Cyberbullying merupakan salah satu bentuk perundungan yang dilakukan melalui media digital, seperti media sosial, pesan singkat, atau platform online lainnya (UNICEF, 2020). Fenomena ini berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi, di mana akses terhadap internet semakin mudah dan luas. Kebanyakan orang menganggap cyberbullying hanya berdampak pada korban, yang sering mengalami berbagai tekanan psikologis dan sosial. Namun, sebenarnya pelaku cyberbullying juga menghadapi dampak serius dari tindakan mereka sendiri. Mereka mungkin mengalami penurunan kualitas hidup akibat tindakan yang mereka lakukan, termasuk dampak psikologis seperti rasa bersalah, cemas, bahkan tekanan mental yang berkepanjangan. Dalam banyak kasus, pelaku cyberbullying adalah remaja atau anak muda yang mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak negatif dari tindakan mereka, baik bagi korban maupun bagi diri mereka sendiri.
Di sisi lain, cyberbullying sering kali dilakukan dalam suasana anonimitas, yang membuat pelaku merasa aman dari konsekuensi langsung. Hal ini menciptakan ilusi bahwa perbuatan mereka tidak akan berdampak pada diri mereka sendiri atau hanya akan menimpa korban. Padahal, studi menunjukkan bahwa tindakan merundung orang lain, baik secara langsung maupun melalui media digital, memiliki efek buruk pada pelaku dalam jangka panjang. Selain dampak psikologis, pelaku juga sering mengalami masalah sosial seperti kesulitan menjalin hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya, kehilangan kepercayaan dari teman dan keluarga, serta stigma yang melekat pada perilaku mereka (Natali, 2021). Dampak ini memperlihatkan bahwa cyberbullying adalah masalah kompleks yang mempengaruhi seluruh pihak yang terlibat, termasuk pelakunya.
Karena itu, penting untuk mengkaji lebih jauh tentang dampak negatif cyberbullying bagi pelaku. Memahami hal ini dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dan menciptakan pendekatan edukatif yang tidak hanya menitikberatkan pada dampak bagi korban, tetapi juga dampak bagi pelaku. Dengan cara ini, diharapkan generasi muda dapat lebih memahami dan mencegah tindakan cyberbullying, sekaligus belajar bertanggung jawab atas perbuatan mereka di dunia digital.
Penelitian ini menggunakan dua metode utama: studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang teori dampak psikologis dan sosial yang dapat dialami oleh pelaku cyberbullying, serta pentingnya kesadaran mengenai jejak digital. Sumber literatur yang digunakan dalam studi pustaka ini mencakup jurnal akademik, artikel
penelitian, dan buku-buku yang mengulas tentang cyberbullying, dampak sosial, psikologis, dan aspek hukum terkait perilaku daring. Pendekatan literatur ini bertujuan untuk menyediakan landasan teori yang kuat sebagai acuan dalam memahami bagaimana tindakan perundungan digital berpotensi memengaruhi kualitas hidup pelaku, serta bagaimana pentingnya membangun kesadaran digital pada generasi muda di tengah perkembangan media sosial yang pesat.
Wawancara dilakukan dengan remaja sebagai subjek penelitian, mengingat kelompok usia ini sangat rentan terlibat dalam aktivitas cyberbullying, baik sebagai pelaku maupun sebagai saksi. Dalam wawancara, pertanyaan berfokus pada pemahaman para remaja mengenai konsep jejak digital serta sejauh mana mereka menyadari dampak jangka panjang dari perilaku daring mereka. Remaja yang diwawancarai diminta untuk mengungkapkan pengalaman mereka terkait kesadaran terhadap jejak digital, apakah mereka menyadari bahwa segala aktivitas online meninggalkan rekam jejak, dan bagaimana pemahaman tersebut memengaruhi perilaku serta keputusan mereka di ruang digital. Data dari wawancara ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata mengenai tingkat kesadaran digital remaja dan kaitannya dengan perilaku mereka, khususnya dalam konteks cyberbullying.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dampak bagi pelaku cyberbullying bisa terlihat dari berbagai aspek, yakni sosial, psikologis, dan hukum.
1.Dampak Sosial:
Secara sosial, pelaku cyberbullying sering kali menghadapi masalah dalam hubungan interpersonal. Tindakan merundung orang lain secara online dapat menimbulkan penolakan dari lingkungan sekitar, termasuk teman, keluarga, dan komunitas sekolah. Saat tindakannya terbongkar, pelaku bisa dijauhi oleh teman-teman sebaya yang mungkin tidak setuju atau merasa tidak nyaman dengan perilaku mereka. Stigma sebagai pelaku cyberbullying juga dapat merusak reputasi pelaku di kalangan sosialnya, membuat mereka sulit mendapatkan dukungan dari orang lain. Kondisi ini dapat membuat pelaku merasa terisolasi dan mengalami kesulitan membangun hubungan baru yang sehat, yang pada
gilirannya memperburuk kesejahteraan sosial mereka dan dapat menghambat perkembangan mereka di masa depan.
2.Dampak Psikologis:
Dari sisi psikologis, pelaku cyberbullying bisa mengalami perasaan bersalah, penyesalan, serta tekanan mental yang cukup besar, terutama setelah menyadari dampak perbuatannya terhadap korban. Perasaan bersalah yang terus-menerus dapat berkembang menjadi gangguan mental seperti kecemasan, stres, dan bahkan depresi, terutama jika pelaku merasa tidak bisa mengatasi rasa penyesalan mereka. Pada beberapa kasus, pelaku juga mungkin merasa terjebak dalam lingkaran emosi negatif, seperti marah pada diri sendiri atau tidak mampu mengendalikan perilaku mereka. Dampak psikologis ini bisa memperburuk kesehatan mental pelaku secara keseluruhan, yang pada akhirnya dapat mengganggu keseharian mereka dalam berbagai aspek, seperti pendidikan dan kehidupan sosial.
3.Dampak Hukum:
Dari sisi hukum, cyberbullying adalah bentuk perundungan yang dapat diproses secara hukum, terutama jika tindakan tersebut terbukti menyebabkan kerugian signifikan bagi korban. Di Indonesia, pelaku cyberbullying dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur perbuatan yang merugikan orang lain melalui media elektronik. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dengan hukuman penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Pasal 27A RUU ITE dengan hukuman penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta. Pasal 27B RUU ITE dengan hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Apabila pelaku cyberbullying dijatuhi hukuman, konsekuensinya bisa berupa denda hingga pidana penjara, tergantung pada tingkat keparahan perbuatan yang dilakukan. Selain itu, catatan kriminal dari tindakan cyberbullying dapat berdampak negatif pada masa depan pelaku, terutama dalam hal pekerjaan atau pendidikan, di mana rekam jejak kriminal dapat menjadi hambatan besar dalam meraih kesempatan di bidang tertentu. Bahkan jika tidak sampai diproses secara hukum, reputasi buruk akibat perilaku ini bisa mempersulit peluang karir dan kepercayaan dari pihak profesional di masa depan.
Hasil wawancara dengan remaja menunjukkan bahwa banyak dari mereka kurang menyadari dampak serius dari jejak digital yang ditinggalkan. Sebagian besar remaja belum memahami bahwa tindakan mereka di dunia digital dapat tercatat secara permanen, sehingga berpotensi memberikan konsekuensi jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi lebih lanjut mengenai pentingnya menjaga perilaku digital serta risiko hukum dan sosial dari cyberbullying sangat dibutuhkan, terutama bagi generasi muda.
Cyberbullying tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga pada pelaku. Efek yang dialami pelaku berupa tekanan psikologis dan keterasingan sosial menunjukkan bahwa tindakan ini dapat membawa kerugian jangka panjang bagi mereka. Penting bagi masyarakat untuk memberikan edukasi tentang dampak negatif cyberbullying terhadap kedua pihak, agar perilaku ini dapat diminimalisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H