Mohon tunggu...
Annisa Anastasya Ramadhani
Annisa Anastasya Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengaruh Media Sosial dalam Pembentukan Identitas Diri Gen Z

10 Desember 2024   14:04 Diperbarui: 10 Desember 2024   14:04 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Media sosial telah mengubah cara Generasi Z (Gen Z) membentuk identitas diri mereka di era digital. Gen Z menggunakan media sosial tidak hanya sebagai sarana hiburan, tetapi juga untuk mengekspresikan diri, menemukan komunitas, dan membangun citra diri yang ingin mereka tampilkan kepada dunia. Media sosial memungkinkan anak muda berbagi nilai, minat, dan kepribadian mereka sambil terhubung dengan budaya global dan tren terkini.

Namun, interaksi ini memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, media sosial memperkaya identitas diri dengan memperluas wawasan, menyediakan ruang untuk mengekspresikan kepribadian, dan membangun koneksi dengan komunitas global. Di sisi lain, paparan terhadap standar sosial yang ideal sering kali tidak realistis dapat menyebabkan kebingungan dalam menentukan jati diri. Tekanan untuk mendapatkan validasi dari orang lain, seperti melalui "like" dan komentar positif, sering memunculkan tantangan emosional, seperti perasaan tidak cukup baik, kecemasan, atau bahkan depresi.

Selain itu, media sosial memengaruhi cara Gen Z memahami diri mereka dan berinteraksi dengan masyarakat. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menawarkan akses tanpa batas terhadap tren global, seperti mode, musik, dan isu-isu sosial. Meski memberikan ruang untuk mengekspresikan diri dan berpartisipasi dalam diskusi populer, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial ideal dapat menjadi beban. Citra tubuh sempurna, gaya hidup mewah, atau keberhasilan yang ditampilkan selebritas dan influencer kerap menciptakan ekspektasi yang sulit dicapai.

Tekanan ini sering kali menimbulkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi. Media sosial juga membentuk persepsi bahwa validasi diri bergantung pada pengakuan orang lain, seperti jumlah like atau pengikut. Hal ini memengaruhi cara Gen Z menilai diri mereka sendiri, yang dapat mengakibatkan konflik internal dan ketidakpuasan terhadap citra diri mereka.

Pembentukan Identitas Diri di Era Digital

Teori perkembangan psikososial Erik Erikson menjelaskan bahwa masa remaja adalah tahap kritis yang dikenal sebagai "Identitas vs. Kebingungan Peran." Pada tahap ini, individu sedang berusaha mencari tahu siapa diri mereka dan bagaimana posisi mereka di masyarakat. Proses ini melibatkan eksplorasi terhadap nilai-nilai, minat, dan tujuan hidup untuk membentuk gambaran diri yang jelas. Dalam konteks modern, media sosial telah menjadi ruang utama bagi Generasi Z (Gen Z) untuk menjalani eksplorasi ini.

Media sosial menyediakan platform di mana Gen Z dapat mengekspresikan diri dengan membagikan foto, video, atau opini yang mencerminkan kepribadian, pandangan hidup, dan nilai-nilai mereka. Mereka dapat menciptakan narasi kehidupan mereka sendiri, yang dilihat dan diterima oleh audiens yang lebih luas. Hal ini memberi mereka kesempatan untuk mengidentifikasi apa yang penting dalam kehidupan mereka, sambil menerima umpan balik dari orang lain. Dengan demikian, media sosial dapat mempercepat proses pembentukan identitas karena memberikan akses tanpa batas ke berbagai perspektif dan pengalaman.

Namun, kehadiran media sosial juga membawa tantangan yang tidak bisa diabaikan. Proses pembentukan identitas yang biasanya membutuhkan refleksi mendalam kini sering kali digantikan oleh keinginan untuk mendapatkan validasi dari orang lain. Validasi ini biasanya datang dalam bentuk like,komentar, atau jumlah pengikut, yang dianggap sebagai indikator penerimaan sosial. Akibatnya, banyak remaja yang merasa tertekan untuk menciptakan citra diri yang sesuai dengan standar ideal yang ada di media sosial, meskipun standar tersebut tidak realistis atau tidak sesuai dengan kepribadian mereka. Ketergantungan pada umpan balik eksternal ini dapat menyebabkan kebingungan peran, di mana remaja merasa kehilangan jati diri mereka yang sebenarnya.

James Marcia, yang mengembangkan teori Erikson, mengidentifikasi empat status identitas yang mencerminkan tingkat eksplorasi dan komitmen seseorang:

  • Identitas Difusi: Individu belum mulai mengeksplorasi atau berkomitmen terhadap identitas tertentu, sering kali merasa kebingungan dan tidak memiliki arah.
  • Moratorium: Individu berada dalam tahap eksplorasi aktif tanpa membuat keputusan pasti, seperti mencoba berbagai identitas sebelum menentukan pilihan.
  • Identitas Terkunci (Foreclosure): Individu berkomitmen pada identitas tertentu tanpa melalui proses eksplorasi yang memadai, sering kali mengadopsi nilai atau peran yang ditentukan oleh orang lain.
  • Pencapaian Identitas: Individu berhasil mengeksplorasi dan berkomitmen pada identitas yang konsisten, mencerminkan pemahaman diri yang matang.

Pengaruh Positif Media Sosial

Media sosial memberikan banyak manfaat dalam pembentukan identitas diri Gen Z, di antaranya:

  • Memperluas wawasan global: Media sosial memungkinkan Gen Z untuk berinteraksi dengan budaya, gaya hidup, dan perspektif dari seluruh dunia. Melalui akses yang tidak terbatas, mereka dapat belajar tentang tradisi, nilai, dan pandangan dari berbagai komunitas global. Hal ini membantu mereka membangun identitas yang lebih inklusif, memahami perbedaan, dan mengembangkan sikap toleransi terhadap keberagaman budaya, agama, dan latar belakang sosial.
  • Fasilitasi ekspresi diri: Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memberikan ruang kreatif bagi Gen Z untuk mengekspresikan kepribadian dan minat mereka. Mereka dapat membuat konten, seperti video kreatif, foto estetis, dan tulisan yang mencerminkan pandangan hidup atau nilai mereka. Dengan memanfaatkan fitur-fitur media sosial, mereka dapat mengasah kreativitas dan menunjukkan bakat, sehingga membantu memperkuat rasa percaya diri dan citra diri mereka.
  • Meningkatkan konektivitas sosial: Media sosial menjadi sarana untuk menjaga hubungan dengan teman sebaya, keluarga, dan komunitas yang memiliki minat serupa. Fitur seperti grup, forum, dan obrolan video memungkinkan Gen Z tetap terhubung meskipun berjauhan secara geografis. Selain itu, media sosial membantu mereka menemukan komunitas baru yang relevan dengan minat, hobi, atau nilai mereka, yang berkontribusi pada pembentukan identitas sosial yang lebih solid.
  • Akses informasi: Gen Z memiliki akses instan ke berbagai sumber informasi dan pembelajaran melalui media sosial. Dari artikel edukatif, video tutorial, hingga diskusi dengan pakar di berbagai bidang, media sosial membantu mereka mengembangkan wawasan dan meningkatkan kemampuan intelektual. Informasi yang diperoleh dapat menjadi landasan penting dalam membentuk pandangan hidup, nilai, dan aspirasi mereka di masa depan.

Pengaruh Negatif Media Sosial

Namun, penggunaan media sosial yang tidak bijak dapat berdampak buruk pada pembentukan identitas diri Gen Z. Dampak negatif ini meliputi:

  • Perbandingan sosial yang merugikan: Media sosial sering kali memaparkan Generasi Z pada standar kecantikan, gaya hidup, atau pencapaian yang tidak realistis. Konten yang dibuat oleh selebriti, influencer, atau bahkan teman sebaya, dapat menciptakan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan tersebut. Hal ini sering kali membuat remaja merasa tidak cukup baik atau tidak puas dengan diri mereka sendiri. Tekanan ini dapat menurunkan rasa percaya diri dan, dalam beberapa kasus, memicu kecemasan serta depresi.
  • Cyberbullying: Media sosial dapat menjadi sarana bagi individu untuk melakukan perundungan (bullying) secara daring, yang dikenal sebagai cyberbullying. Tindakan ini mencakup komentar negatif, penyebaran informasi palsu, atau pelecehan lainnya yang dapat dilakukan secara anonim. Dampak dari cyberbullying dapat sangat berat bagi kesehatan mental korban, seperti meningkatkan risiko kecemasan, depresi, hingga isolasi sosial. Korban sering merasa tidak aman di dunia maya, yang memengaruhi kesejahteraan emosional mereka.
  • Kecanduan media sosial: Ketergantungan yang tinggi terhadap media sosial dapat menyebabkan pengguna menghabiskan waktu berlebihan untuk menjelajahi konten, menggulir layar tanpa henti (doomscrolling), atau memantau respons terhadap unggahan mereka. Hal ini mengurangi waktu yang seharusnya digunakan untuk kegiatan produktif, seperti belajar, olahraga, atau bersosialisasi secara langsung. Kecanduan media sosial juga dapat mengganggu pola tidur dan memengaruhi keseimbangan hidup secara keseluruhan.
  • Tekanan privasi dan keamanan: Konten yang dibagikan di media sosial, seperti foto, video, atau informasi pribadi, sering kali rentan terhadap penyalahgunaan. Data ini dapat dieksploitasi untuk tindakan negatif seperti pencurian identitas, penyebaran hoaks, atau bahkan ancaman terhadap reputasi seseorang. Risiko ini dapat menimbulkan tekanan emosional bagi pengguna, yang harus terus-menerus berhati-hati dengan apa yang mereka bagikan di platform tersebut.

Pentingnya Pendidikan Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun