[caption id="attachment_260276" align="aligncenter" width="300" caption="dok. AFR"][/caption]
Ini pertama kalinya saya meresensi novel bergenre chicklit. Terus terang, saya jarang tertarik dengan novel genre ini. Alasannya, yah..karena membaca itu soal selera, kan?
Pernah saya membaca satu judul novel chicklit, lalu membiarkannya tak dibaca sampai tamat. Padahal itu karya penulis terkenal. Alasannya, yah...lagi-lagi, karena membaca itu soal selera, kan? Saya tak suka ide dan alur ceritanya, yang bagi saya menceritakan cinta dengan bumbu yang terlalu mainstream. Tapi chicklit yang ini berbeda. Begitu mengenal Magali lewat cerita yang dikisahkan dengan asyik oleh Winda Krisnadefa, bisa saya katakan, ini novel chicklit favorit saya!
***
Magali? Ya, Ma-ga-li. Nama yang jarang didengar, terkesan aneh, sekaligus misterius. Arti nama itu semisterius kala huruf-huruf yang menyusun nama itu disebut; mutiara, daughter of the sea. Begitu luas dan dalam. Seolah-olah dari nama itu tersimpan banyak hal yang sulit diungkap, menjadi misteri selamanya. Orang-orang yang mendengar namanya akan mengerutkan kening, menggerak-gerakkan mulutnya tak pasti untuk coba menyebutkannya kembali, lalu berakhir dengan kesan; nama yang aneh! Seaneh Magali, sosok pemilik nama itu sendiri.
Coba bayangkan, Di usianya yang sudah 24 tahun dan bekerja sebagai freelance writer di sebuah free magazine Kemang-Bintaro, ia masih dengan penampilannya yang cenderung cuek dan awut-awutan. Ia tak peduli sama sekali pada penampilan, juga tak peduli pada tanggapan aneh orang-orang tentang nama dan dirinya. Meski di setiap ulang tahunnya yang dirayakan bersama Beau, sepupu blasteran Amerika-nya itu, ia selalu memanjatkan harapan yang sama; "Andai namaku bukan Magali..." Ia benci namanya.
Sepanjang masa remajanya, ia hanya bersahabat dengan tiga orang; Jodhi-ayahnya, Beau dan Nene -ibu dari Ayahnya. Beau yang mulanya tinggal bersama Ibunya di Prancis setelah Ayahnya meninggal -sebelum Ayahnya meninggal, mereka mukim di San Fransisco- harus rela pulang kampung ke rumah Nene di Bandung ketika setahun kemudian Ibunya menyusul Ayahnya pergi. Ia tak punya siapa-siapa di sana. Sementara Magali, tak pernah mengenal Ibunya karena telah berpulang sesaat setelah melahirkannya. Ayahnya sendiri adalah seorang cook di kapal pesiar, dan hanya pulang 2 bulan dalam setahun. Praktis, hidup mereka berdua lebih banyak diasuh oleh Nene yang nyentrik. Sungguh keluarga yang tak biasa.
Keanehan -atau keunikan?- Magali tak hanya di situ. Ia penulis rubrik kuliner, namun memiliki selera yang berbeda -kalau tak mau dikatakan aneh- dengan kebanyakan orang soal makanan. Menurutnya, makan itu soal selera yang tak hanya terpaku pada kombinasi menu yang itu-itu saja, sama di semua tempat. Ia sering mengeluhkan itu pada Beau setiap habis meliput restoran-restoran baru di sekitar Kemang-Bintaro, yang tentu saja direspon cowok setengah bule itu dengan kalimat, "Kamu memang aneh!"
Magali memang aneh. Ia lebih suka mencocolkan kentang goreng di eskrim sundae, bukan saos. Dan saat suatu kali ia melahap kombinasi makanan itu di sebuah gerai fast food, seorang laki-laki melihatnya lalu mendekatinya. Ammar, laki-laki itu, ternyata punya kebiasaan yang sama! Kejutan tak hanya sampai di situ. Belakangan Magali tahu kalau Ammar memiliki restoran yang menggunakan nama persis namanya; Suguhan Magali. Sebuah kebetulan atau memang sebuah takdir yang indah?
Apalagi Ammar bukanlah pria biasa di mata Magali. Penampilan fisiknya yang mirip chef terkenal dunia idolanya; Joe Bastianich, sang chef spesial macaroon. Lalu kepribadiannya, sikapnya yang selalu positif, membuat dunia Magali berubah seketika. Debar-debar dan sengatan-sengatan yang aneh kala berjumpa Ammar di restorannya, sikap positif Ammar yang perlahan mulai melunturkan kesinisannya terhadap hampir semua hal selama ini, dan segala macam perubahan yang ia tak tahu apa itu.
Dunianya yang awalnya terasa membosankan dan hanya ia jalani begitu saja berubah menjadi penuh kejutan. Tak hanya soal Ammar, tapi juga dalam hal pekerjaan dan keluarganya sendiri. Entah mengapa, semua perubahan itu terjadi setelah kehadiran Ammar dalam hidupnya. Ah, sebegitu berartinya kah Ammar? Seberapa penting sebenarnya kehadiran Ammar dalam hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung bisa ia jawab dengan pasti.
***
Sejak judul naskah aslinya "Magali Chronicle" diubah menjadi "Macaroon Love" saat akan diterbitkan Qanita, saya mengira ini adalah kisah seperti di film-film yang bertema chef dan dunia kulinernya. Cerita yang membahas cinta dua anak manusia berbeda jenis yang berasal dari dua dunia yang berbeda dan diikat oleh kesukaan yang sama pada macaroon, dan menjadikan kue kecil itu sebagai pusat cerita. Saya memang sengaja tidak membaca review-nya sebelumnya di banyak blog agar dapat menikmatinya dengan cita rasa saya sendiri. Dugaan saya tak sepenuhnya salah. Kisah cinta ini memang dilatarbelakangi oleh dunia kuliner. Tapi inti cerita itu sendiri? Wah, ternyata meleset!
Membaca ini membuat saya meremaja sepuluh tahun. Ide cerita yang menarik dan tak biasa, alur yang mengalir, tokoh-tokoh yang "hidup" serta dialog-dialog cerdas dan spontan, semakin meneguhkan kalau karya Emak Gaoel ini layak diapresiasi sebagai pemenang unggulan "Lomba Penulisan Romance Qanita-Mizan". Sampai-sampai saya turut merasakan debar-debar cinta yang dirasakan Magali saat bertemu Ammar. Juga terbahak-bahak di beberapa adegan antara mereka. Bahkan hampir menangis di salah satu bab-nya. Luar biasa, bukan? Betapa kisah yang sesungguhnya ringan dibaca, namun tetap mampu memainkan emosi pembaca sedemikian rupa tanpa perlu penuturan yang berlebihan.
Tema dunia kuliner yang melingkupi cerita tak serta merta membuat alur menjadi membosankan. Justru menjadi keasyikan tersendiri, karena terselip pengetahuan tentang dunia kuliner yang baru saya ketahui. Saya sendiri tak heran bila melihat penulis di baliknya. Karyanya memang memiliki ciri khas, sama seperti sosoknya; spontan, ceriwis, jujur, mengalir, tanpa basa-basi. Kemahirannya meramu kalimat demi kalimat hingga menjadi sebuah fiksi yang berbobot tak perlu diragukan lagi. Ia adalah karyanya. Karyanya adalah cermin dirinya.
Lalu akhir cerita yang manis, semanis macaroon. Sekilas mirip ending di FTV atau film-film komedi romantis pada umumnya. Seperti mimpi saja. Meski begitu, romantisme yang ditawarkan berbeda. Jangan harap ada penuturan vulgar tentang cinta picisan di sini. Adegan-adegan romantis yang dikisahkan sungguh membuat saya sebagai pembaca penasaran dan geregetan. Perasaan cinta ala remaja yang menggebu-gebu namun tertahan karena keraguan Magali terhadap rasa cinta itu sendiri.
Setelah membacanya, jujur, selain ikut merasa bahagia karena ending yang manis, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah ikut-ikutan mencocol kentang goreng dengan sundae. Rasanya? Rasa Magali! Lalu tetiba teringat dengan kesukaan Ibu saya yang tak biasa; makan nasi dengan lauk buah (pisang goreng, durian) dan mulai menghargai selera beliau yang aneh itu setelah membaca ini. Selain terhibur dengan cerita cintanya, benarlah Magali...makan itu benar-benar soal selera!
***
Judul : Macaroon Love, Cinta Berjuta Rasa
Penulis : Winda Krisnadefa
Penerbit : Qanita - Mizan
Cetakan : I, Maret 2013
Tebal : 264 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H