Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ingin Menikah? Tak Cukup Hanya Cinta

30 Agustus 2013   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:35 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1377876057137815484

[caption id="attachment_275533" align="aligncenter" width="470" caption="(sc.studentboss.com/tk/153/p7.shtml)"][/caption]

JELAS. Karena cinta hanya menempati porsi sekian persen saja dari keseluruhan hal yang dibutuhkan dua sejoli untuk melangsungkan pernikahan. Katakanlah sesuatu yang agung dan indah bernama Cinta itu mendapat porsi 50%, maka 50% lainnya adalah akumulasi dari restu kedua orangtua, kemampuan untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, kemampuan untuk beradaptasi dengan keluarga besar pasangan, kemampuan secara materi -meskipun pas-pasan awalnya- untuk menghidupi diri dan pasangan, serta hal-hal lain seperti; kesiapan mental.

Ah, tapi saya lebih setuju kalau kesiapan mental itu menempati porsi yang sama besarnya dengan  cinta. Kesiapan mental itu menurut saya sudah mencakup hal-hal lain yang mengikuti dilangsungkannya sebuah pernikahan, yang sudah diuji sejak segala persiapan untuk menggelar pernikahan dilakukan. Kita tidak hanya sekadar ijab qabul lalu selesailah semuanya setelah kebutuhan biologis terpenuhi secara halal.

Bagi pasangan baru menikah, ada perjalanan panjang yang sudah menanti di hadapan. Ada proses penyesuaian yang harus dilakukan, yang seringkali tak ada habisnya. Ada banyak sekali ujian dan rintangan yang harus dilalui, yang seringkali membuat mereka yang begitu mengagungkan cinta dan hanya cinta, terhenyak; Beginikah rupa pernikahan itu? Mengapa tak seindah bayangan? Mengapa tak seromantis kisah cinta Habibie & Ainun?

Kita seringkali terjebak pada ilusi pernikahan yang indah dan romantis bak cerita negeri dongeng. Pertemuan yang membuat dag dig dug. Perkenalan yang membuat hati kepincut. Selanjutnya hanyalah cinta, cinta dan hanya cinta, yang membuat dunia terasa berada di awang-awang. Hanya ingin berdua, berdua, dan berdua, hingga maut memisahkan. Aahhh..indahnya dunia.

Lalu janji pun terpatri di hati. Tidak ada yang lain selain dia, yang membuat jatuh cinta. Tak lama prosesi pernikahan pun digelar berbekal restu orangtua. Inilah perayaan cinta. Dan selamanya akan begitu. Benarkah?

Setelah fase bulan madu, pasangan akan menemui banyak hal yang selama ini tak terlihat, yang tersembunyi dari pasangan. Ada kebiasaan-kebiasaannya yang ternyata sulit kita terima. Ada bagian dirinya yang sulit sekali berubah. Belum lagi riak-riak yang timbul dari keluarga kedua belah pihak. Kebiasaan hidup keluarga pasangan, berikut nilai-nilai kehidupan yang bisa jadi berseberangan dengan nilai-nilai yang selama ini kita anut.

Di awal pernikahan, ada banyak hal yang masih kita bawa dari keluarga kita. Ada nilai-nilai yang sebenarnya belum siap kita sesuaikan dengan nilai-nilai di keluarga yang baru. Sesekali mulai timbul pertanyaan dalam hati; Mengapa keluarganya begitu? Kok sikapnya begitu sih? Dan beragam protes lainnya yang bila tidak bisa dipahami, akan menimbulkan konflik dengan pasangan.

Belum lagi masalah finansial, anak dan tetek bengek lainnya, yang bisa menjadi pencetus masalah dalam interaksi dengan pasangan. Bahkan sebenarnya dirasa lebih rumit daripada itu. Baru terasa kalau pasangan adalah sosok yang tidak sesempurna yang dibayangkan. Mahligai pernikahan bukan lagi menjadi hal yang indah dan membahagiakan.

Lalu, apakah kita harus menyerah lalu memilih berpisah? Semudah itu?

Saya pernah membaca, kalau 5 tahun pertama pernikahan adalah fase kritis, dimana penyesuaian dengan pasangan banyak terjadi. Fase dimana kita belajar untuk masuk ke kehidupan pribadi pasangan dan juga keluarga besarnya. Fase dimana kita belajar untuk tidak lagi mementingkan diri sendiri, tapi lebih menomorsatukan keluarga. Fase dimana hubungan kita rentan sekali akan godaan-godaan di luar sana, yang seringkali menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Bukan sedikit jumlah pasangan yang akhirnya memilih bercerai di fase ini. Sayang memang, padahal mungkin saja bahagia sudah menanti bila mereka memilih untuk bersabar.

Konflik-konflik yang terjadi biasanya karena adanya perbedaan pendapat, keinginan dan juga ekspektasi yang tinggi terhadap pasangan, bahwa pasangan seharusnya begini, seharusnya begitu. Dan tentu saja, pasangan bukanlah boneka yang bisa diatur begitu saja. Ia menikah juga dengan membawa nilai-nilai hidupnya sendiri, yang sama seperti kita, belum terlalu siap untuk disesuaikan dengan pasangan. Lalu bagaimana caranya agar mencapai kesesuaian?

Di situlah pentingnya kesabaran dalam menjalani proses. Menyesuaikan diri dengan kehidupan baru tentunya butuh proses dan kesiapan mental, dan itu seringkali tak mudah. Perlu kerendahhatian dengan menurunkan ego untuk bisa mencapai kata sepakat, agar segala perbedaan itu bisa dicari jalan tengahnya. Harus ada salah satu pihak yang mengalah. Dan pihak yang merasa "menang", bukan berarti selalu ada di pihak yang menang dan terus mendominasi pasangan. Harus ada kesetaraan dalam hal apapun. Dan masing-masing pasangan harus siap menjalani dinamika itu, yang makin hari bisa jadi permasalahannya makin terasa kompleks.

Memang kita harus realistis juga. Kita tak pernah tahu ujung pernikahan kita nantinya seperti apa. Berujung bahagia atau tidak. Bila di tengah jalan kita mengalami hal-hal yang sulit ditolerir dan dikompromikan sampai mengganggu kebahagiaan hidup lahir batin, ada baiknya berkonsultasi pada ahli agama maupun psikolog/konselor pernikahan. Bila dalam sekian waktu tak mencapai perubahan berarti, maka jalan perpisahan dapat dijadikan opsi terbaik setelah mempertimbangkan segalanya dari berbagai sisi. Namun perlu dipahami bahwa diusahakan jangan sampai pada titik itu. Selalu ada harapan selama ada niat baik.

Karenanya, ada baiknya memang sebelum menikah, masing-masing orang mengenal pribadi dan keluarga pasangannya secara umum. Setidaknya sebelum menikah sudah dapat gambaran, rumah tangga seperti apa kelak yang akan dijalani. Pengenalan kepribadian pasangan menjadi poin penting, dan harus dinilai secara jujur. Tidak bisa hanya dengan kacamata cinta, tapi juga dengan kacamata logika. Wajar, niat kita menikah untuk sekali seumur hidup, bukan? Kalau berprinsip seperti itu, maka sekali berkomitmen dengan pasangan, maka harus siap dengan segala konsekuensinya.

Hmmm...terdengar seram ya? Seperti tidak ada kebebasan lagi. Hahah...sebenarnya tidak juga. Menikah bukan berarti tidak bebas, namun dibatasi oleh norma-norma; agama, susila, hukum, bahwa seseorang tidak lagi bisa sesuka hatinya melakukan sesuatu hanya dengan menuruti kehendaknya sendiri. Bahwa ada orang lain yang juga harus disertakan, karena orang lain itu telah bersedia mendampinginya sepanjang takdir usia pernikahan yang sudah digariskan Tuhan.

Ya, kita tak bisa menafikan campur tangan Tuhan dalam hal apapun. Apalagi dalam hal pernikahan. Sejak awal, kita sudah bersaksi di hadapan penghulu atau pendeta dan seluruh orang yang menyaksikan, bahwa kita bersedia mendampingi pasangan seumur hidup, dalam suka dan duka. Sejatinya, kita bersaksi di hadapan Tuhan. Bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, yang tidak boleh sembarang dilakukan tanpa pemikiran dan kesiapan mental yang memadai.

Saya membayangkan, kalau saja pasangan Habibie & Ainun menikah hanya bermodalkan cinta yang besar tanpa kesiapan mental yang mumpuni, maka sudah sejak lama Ainun pergi meninggalkan Habibie dengan dunianya sendirian. Mungkin takkan ada Habibie seperti yang kita kenal sekarang. Lalu tidak akan ada kisah cinta sejati mereka  dilagukan, difilmkan, dan dijadikan panutan. Kita saja yang tak pernah tahu persis, bahwa cinta abadi sejoli itu adalah buah dari tempaan berbagai cobaan sekaligus kesabaran dalam memupuk dan memelihara cinta secara terus menerus. Bukankah kita juga ingin pernikahan yang seperti itu?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun