Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ingin Menikah? Tak Cukup Hanya Cinta

30 Agustus 2013   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:35 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik-konflik yang terjadi biasanya karena adanya perbedaan pendapat, keinginan dan juga ekspektasi yang tinggi terhadap pasangan, bahwa pasangan seharusnya begini, seharusnya begitu. Dan tentu saja, pasangan bukanlah boneka yang bisa diatur begitu saja. Ia menikah juga dengan membawa nilai-nilai hidupnya sendiri, yang sama seperti kita, belum terlalu siap untuk disesuaikan dengan pasangan. Lalu bagaimana caranya agar mencapai kesesuaian?

Di situlah pentingnya kesabaran dalam menjalani proses. Menyesuaikan diri dengan kehidupan baru tentunya butuh proses dan kesiapan mental, dan itu seringkali tak mudah. Perlu kerendahhatian dengan menurunkan ego untuk bisa mencapai kata sepakat, agar segala perbedaan itu bisa dicari jalan tengahnya. Harus ada salah satu pihak yang mengalah. Dan pihak yang merasa "menang", bukan berarti selalu ada di pihak yang menang dan terus mendominasi pasangan. Harus ada kesetaraan dalam hal apapun. Dan masing-masing pasangan harus siap menjalani dinamika itu, yang makin hari bisa jadi permasalahannya makin terasa kompleks.

Memang kita harus realistis juga. Kita tak pernah tahu ujung pernikahan kita nantinya seperti apa. Berujung bahagia atau tidak. Bila di tengah jalan kita mengalami hal-hal yang sulit ditolerir dan dikompromikan sampai mengganggu kebahagiaan hidup lahir batin, ada baiknya berkonsultasi pada ahli agama maupun psikolog/konselor pernikahan. Bila dalam sekian waktu tak mencapai perubahan berarti, maka jalan perpisahan dapat dijadikan opsi terbaik setelah mempertimbangkan segalanya dari berbagai sisi. Namun perlu dipahami bahwa diusahakan jangan sampai pada titik itu. Selalu ada harapan selama ada niat baik.

Karenanya, ada baiknya memang sebelum menikah, masing-masing orang mengenal pribadi dan keluarga pasangannya secara umum. Setidaknya sebelum menikah sudah dapat gambaran, rumah tangga seperti apa kelak yang akan dijalani. Pengenalan kepribadian pasangan menjadi poin penting, dan harus dinilai secara jujur. Tidak bisa hanya dengan kacamata cinta, tapi juga dengan kacamata logika. Wajar, niat kita menikah untuk sekali seumur hidup, bukan? Kalau berprinsip seperti itu, maka sekali berkomitmen dengan pasangan, maka harus siap dengan segala konsekuensinya.

Hmmm...terdengar seram ya? Seperti tidak ada kebebasan lagi. Hahah...sebenarnya tidak juga. Menikah bukan berarti tidak bebas, namun dibatasi oleh norma-norma; agama, susila, hukum, bahwa seseorang tidak lagi bisa sesuka hatinya melakukan sesuatu hanya dengan menuruti kehendaknya sendiri. Bahwa ada orang lain yang juga harus disertakan, karena orang lain itu telah bersedia mendampinginya sepanjang takdir usia pernikahan yang sudah digariskan Tuhan.

Ya, kita tak bisa menafikan campur tangan Tuhan dalam hal apapun. Apalagi dalam hal pernikahan. Sejak awal, kita sudah bersaksi di hadapan penghulu atau pendeta dan seluruh orang yang menyaksikan, bahwa kita bersedia mendampingi pasangan seumur hidup, dalam suka dan duka. Sejatinya, kita bersaksi di hadapan Tuhan. Bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, yang tidak boleh sembarang dilakukan tanpa pemikiran dan kesiapan mental yang memadai.

Saya membayangkan, kalau saja pasangan Habibie & Ainun menikah hanya bermodalkan cinta yang besar tanpa kesiapan mental yang mumpuni, maka sudah sejak lama Ainun pergi meninggalkan Habibie dengan dunianya sendirian. Mungkin takkan ada Habibie seperti yang kita kenal sekarang. Lalu tidak akan ada kisah cinta sejati mereka  dilagukan, difilmkan, dan dijadikan panutan. Kita saja yang tak pernah tahu persis, bahwa cinta abadi sejoli itu adalah buah dari tempaan berbagai cobaan sekaligus kesabaran dalam memupuk dan memelihara cinta secara terus menerus. Bukankah kita juga ingin pernikahan yang seperti itu?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun