Mohon tunggu...
Aan Maghfira
Aan Maghfira Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga

Sejarah kota dan kehidupan sehari-hari. Work in Progress: Terjemahan Indonesia "Locale Belangen" tahun 1913

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arsitektur Vs Birokrasi: Pergolakan Menembus Zaman

24 Mei 2023   16:12 Diperbarui: 24 Mei 2023   16:31 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat mempelajari lebih jauh mengenai sejarah arsitketur, ada artikel yang menarik perhatian saya yang berjudul "The Puzzle of Architecture and Bureaucracy" oleh Ricardo Costa Agarez, Fredie Flore dan Rika Devos. Memahami hubungan antara arsitektur dan birokrasi yang penuh dengan kepentingan ini mungkin dapat membantu kita untuk menjembatani jurang pemisah antara sebuah bangunan dan masyarakat yang membutuhkannya. Berikut adalah dua kutipan yang menarik untuk dicatat:

Perancang dan pemikir seperti seorang arsitek biasanya melihat birokrasi sebagai oposisi. Birokrasi dianggap sebagai halangan dalam kreativitas perancangan, tempat kendali dan ketidakadilan, sumber tipu-tipu dan rasa frustrasi. (hal. 2) Bagi para arsitek, kemunculan birokrasi adalah sebuah problematik. Jika tujuan birokrasi, dalam tulisan Whimster, adalah 'untuk mengoptimalkan efisiensi dengan menghilangkan unsur kemanusiaan dalam prosesnya', kemana perginya kreativitas individual seorang arsitek? (hal. 6)

"Saya tidak tahu jelas bagaimana cara kerja para arsitek saat mereka harus berhubungan dengan aturan-aturan yang disediakan oleh birokrasi. Yang saya tahu, memang jelas sifat birokrasi adalah seperti itu, setidaknya pada bagian "tempat kendali dan ketidakadilan, sumber tipu-tipu dan rasa frustrasi". Itu yang selalu saya rasakan saat saya harus menghadapi semua administrasi yang dibuat birokrasi saat harus membuat surat-surat penting, bahkan sepenting dan sesederhana E-KTP sekalipun. Saya rasa itu merambah ke berbagai macam bidang, termasuk arsitektur" (catatan penulis)

Apa yang saya amati selama ini sebagai seorang sejarawan yang tertarik pada sejarah arsitektur adalah bahwa arsitektur sangat menggantungkan diri pada individualitas. Sementara itu, birokrasi menggantungkan dirinya dalam batasan dirinya. 

Arsitektur, sebagai sebuah ide, tidak dapat dipisahkan dari kreativitas, secara kesejarahan mempunyai akar yang satu, personal, dan unik. Di sisi lain, birokrasi bersandar pada aturan umum dan tidak membeda-bedakan, bahkan terkesan menekan perbedaan. Kreativitas arsitektur, secara teori, menahan diri dari kestabilan dan menghindari pengulangan, tapi birokrasi tidak dapat bertahan tanpa dua hal tersebut. Bagaimana bisa arsitektur bisa berkembang dalam lingkungan yang bertentangan seperti itu?

Dalam konteks birokrasi, segala pekerjaannya harus melibatkan pengelolaan dengan aturan yang sudah pasti, yang juga harus didasari pada sosiologi, ekonomi, hukum, politik, administrasi dan pemerintahan yang sedang berlaku dalam masyarakatnya. Belum lagi, segala keputusan birokrasi juga harus mempertimbangkan pandangan publik dan berbagai macam kepentingan. Birokrasi yang menekankan efisiensi dalam budaya kerjanya juga akan memberikan pengaruh yang sama dalam budaya dan penerapan arsitektur.

Tetapi, bukan berarti keduanya hidup di kutub yang jauh berbeda. Persamaan keduanya terletak pada dinamika tarik ulur antara individu dan kolektif, antara personal dan umum. Birokrasi dibentuk dengan tujuan pembagian kekuasaan, menggeser keputusan individual dengan aturan bersama yang tanpa diskriminasi. Sementara itu, arsitektur juga berkutat dengan visi individu (sang perancang) dengan keinginan banyak orang (masyarakat, yang diwakilkan oleh pemerintah dan institursi). Baik birokrasi dan arsitektur mempunyai tantangan untuk bernegosiasi dan mempertemukan kepentingan-kepentingan tersebut. Dan, bagaimana pun juga, arsitek adalah bagian dari masyarakat sipil.

Dalam artikel ini, para penulis juga merujuk kepada penulis lain. Enam penulis Interior Urbanism (2016) meneliti bagaimana arsitek dan ahli lainnya yang terlibat dalam pembangunan menawarkan peran dan budaya kerja mereka dalam birokrasi yang lebih besar. Mereka menyelidiki bagaimana rancangan dan penelitian arsitek bermula dari birokrasi, yang melibatkan banyak kontribusi dari ahli non-arsitek dari berbagai bidang disiplin dalam satu kelompok.

Birokrasi memang memaksa para arsitek untuk bekerja dalam regulasi dan tumpukan kertas administrasi, tapi berkat itu juga arsitek dapat terdorong untuk menerapkan efisiensi dalam etika kerjanya. Tugas birokrasi sebagai pengawas akan membantu arsitek dalam mengawasi pembangunan secara objektif, mengatur dan mengevaluasi baik proses kerja dan hasilnya. Birokrasi juga membantu menyaring selera masyarakat mengenai bagaimana bentuk rancangan arsitektur yang dapat diapresiasi masyarakat.

Mengesampingkan peran birokrasi dalam penulisan sejarah arsitektur bukanlah keputusan yang tepat. Beberapa penelitian sudah menunjukkan bahwa arsitektur dapat bertahan, dan bahkan berkembang, berkat adanya birokrasi. Birokrasi dapat membantu arsitektur untuk menemukan jalan baru dengan mempertimbangkan pandangan dari ilmu pengelolaan masyarakat, seperti dalam sosiologi dan politik.

Perancangan arsitektur yang tidak melibatkan birokrasi - yang terjadi sebelum birokrasi tersusun secara struktural - biasanya tidak bertahan lama dalam sejarah arsitektur. Bagaimana pun juga, ilmu sejarah adalah tentang manusia. Penulisan sejarah arsitektur sudah pasti akan melibatkan manusia di dalamnya, siapa perancangnya, siapa yang membiayai pembangunan bangunan tersebut, siapa saja yang akan menggunakan bangunan tersebut, dan bagaimana tanggapan masyarakat setelah bangunan tersebut berdiri. Dalam hal ini, birokrasi sudah pasti berperan banyak, baik dari segi penetapan aturan yang berlaku saat itu, maupun dalam dokumentasi penggunaan bangunan tersebut selama bangunan tersebut berdiri.

Di Hindia Belanda, awalnya arsitektur adalah bagian dari birokrasi. Arsitek yang bekerja sebagai pegawai negeri membangun hampir seluruh bangunan resmi atau fasilitas kota, seperti yang kita bahas dalam artikel sebelumnya, di bawah naungan Departemen BOW. Lama kelamaan, arsitek-arsitek yang datang dari masyarakat sipil, yang bekerja untuk biro arsitektur mereka sendiri, bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda untuk membangun berbagai macam fasilitas kota yang belum memadai.

Contoh dari ini, yang bisa dibilang proyek paling terkenal di Semarang adalah proyek pembangunan Pasar Johar, yang dirancang oleh Thomas Karsten. Rancangan pasar Johar adalah salah satu contoh ketika birokrasi memberikan kepercayaan penuh dan kebebasan kreatif pada arsitektur yang sudah mempunyai nama, dan tahu persis mengenai kondisi geologi dan sosiologi masyarakat yang akan menggunakan pasar tersebut dalam kegiatan sehari-harinya. 

Yang perlu diyakini adalah bahwa pemerintah Kotamadya Semarang pasti tetap mempunyai batasan-batasannya tersendiri, yang masih harus ditaati oleh sang arsitek, seperti batas lahan atau biaya pembangunan. Hal ini belum saya temukan di dalam catatan Locale Belangen yang sedang dalam proses penerjemahan dan pastinya akan menarik untuk didiskusikan lebih lanjut jika topik ini muncul setelah proses tersebut selesai.

Penelitian sejarah hubungan antara arsitektur dan birokrasi ini penting dalam penulisan sejarah arsitektur. Selain dapat membuka jalan baru bagi arsitektur modern untuk memasukkan objek baru dalam diskusi ilmiah, arsip-arsip birokrasi yang terungkap juga diharapkan mampu menunjukkan jalan alternatif bagi para arsitek untuk melibatkan birokrasi. Bangunan-bangunan seperti Pasar Johar inilah, yang punya nilai sejarah, biasanya terdapat keterlibatan birokrasi di dalamnya, entah itu dalam bentuk kerja sama, atau bahkan oposisi seperti bangunan-bangunan yang digunakan oleh para pejuang kemerdekaan di masa revolusi. 

Terdapat cerita tentang manusia yang menggunakan bangunan itu, baik sejalan maupun tidak dengan apa yang dibayangkan oleh sang arsitek. Bangunan bersejarah dipertahankan oleh kenangan masa lalu, dan dilestarikan dengan teknologi masa depan. Ini yang dialami Pasar Johar, kebakarannya di tahun 2015 membuahkan revitalisasi berkat adanya cerita di dalamnya. Semakin banyak cerita ini digadang, semakin besar kemungkinan bangunan tersebut akan dipertahankan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun