Mohon tunggu...
Annisa Camelia Salsabila
Annisa Camelia Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Assalamualaikum ! Haiii... semoga semua artikel yang aku upload bisa membantu dan tentunya bermanfaat bagi kita semua yaa !

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Distruption

8 Januari 2025   20:17 Diperbarui: 8 Januari 2025   20:17 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

SEJARAH TEORI DISRUPTION

            Istilah "teknologi disruptif" pertama kali diperkenalkan oleh Clayton M. Christensen dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1995 berjudul Disruptive Technologies: Catching the Wave, yang ditulis bersama Joseph Bower (Christensen & Bower, 1995). Artikel ini ditujukan untuk kalangan eksekutif manajerial yang terlibat dalam pengambilan keputusan terkait pendanaan dan akuisisi teknologi di perusahaan, serta untuk komunitas akademik dan riset yang berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan inovasi teknologi yang memiliki potensi untuk mengubah secara fundamental pasar konsumen. Konsep teknologi disruptif menggambarkan jenis inovasi yang pada awalnya mungkin tampak inferior atau kurang menarik dibandingkan dengan teknologi yang sudah mapan, namun seiring waktu dapat merevolusi industri dan menggantikan dominasi teknologi yang ada (Wikipedia, 2024).

            Teori inovasi disruptif Clayton M. Christensen, yang pertama kali diperkenalkan dalam bukunya "The Innovator's Dilemma" pada tahun 1997, telah menjadi salah satu konsep yang paling banyak dikutip dan berpengaruh dalam inovasi dan strategi bisnis. Teori ini menyatakan bahwa inovasi disruptif, yang seringkali lebih sederhana dan lebih terjangkau dibandingkan produk atau layanan yang sudah ada, dapat mengubah dinamika suatu industri secara mendasar dengan menarik segmen pasar baru atau yang terabaikan (Sah, 2023).

           Christensen menjelaskan lebih lanjut mengenai teori disruption ini pada bukunya "The Innovator's Dilemma" menganalisis kasus-kasus dalam industri disk drive (sektor disk drive dan memori, yang dikenal dengan evolusi teknologinya yang sangat cepat, dan bagi studi teknologi, sektor ini ibarat lalat buah dalam studi genetika, seperti yang dijelaskan oleh Christensen pada tahun 1990-an) serta industri penggalian dan pemindahan tanah (di mana teknologi aktuasi hidrolik, meskipun berkembang perlahan, pada akhirnya menggantikan mesin yang digerakkan oleh kabel).

           Inovasi Disruptif menggambarkan sebuah proses di mana sebuah produk atau layanan berakar pada aplikasi sederhana di bagian bawah pasar, biasanya dengan menjadi lebih murah dan lebih mudah diakses dan kemudian tanpa henti bergerak naik ke pasar, yang akhirnya menggusur pesaing yang mapan. Dicetuskan pada awal tahun 1990-an oleh profesor Harvard Business School Clayton Christensen, istilah ini telah menjadi istilah yang umum digunakan di Wall Street hingga Silicon Valley. Akibatnya, istilah ini juga merupakan salah satu istilah yang paling disalah pahami dan disalah gunakan dalam leksikon bisnis (Institute, 2016-2024).

          Menurut (Christensen, 1997) Disruption adalah menggantikan "pasar lama", industri, dan teknologi, dan mengahsilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative. Salah satu wawasan utama teori Christensen adalah bahwa perusahaan-perusahaan mapan sering kali tidak siap merespons inovasi-inovasi disruptif karena mereka berfokus pada melayani kebutuhan pelanggan yang paling menuntut dan menguntungkan. Akibatnya, mereka mungkin mengabaikan atau meremehkan potensi teknologi atau model bisnis yang disruptif.

          Dalam sekuelnya yang ditulis bersama Michael E. Raynor, The Innovator's Solution (Christensen & Raynor, 2003), Christensen menggantikan istilah "teknologi disruptif" dengan "inovasi disruptif," setelah menyadari bahwa sebagian besar teknologi pada dasarnya tidak dapat dikategorikan sebagai disruptif atau berkelanjutan. Sebaliknya, yang menjadi faktor utama dalam disruptifitas adalah model bisnis itu sendiri, yang memainkan peran penting dalam memperkenalkan ide-ide baru yang memperkuat kesuksesan pasar tertentu dan kemudian berfungsi sebagai pendorong perubahan yang disruptif.

          Pemahaman mendalam mengenai model bisnis menurut Christensen, yang menggambarkan bagaimana ide inovatif berkembang menjadi produk yang siap dipasarkan dan diterima oleh konsumen, merupakan kunci untuk memahami bagaimana inovasi baru dapat mempercepat penggantian teknologi serta meruntuhkan pasar dan industri yang telah mapan oleh kekuatan disruptor.

         Christensen terus mengembangkan dan menyempurnakan teorinya seiring waktu, dan ia mengakui bahwa tidak semua contoh inovasi disruptif sepenuhnya sesuai dengan kerangka konsep yang ia ajukan. Sebagai contoh, ia menyadari bahwa memulai dari segmen pasar kelas bawah tidak selalu menjadi pemicu utama inovasi disruptif. Sebaliknya, faktor yang lebih mendalam adalah model bisnis yang bersaing, yang mampu menghadirkan dinamika baru dalam pasar.

         Untuk menjelaskan hal ini, Christensen menggunakan Uber sebagai ilustrasi, di mana perusahaan tersebut lebih menonjolkan kompetisi dalam model bisnisnya, bukan hanya sebagai disruptor yang mengusung inovasi dari segmen pasar yang terpinggirkan. Disrupsi, dalam konteks ini, lebih berkaitan dengan bagaimana model bisnis dapat mengubah cara industri beroperasi, bukan semata-mata berasal dari inovasi teknologi yang "lebih rendah".

          Dalam buku yang berjudul Disruption yang ditulis oleh (Kasali, 2017) ia menyimpulkan bahwa disruption adalah sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara yang baru. Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disruption menggantikan teknologi lama yangs serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Di dunia baru, sudah tidak lagi menggunakan conventional marketing (4P) melainkan beralih menjadi business model.

          Inovasi disruptif atau disruptive innovation, merujuk pada jenis inovasi yang menciptakan produk atau layanan baru yang pada akhirnya menggantikan model bisnis atau teknologi yang telah mapan. Inovasi ini biasanya berfokus pada penyederhanaan produk atau layanan, menjadikannya lebih terjangkau dan lebih mudah diakses oleh segmen pasar tertentu, sering kali yang sebelumnya kurang terlayani oleh produk atau layanan konvensional. Sebagai karakteristik utama, inovasi disruptif sering kali dimulai dengan menawarkan solusi yang tampaknya kurang kuat atau lebih sederhana dibandingkan dengan produk yang sudah ada di pasar. Namun, seiring waktu, inovasi ini berkembang dan mampu memenuhi kebutuhan yang lebih luas, sehingga menggantikan produk atau layanan lama yang lebih mahal atau lebih rumit (Ranti, 2022).

          Selain itu, inovasi disruptif tidak hanya berhubungan dengan teknologi, tetapi juga dengan model bisnis yang lebih efisien, yang memungkinkan perusahaan untuk mencapai skala yang lebih besar dengan biaya yang lebih rendah. Dengan kata lain, inovasi disruptif dapat melibatkan perubahan fundamental dalam cara sebuah industri beroperasi, menciptakan peluang baru bagi pemain baru untuk masuk dan menantang dominasi perusahaan besar. Konsep ini sering kali terkait dengan kemunculan perusahaan-perusahaan seperti Uber atau Airbnb, yang mengubah industri transportasi dan perhotelan dengan menawarkan alternatif yang lebih fleksibel dan terjangkau bagi konsumen. Inovasi disruptif sering kali memulai perjalanan dengan menawarkan produk atau layanan yang lebih sederhana di pasar yang kurang diperhatikan (seperti pasar kelas bawah), sebelum akhirnya mengubah cara seluruh industri beroperasi.

 

DISTRUPTION SAAT INI

           Sebagai generasi Z yang tentunya sudah tidak asing dengan adanya Internet dan perubahan yang sangat signifikan akan segala sesuatu secara cepat. Sebenarnya ada keuntungan dan ancaman untuk kita sebagai Gen Z dalam menghadapi perubahan zaman yang semakin cepat dan canggih. Didorong dengan adanya teknologi digital yang lebih memudahkan kita untuk mengakses segala sesuatu, entah itu berbelanja bahkan berkomunikasi.

            Keuntungannya tentu saja sangat memudahkan kita dalam melakukan banyak hal. Namun ancamannya lebih menyeramkan, jika kita tidak dapat menggunakan dan memberdayakan teknologi secara baik, maka teknologilah yang akan menguasai kita. Kita akan kalah dengan robotik, jika kita tidak dapat mengimbangi perkembangan zaman, maka kita akan menjadi manusia yang tertinggal dan kalah oleh teknologi. Selain itu juga era disrupsi digital memiliki dampak positif dan negatif tergantung bagaimana sumber daya manusia memanfaat teknologi tersebut (Haris, 2016).

           Era disrupsi adalah suatu periode di mana terjadi perubahan mendalam dalam berbagai aspek kehidupan, yang dipicu oleh penerapan inovasi-inovasi baru yang masuk dan memengaruhi berbagai sendi kehidupan individu maupun masyarakat. Inovasi-inovasi ini memiliki dampak yang sangat besar, yang dapat merombak tatanan atau sistem yang sudah mapan sebelumnya. Salah satu indikasi yang paling jelas dari era disrupsi (Nada, 2021).

            Disrupsi yang berkaitan dengan teknologi digital berbasis online ditandai oleh perubahan yang sangat cepat, luas, dan mendalam, yang terjadi secara sistematis dan mengubah banyak aspek kehidupan secara signifikan, berbeda jauh dari kondisi yang ada sebelumnya. Teknologi ini tidak hanya membawa transformasi yang menyeluruh, tetapi juga menciptakan dinamika baru yang mengubah pola hidup, cara kerja, serta interaksi dalam masyarakat, menghasilkan realitas yang jauh berbeda dari masa lalu (Sobari, 2020).

            Disrupsi telah menjadi alat konseptual yang penting untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi akibat perkembangan inovasi dan kreativitas dalam masyarakat. Teori disrupsi membantu mengidentifikasi kondisi aktual dunia dan masyarakat di era teknologi infomasi yang bersifat digital (Ohiotimur, 2018). Teori ini memberikan kerangka untuk melihat bagaimana inovasi dan transformasi teknologi tidak hanya mempengaruhi sektor-sektor tertentu, tetapi juga mengubah pola pikir, perilaku, dan struktur sosial secara luas. Dengan demikian, disrupsi membantu kita untuk memahami dinamika perubahan yang sangat cepat dan mendalam dalam kehidupan sehari-hari yang semakin dipengaruhi oleh kemajuan digital.

           Kemajuan teknologi digital ini mendorong masyarakat untuk menggunakannya. Perkembangan internet pun sudah sangat meluas bahkan sampai ke pedesaan, kini sudah tidak sulit untuk mengaksesnya. Di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan tembus 221 juta orang telah menggunakan internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023.Dari hasil survei penetrasi internet Indonesia 2024 yang dirilis APJII, maka tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5%. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, maka ada peningkatan 1,4% (Indonesia, 2024).

           Kelompok generasi milenial yang lahir tahun 1981-1996 menyumbang pengguna internet tertinggi sekitar 93,17% dengan kontribusi 30,62% dari total pengguna internet Indonesia. Diikuti oleh Gen Z sekitar 87,02% atau kontribusi 34,40%. Kemudian, di urutan ketiga ditempati kelompok generasi X yang lahir tahun 1965-1980 penetrasinya 83,69% dengan kontribusi 18,98%. Lalu, generasi baby boomers kelahiran 1946-1946 menyumbang penetrasi sebesar 60,52% dengan kontribusi 6,58%. Sedangkan generasi yang lebih tua yaitu pre boomer kelahiran di bawah 1945 menyumbang penetrasi 32% dengan kontribusi 0,24% dari total pengguna internet Indonesia. Ada juga, generasi yang lebih baru, yaitu post Gen Z yang lahir setelah 2023 itu penetrasi 48% dengan kontribusi 9,17% (Finaka, 2024).

Jumlah provinsi dengan tingkat penetrasi internet di bawah 50 persen semakin berkurang, yakni hanya enam provinsi pada 2021. Artinya, ada 28 provinsi yang memiliki tingkat penetrasi di atas 50 persen. Berikut daftar provinsi dengan pengguna internet tertinggi di Indonesia 2021:

  1. DKI Jakarta: 85,55 persen
  2. Kepulauan Riau: 81,03 persen
  3. Kalimantan Timur: 74,47 persen
  4. DI Yogyakarta: 74 persen
  5. Kalimantan Utara: 66,01 persen
  6. Jawa Barat: 68,37 persen
  7. Bali: 67,75 persen
  8. Banten: 67,14 persen
  9. Kalimantan Selatan: 66,01 persen
  10. Riau: 62,83 persen (2021)

Era pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat saat ini sering disebut sebagai era disrupsi digital. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang menutup diri dari informasi global. Disrupsi digital ini mendorong perubahan dalam cara pandang dan pola perilaku masyarakat, dari aktivitas yang bersifat konvensional menuju sistem digital. Disrupsi membawa perubahan signifikan, menggantikan sistem lama dengan metode dan cara baru. Sistem lama yang umumnya lebih mengandalkan tenaga fisik kini berubah berkat kehadiran teknologi digital, yang menghasilkan cara, metode, dan pola perilaku masyarakat yang lebih efisien dan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Christensen, C. M. (1997). The Innovator's Dilemma : The Revolutionary Book that. Will Change the Way You Do Bussiness. Boston: Harvard Business School Press.

Christensen, C. M., & Bower, J. L. (1995). Disruptive Technologies. Catching the Wave Long Range Planning. Volume 28, 155.

Christensen, C. M., & Raynor, M. E. (2003). Michael E. Raynor, The Innovator's Solution . Boston: Michael E. Raynor, The Innovator's Solution .

Finaka, A. W. (2024, Februari). 221 Juta Penduduk Indonesia Makin Melek sama Internet. Retrieved from Indonesiabaik.id: https://indonesiabaik.id/infografis/221-juta-penduduk-indonesia-makin-melek-sama-internet

Galeri Indonesia Makin Melek dengan Internet. (2021). Retrieved from MediaCenter: https://mediacenter.rohilkab.go.id/gallery/indonesia-makin-melek-dengan-internet

Haris, A. R. (2016, Desember). Information Issues in Digital Era. Retrieved from ResearchGate: https://www.researchgate.net/publication/328528038

Indonesia, A. P. (2024, Februari 7). APJII. Retrieved from APJII Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang.

Institute, C. (2016-2024). Teori Inovasi Disruptif. Retrieved from Christensen Institue: https://www.christenseninstitute.org/theory/disruptive-innovation/

Kasali, R. (2017). Disruption. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nada, I. (2021). KOMPETENSI PUSTAKAWAN DI ERA DISRUPSI DIGITAL. Media Sains Informasi dan Perpustakaan, 59-70.

Ohiotimur, J. (2018). Tantangan bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang bagi Lembaga Pendidikan Tinggi. Respons. Jurnal Etika Sosial, 143-166.

Ranti, S. (2022, April 8). Apa itu Disruptive Innovation dan Jenis -- Jenisnya. Retrieved from Airlangga Excecutive Education Center: https://www.aeec.unair.ac.id/apa-itu-disruptive-innovation/

Sah, E. N. (2023, Januari 28). Understanding "Disruptive Innovation" according to Clayton M. Christensen's Theory from Harvard Business School. Retrieved from Engineer's Pen: https://www.linkedin.com/pulse/understanding-disruptive-innovation-according-clayton-er-navin-sah/

Sobari. (2020, Februari 17). Disrupsi Kepemimpinan Daerah. Kompas, p. 7.

Wikipedia. (2024, Oktober 29). Inovasi yang Menganggu. Retrieved from Wikipedia : https://en.wikipedia.org/wiki/Disruptive_innovation

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun