[caption id="attachment_275533" align="aligncenter" width="470" caption="(sc.studentboss.com/tk/153/p7.shtml)"][/caption]
JELAS. Karena cinta hanya menempati porsi sekian persen saja dari keseluruhan hal yang dibutuhkan dua sejoli untuk melangsungkan pernikahan. Katakanlah sesuatu yang agung dan indah bernama Cinta itu mendapat porsi 50%, maka 50% lainnya adalah akumulasi dari restu kedua orangtua, kemampuan untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, kemampuan untuk beradaptasi dengan keluarga besar pasangan, kemampuan secara materi -meskipun pas-pasan awalnya- untuk menghidupi diri dan pasangan, serta hal-hal lain seperti; kesiapan mental.
Ah, tapi saya lebih setuju kalau kesiapan mental itu menempati porsi yang sama besarnya dengan cinta. Kesiapan mental itu menurut saya sudah mencakup hal-hal lain yang mengikuti dilangsungkannya sebuah pernikahan, yang sudah diuji sejak segala persiapan untuk menggelar pernikahan dilakukan. Kita tidak hanya sekadar ijab qabul lalu selesailah semuanya setelah kebutuhan biologis terpenuhi secara halal.
Bagi pasangan baru menikah, ada perjalanan panjang yang sudah menanti di hadapan. Ada proses penyesuaian yang harus dilakukan, yang seringkali tak ada habisnya. Ada banyak sekali ujian dan rintangan yang harus dilalui, yang seringkali membuat mereka yang begitu mengagungkan cinta dan hanya cinta, terhenyak; Beginikah rupa pernikahan itu? Mengapa tak seindah bayangan? Mengapa tak seromantis kisah cinta Habibie & Ainun?
Kita seringkali terjebak pada ilusi pernikahan yang indah dan romantis bak cerita negeri dongeng. Pertemuan yang membuat dag dig dug. Perkenalan yang membuat hati kepincut. Selanjutnya hanyalah cinta, cinta dan hanya cinta, yang membuat dunia terasa berada di awang-awang. Hanya ingin berdua, berdua, dan berdua, hingga maut memisahkan. Aahhh..indahnya dunia.
Lalu janji pun terpatri di hati. Tidak ada yang lain selain dia, yang membuat jatuh cinta. Tak lama prosesi pernikahan pun digelar berbekal restu orangtua. Inilah perayaan cinta. Dan selamanya akan begitu. Benarkah?
Setelah fase bulan madu, pasangan akan menemui banyak hal yang selama ini tak terlihat, yang tersembunyi dari pasangan. Ada kebiasaan-kebiasaannya yang ternyata sulit kita terima. Ada bagian dirinya yang sulit sekali berubah. Belum lagi riak-riak yang timbul dari keluarga kedua belah pihak. Kebiasaan hidup keluarga pasangan, berikut nilai-nilai kehidupan yang bisa jadi berseberangan dengan nilai-nilai yang selama ini kita anut.
Di awal pernikahan, ada banyak hal yang masih kita bawa dari keluarga kita. Ada nilai-nilai yang sebenarnya belum siap kita sesuaikan dengan nilai-nilai di keluarga yang baru. Sesekali mulai timbul pertanyaan dalam hati; Mengapa keluarganya begitu? Kok sikapnya begitu sih? Dan beragam protes lainnya yang bila tidak bisa dipahami, akan menimbulkan konflik dengan pasangan.
Belum lagi masalah finansial, anak dan tetek bengek lainnya, yang bisa menjadi pencetus masalah dalam interaksi dengan pasangan. Bahkan sebenarnya dirasa lebih rumit daripada itu. Baru terasa kalau pasangan adalah sosok yang tidak sesempurna yang dibayangkan. Mahligai pernikahan bukan lagi menjadi hal yang indah dan membahagiakan.
Lalu, apakah kita harus menyerah lalu memilih berpisah? Semudah itu?
Saya pernah membaca, kalau 5 tahun pertama pernikahan adalah fase kritis, dimana penyesuaian dengan pasangan banyak terjadi. Fase dimana kita belajar untuk masuk ke kehidupan pribadi pasangan dan juga keluarga besarnya. Fase dimana kita belajar untuk tidak lagi mementingkan diri sendiri, tapi lebih menomorsatukan keluarga. Fase dimana hubungan kita rentan sekali akan godaan-godaan di luar sana, yang seringkali menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Bukan sedikit jumlah pasangan yang akhirnya memilih bercerai di fase ini. Sayang memang, padahal mungkin saja bahagia sudah menanti bila mereka memilih untuk bersabar.