karakteristik layanan umum oleh aparatur negara terhadap masyarakat, seperti: a). Melakukan tindakan di luar wewenang b). Pejabat yang tidak profesional c). Intervensi yang tidak semestinya.
- Bentuk-bentuk mal-administrasi berhubungan dengan sikap seorang pejabat publik yang angkuh dalam tahap penyaluran layanan untuk masyarakat, seperti: a). Bertindak sewenang-wenang b). Penyalahgunaan wewenang c). Bertindak tidak pantas.
- Â Bentuk-bentuk mal-administrasi yang menggambarkan praktik korupsi, seperti : a). Memeras uang b). Tindakan pengambil alihan barang tanpa hak c). Penyembunyian barang bukti.
Mal-administrasi Pada Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Pada tahun 2017, terjadi kasus mal-administrasi pada pelayanan SIUP di Kabupaten Sidoarjo. Kasus tersebut menyangkut ketidaksesuaian waktu dalam proses pemberian layanan serta masalah terkait kewenangan atau kompetensi dalam beberapa permohonan SIUP.
Pelayanan SIUP di Dinas tersebut dilakukan secara online dan melalui beberapa proses, yaitu pendaftaran dan pengisian data, serta verifikasi data dan penerbitan SK. Untuk menilai adanya mal-administrasi, beberapa aspek dievaluasi, termasuk kesesuaian waktu, ketidaknetralan, kewenangan/kompetensi, serta sikap angkuh dan korupsi aktif.
- Pendaftaran dan Input Data:Â
Di tahap ini, pendaftar mendaftar dan menginput data melalui metode online atau secara langsung dengan bantuan staf. Pelaksanaan tahap ini tidak menunjukkan aspek mal-administrasi, karena tidak ada bukti dari 5 aspek tindakan yang menggambarkan mal-administrasi.
- Verifikasi Data dan Penerbitan SK:Â
Saat proses ini, terdapat 2 bentuk mal-administrasi, pertama terkait kesesuaian waktu karena terdapat penundaan pada proses verifikasi data dan penerbitan SK SIUP. Tolakan untuk mengerjakan verifikasi data oleh pegawai dengan alasan kurangnya persyaratan dan volume data yang besar, serta masalah eror pada sistem online, menyebabkan penundaan yang berlarut-larut.Â
Pemohon seharusnya menerima SK dalam waktu 3 jam setelah menginput data, tetapi sebagian besar baru menerima SK setelah lebih dari 24 jam karena masalah teknis dan keterbatasan jumlah petugas. Kedua, terjadi mal-administrasi terkait kewenangan/kompetensi dalam tahap verifikasi data.Â
Pegawai yang kurang kompeten memutuskan tindakan dalam tugasnya, menolak data pemohon meskipun sesuai dengan persyaratan, dan membuat kesalahan ketik pada Surat Keputusan. Hal ini disebabkan ketidakseimbangan beban kerja dan jumlah staf yang berada di bawah bidang verifikasi data dan penerbitan SK.
Dalam menghadapi tantangan pada mal-administrasi diperlukannya peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintah melalui kebijakan yang menjamin keterbukaan dalam  pengambilan keputusan, proses administratif yang terstruktur dan pertanggungjawaban yang tegas bagi para pejabat publik.Â
Langkah inj diimplementasikan melalui pemanfaatan teknologi informasi, pembelajaran publik, dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Di samping itu, diperlukan peningkatan sistem pengawasan dan audit internal dan eksternal untuk mencegah terjadinya  mal- administrasi.
Ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program. Hambatan dalam pelaksanaan kegiatan juga dapat disebabkan oleh kekurangan jumlah anggota pelaksana, Sebagai contoh seperti yang terjadi pada studi kasus di atas, masih terdapat kurangnya jumlah pegawai yang tidak sebanding dengan banyaknya tugas, sehingga kinerja pelayanan menjadi kurang efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H