TW//Blood, Selfharm
Karakter dan insiden dalam cerita ini adalah fiksi.
  Malam itu suasana begitu hening, seorang remaja laki-laki terus menangis, menatap potret yang berisi sepasang suami istri yang berstatus sebagai orang tuanya. Tangannya mengelus potret itu penuh sayang, seolah tangan itu mengelus langsung paras indah milik ayah dan ibunya.
  Dari tadi wajahnya murung, seakan awan mendung terus menutup senyum mataharinya. Awan itu tak membiarkan setitikpun cahaya menembus masa suramnya, membuat pikiran gelap semakin membayang dalam hati dan jiwanya.
  Tangan kasar miliknya menghapus air mata yang membanjiri potret ayah dan ibunya. Nafasnya memburu, menandakan suasana hatinya yang amat kacau.
  Rautnya yang sedih tiba-tiba berubah merah. Ia menatap marah papan note di depannya yang diisi oleh wajah-wajah orang berdosa.
  Nafasnya semakin memburu, menyalurkan perasaan marah yang sudah tak bisa hatinya bendung. Mulutnya terus mengutuk pada orang-orang yang ada dalam papan note, memberi sumpah serapah buruk bagi orang-orang yang sudah tak punya hati.
  "Aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kalian lakukan pada pada ayah dan ibu." Remaja itu lantas mengambil sebuah bolpoint merah yang menandakan darah. Tangannya dengan acak mengancurkan potret rupawan dari delapan kepala keluarga yang terdaftar dalam papan notenya.
  "Selama apapun itu, aku akan mencari orang yang menjadi kelemahan kalian. Orang yang akan menghancurkan jiwa kalian, hingga kalian merasakan bagaimana sakitnya ditinggal oleh orang yang berharga." Dia berujar dengan berapi-api hingga amarahnya memuncak. Remaja itu menyalurkan semua rasa marahnya pada bolpoint merah yang kini diremuk tanpa sisa.
  Ingatannya kembali saat ia berusia sembilan tahun. Saat itu adalah saat yang menyenangkan. Kedua orang tuanya begitu memanjanya. Ia bagaikan pangeran di dalam cerita dongeng saat itu.Â
  Namun tak lama setelahnya semua kebahagiaan yang dimilikinya tiba-tiba lenyap.Â