Mohon tunggu...
Annisa Aprilia
Annisa Aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - penname : Nakaito

Manusia tidak akan hidup tanpa kegagalan. Maka dari itu, persiapkan diri kita untuk menelan pahit kegagalan yang menunggu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hasrat Berdendam

17 Juni 2022   08:21 Diperbarui: 17 Juni 2022   08:28 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TW//Blood, Selfharm

Karakter dan insiden dalam cerita ini adalah fiksi.

    Malam itu suasana begitu hening, seorang remaja laki-laki terus menangis, menatap potret yang berisi sepasang suami istri yang berstatus sebagai orang tuanya. Tangannya mengelus potret itu penuh sayang, seolah tangan itu mengelus langsung paras indah milik ayah dan ibunya.

    Dari tadi wajahnya murung, seakan awan mendung terus menutup senyum mataharinya. Awan itu tak membiarkan setitikpun cahaya menembus masa suramnya, membuat pikiran gelap semakin membayang dalam hati dan jiwanya.

    Tangan kasar miliknya menghapus air mata yang membanjiri potret ayah dan ibunya. Nafasnya memburu, menandakan suasana hatinya yang amat kacau.

    Rautnya yang sedih tiba-tiba berubah merah. Ia menatap marah papan note di depannya yang diisi oleh wajah-wajah orang berdosa.

    Nafasnya semakin memburu, menyalurkan perasaan marah yang sudah tak bisa hatinya bendung. Mulutnya terus mengutuk pada orang-orang yang ada dalam papan note, memberi sumpah serapah buruk bagi orang-orang yang sudah tak punya hati.

    "Aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kalian lakukan pada pada ayah dan ibu." Remaja itu lantas mengambil sebuah bolpoint merah yang menandakan darah. Tangannya dengan acak mengancurkan potret rupawan dari delapan kepala keluarga yang terdaftar dalam papan notenya.

    "Selama apapun itu, aku akan mencari orang yang menjadi kelemahan kalian. Orang yang akan menghancurkan jiwa kalian, hingga kalian merasakan bagaimana sakitnya ditinggal oleh orang yang berharga." Dia berujar dengan berapi-api hingga amarahnya memuncak. Remaja itu menyalurkan semua rasa marahnya pada bolpoint merah yang kini diremuk tanpa sisa.

    Ingatannya kembali saat ia berusia sembilan tahun. Saat itu adalah saat yang menyenangkan. Kedua orang tuanya begitu memanjanya. Ia bagaikan pangeran di dalam cerita dongeng saat itu. 

    Namun tak lama setelahnya semua kebahagiaan yang dimilikinya tiba-tiba lenyap. 

    Semuanya diakibatkan oleh kerakusan delapan orang yang menginginkan harta dan tahta. Delapan orang itu membunuh sang ayah ibu tepat di hadapannya. 

    Ia dalam wujud anak kecil menatap darah ayah ibunya yang berserakan di mana-mana. Ia melihat senyuman mereka untuknya di saat-saat terakhir delapan orang itu memakan jiwa sang terkasih. 

    Saat itu dunianya runtuh. Kata orang ia harus bersyukur karena terselamatkan. Tapi bukan selamat yang diinginkannya. Ia ingin ikut bersama ayah ibunya yang telah menjadi bintang. Karena untuk apa hidup jika bahagianya telah pergi.

    Jiwanya telah hancur saat itu. Bahkan semakin hancur ketika kedelapan orang yang melenyapkan ayah ibunya malah dipuja-puja banyak orang. Mereka dianggap sebagai penyelamat alih-alih penjahat.

    "Sampai ujung dunia pun, aku akan nuntut balas pada kalian. Kalian yang berdosa tidak akan aku biarkan hidup tenang, aku akan menyiksa jiwa kalian, hingga kalian sendirilah yang memilih untuk meninggalkan dunia." Teriaknya sembari menjambak rambut klimisnya sampai tak berbentuk. Amarahnya membuat rasa sakit dari helaian rambut yang terlepas paksa tak ia lirik dengan menjerit kesakitan.

    Dengan jambakkan yang semakin mengencang, remaja itu terus mengutuk orang-orang yang membawanya pada rasa putus asa. Mulutnya terus berteriak, hingga kepalanya merasakan nyeri yang amat kuat.

    Tak ada siapapun yang membantunya saat itu, rumah besarnya hanya ditempati oleh ia yang berteriak kesakitan. Sang nenek yang biasa membantunya di saat seperti ini, kini hilang ditelan bumi, menyisakan ia yang merana sendiri, tak ada yang menemani.

    Depresi yang dialaminya sejak usia sembilan tahun membuat kerabat jauhnya enggan memberikan tempat berpulang untuknya. Mereka menjadikannya sebagai manusia malang yang menggantungkan rasa sakit jiwanya pada rasa sakit yang lain.

    Remaja itu semakin mencengkram kuat kepalanya yang menyalurkan rasa nyeri. Ia dengan tangan yang gemetarnya mengambil sebuah cutter yang berada tepat di sampingnya. Tangannya menari, menggores tangannya yang lain hingga mengeluarkan tetasan darah beraroma karat.

    Wajah remaja itu terlihat menikmati setiap tetesan darah yang berlomba keluar dari kulitnya. Rasa sakit dari goresan yang dibuatnya membawa ia pada rasa puas penenang rasa frustrasinya.

    "Suatu hari nanti, bukan darahku yang membawa puas, tapi darah orang tersayang kalian yang akan membawaku pada rasa puas menggelora." Tawanya menggema begitu jahat. Rasa sakit yang selama ini ia rasakan sendirian, membawanya pada jalan kesakitan sebagai teman rasa sakit hatinya yang terlalu dalam.

    Tidak ada yang peduli pada remaja malang itu, hingga membuatnya semakin melakukan hal tak waras yang tak pernah terpikirkan oleh jiwa waras.

17 Juni 2022

    Nakaito

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun