[caption id="attachment_204578" align="aligncenter" width="525" caption="Siap-siap masuk tas.. :D"][/caption]
AH, dari judulnya saja pasti pembaca sudah tahu saya akan membahas apa. Yup! Benar sekali. Ini tentang buku perdana kompasianer Leil Fataya; Kucing Hitam dan Sebutir Berlian. Beberapa kompasianer sudah menuliskan review-nya tentang buku ini. Nah, sekarang giliran saya. Tapi ini review versi saya, yang mungkin tak hanya membahas isi buku, tapi juga cerita yang menyertainya.
Sebenarnya buku ini sudah lama saya pesan, sejak terbitnya Juli kemarin. Tak menunggu terlalu lama, buku ini pun sampai di alamat saya di Medan sekira awal Agustus. Tapi karena domisili saya tak lagi di sana, akhirnya buku ini baru sampai ke tangan saya beberapa Minggu kemudian. Hmmm..tepatnya di hari saya mudik ke Bukittinggi bersama keluarga suami, tanggal 17 Agustus lalu. Sebelum berangkat pada sore harinya, tak lupa saya potret dulu bukunya untuk ilustrasi tulisan ini. Lalu, ya...saya bawa serta buku setebal 140 halaman ini ke kampung halaman. Lumayan, bisa sebagai pengisi waktu luang. Hehe...
Di sana, saya hanya berkesempatan membaca beberapa judul saja. Apalagi ketika saya harus segera ke Medan karena ada kabar dukacita dari keluarga saya. Jadilah, minat untuk membaca buku apapun sempat hilang beberapa waktu. Rasanya saya masih ingin mengenang almarhum abang saya yang berpulang pada tanggal 22 Agustus lalu.
Sekembalinya ke kediaman saya di Sibuhuan, waktu luang menjadi cukup banyak. Maka selain menulis, saya coba menumbuhkan lagi minat untuk membaca buku. Saya meneruskan membaca buku antologi fiksi karya Leil Fataya ini. Satu sampai tiga judul dalam satu hari. Saya tak ingin terburu-buru, karena ingin meresapi nilai-nilai yang tersirat dari tiap judul ceritanya. Kebiasaan saya memang begitu ketika membaca antologi. Berbeda jika membaca novel yang ceritanya berkelanjutan sampai akhir.
Hingga akhirnya kemarin, saya tuntas membacanya. Beberapa judul yang pernah dipublikasikan di Kompasiana, cukup saya baca sambil lalu karena masih ingat ceritanya (Ini pertanda karyanya tak mudah dilupakan, bukan?). Meski begitu, kesan yang saya peroleh tetap sama untuk setiap judulnya; cerita yang ringkas namun sarat makna. Dan bahasanya itu...hmmm...saya suka!
Saya seperti bukan sedang membaca karya seorang penulis Indonesia. Atau tepatnya, ini seperti cerita-cerita terjemahan karya Leo Tolstoy, Anton Chekov, Paulo Coelho, atau penulis-penulis "impor" lainnya itu. Asyik sekali. Apalagi Leil membawa pembacanya berkeliling ke berbagai tempat di dunia sambil mengajak untuk mencerna filosofi yang terkandung dari setiap untaian katanya. (Ah, saya rasa para penggemar karya Leil tahu betul hal ini).
Terkadang cerita yang disajikannya terasa absurd. Tapi itulah. Leil hanya bermaksud menganalogikan sesuatu sekaligus menyampaikan pesannya lewat tokoh-tokoh dan cerita absurd dalam karyanya itu. Sudut pandang yang digunakan pun tak melulu menggunakan orang ketiga, seperti yang selama ini terbaca di setiap karyanya. Ada kalanya ia menggunakan sudut pandang orang pertama, "Aku". Bahkan sang "Aku" ini pun bisa berubah menjadi seekor cicak! (Baca "Perjamuan Teh yang Sempurna") Ha! Tampaknya ia lihai sekali dalam bermain-main dengan sudut pandang ini. Pembaca pun jadi tak bosan dan justru penasaran dengan cerita selanjutnya.
[caption id="attachment_204579" align="aligncenter" width="421" caption="Ehm...mintalah sekarang sebelum susah dapet tandatangannya nanti.. ;D"]
Selain wawasannya yang luas tentang kekhasan suatu tempat dan budaya yang kemudian menjelma sebagai setting dan karakter dalam ceritanya, agaknya ciri khas lain yang melekat di setiap tulisan fiksinya adalah akhir cerita yang seringkali tak terduga. Acap kali saya mencoba menebak arah ceritanya, namun sering kali meleset. Jikapun benar, Leil menutupnya dengan cara yang indah, yang mungkin kalau saya bayangkan, kemampuan saya masih terbatas untuk bisa membungkus ending seperti itu. Ini pula lah kesimpulan lain yang saya dapatkan; Leil mampu bercerita dengan kalimat-kalimat efektif, tidak bertele-tele, namun bisa mendeskripsikan suasana dan karakter tokohnya dengan baik sekali.
Apa itu semata karena saya pernah membaca tulisan dengan gaya bercerita sejenis? Hmmm...saya rasa tidak juga. Gaya bercerita Leil memang mirip dengan beberapa penulis lain, namun ia cukup berhasil menonjolkan ciri lain, tema lain, dengan caranya yang orisinil. Maka tak heran jika sejak awal membaca karya fiksinya di Kompasiana, saya menganggap Leil sebagai penulis yang sudah matang di dunia (fiksi)nya.
Mungkin Leil sudah cukup sering disamakan dengan gaya penulis di luar sana itu, lebih karena setting, tokoh dan ceritanya yang kebanyakan "impor". Tapi ia berhasil mematahkan pemikiran yang meragukan kemampuannya dalam berfiksi dengan rasa lokal. Baca saja "Di Bawah Merah Langit Papua", "Rendezvous di Lautan Pasir" dan "Para Penyembah Batu". Ketiga cerita ini berlatar belakang daerah di Indonesia.
Selama ini saya penasaran dengan gaya Leil bercerita dengan setting lokal. Nyatanya, ia berhasil. Ia sukses menjamu rasa penasaran saya, cukup dengan tiga judul ini saja. Apalagi judul kedua, yang ber-setting di Gunung Bromo itu. Saat membacanya, barulah saya sadar; inilah karya romantis Leil. Bersahaja namun indah. Meski alur ceritanya bisa ditebak, namun seperti yang saya tulis tadi, Leil mampu membungkusnya dengan begitu indah sehingga tak sedikitpun membuahkan kekecewaan.
Saya malah penasaran dengan cerita Papua itu. Sempat kecewa, karena saya tak ingin ending-nya hanya berakhir sampai di situ. Saya sempat membolak-balik halaman dan berpikir kalau ada halaman yang hilang. Tapi ternyata ya memang hanya sampai di situ. Ah, padahal kalau diteruskan, itu bisa jadi cerpen yang bagus sekali. Apalagi temanya -setahu saya- masih terbilang jarang diangkat ke dalam fiksi. Menantang rasa penasaran.
Tapi setelah dipikir-pikir, itu pula lah asyiknya cerita dengan ending "menggantung". Pembaca bebas meneruskan imajinasinya dan menentukan sendiri penutupnya. Seperti bermain tebak-tebakan. Tapi lebih dari itu, ada sebersit harapan agar Leil lebih banyak menulis dengan setting daerah di Indonesia. Saya rasa, dengan gaya bertuturnya sekarang ini, itu dapat menjadi tulisan-tulisan fiksi yang sangat menarik.
Kedua puluh cerita yang terangkum di bukunya ini memang menarik. Bahkan menjadi sangat menarik karena tema-temanya yang unik dan sarat makna filosofi tentang kehidupan. Jadi sebenarnya tak ada yang paling berkesan. Seluruhnya berhasil membuat saya terkesan. Karenanya, bisa saya katakan kalau karya perdananya ini menuai sukses. Saya bahkan berharap jika karyanya ini ditawarkan ke penerbit non-indie dengan harapan agar bukunya dapat beredar luas di toko buku dan dibaca oleh lebih banyak orang. Semoga suatu saat nanti...
***
>> Mbak Leil, ditunggu buku selanjutnya ya... ;D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H