Biasanya, saat suasana hatiku sedang tidak menentu, aku suka sekali mendengarkan musik. Sama halnya seperti hari itu. Sepulang sekolah setelah membersihkan diri dan lain sebagainya, ku lemparkan tubuhku ke kasur, menatap langit-langit kamar yang gelap karena minimnya pencahayaan setelah lampu kumatikan. Ku raba permukaan kasur, berusaha mencari telepon genggam yang sebelumnya kulempar. "Duh, dimana sih?", ucapku kesal.Â
    Setelah kudapati telepon genggam di tangan, jari-jariku menari dengan gesitnya di atas layar, mencari dan membuka aplikasi spotify, lalu memutar playlist berjudul 'Heals'. Satu demi satu lagu silih berganti, sampai pada saat spotify ku memutar lagu 'Mikromoskos - BTS' dan mencapai lirik 'cahaya milik setiap orang itu penting'. Membuat memori ku terbang jauh ke belakang, saat aku membaca satu cerita kehidupan seseorang yang diberi judul 'Lost bear in the moon', atau beruang yang tersesat di Bulan. Dia bercerita bagaimana BTS menemaninya dalam perjalanan menyembuhkan luka.Â
    Saat kecil, hidupnya cukup. Keluarga yang baik, kasih sayang yang dilimpahkan kepadanya, bahagia yang ia rasakan. Tapi seiring waktu, dia tumbuh beranjak remaja dengan banyak permasalahan yang kerap berdatangan. Mulai dari hubungan keluarganya yang semakin renggang, dan perlahan semua disekitarnya menjadi berantakan. Lalu rasa ketakutan mulai menggerogotinya.
    "Ah, kasihan banget", ucapku kala itu sembari membuat ekspresi sedih.
    Dia menanamkan pemikiran bahwa dia harus menjadi yang terbaik, dia harus selalu menjadi nomor 1. Dengan begitu keluarganya tidak akan meninggalkannya. Dengan begitu, keluarganya akan terus menyayanginya dan merasa bangga kepadanya. Dengan pemikiran itu, dia melakukan segala cara untuk menjadi nomor 1. Termasuk tidak tidur cukup, terus belajar, mendorong dirinya sendiri sampai batasannya, bahkan sampai menjatuhkan teman-temannya. Dia juga berlutut memohon kepada saingannya untuk mengalah dan membiarkannya menjadi yang pertama.
    Tapi semua itu tidak cukup. Perlahan-lahan, keluarganya semakin terpecah. Lingkungan disekitarnya terus hancur berantakan. Ayahnya pergi, memilih memberikan kasih sayang lebih kepada saudara tirinya. Selain itu juga, dirasanya, semakin jauh jarak antara dia dan sang ibu. Ia merasa keberadaannya semakin memudar dan terlupakan.Â
    Sampai pada titik, ia merasa tidak ada lagi yang menyayanginya, yang menghargai dan mencintainya. Ia dipaksa belajar menerima keadaan, dan terus melanjutkan hidup. Dengan tangis dan luka yang ia sembunyikan di balik topengnya. Dia berlagak seolah semuanya baik-baik saja, sampai pada titik, dia merasa lelah.
    Dia hanya ingin mengakhiri rasa sedih yang selama ini dia rasakan. 'Jika tidak bisa bahagia, kenapa aku harus terus bersedih dan menderita?', mungkin itu yang ada dipikirannya kala itu. Setelah berjuang untuk bertahan, dan terus banting tulang mencari cinta, juga apresiasi dari orang yang disayanginya, ia akhirnya berhenti. Dia angkat tangan, dan memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya. Dengan seutas tali yang tergantung di kamar tidurnya. Ia mencoba melakukan percobaan bunuh diri.Â
    Sesaat sebelum dia meloncat dari kursi, Sang Ibu berlari masuk dan menangis sejadi-jadinya. Memohon dan terus berdoa kepada Tuhan sembari berlutut. Membuatnya ikut menangis dan berfikir, "Kenapa aku melakukan ini? Kenapa aku harus menyakiti orang yang kusayangi bahkan sebelum aku mati?". Untungnya, percobaan bunuh diri yang nyaris dilakukannya, berhasil digagalkan. Dalam perjalanannya kembali menyembuhkan luka, menghadapi depresi dan dunia, dia bettemu BTS.Â
    Mereka terus mendorongnya dengan cinta, dan motivasi. Menemaninya dan memberikan dia kebahagian. Keberadaan mereka sendiri itu adalah sebuah kenyamanan. Musik mereka seperti penyembuh luka. Dan mereka memberinya kekuatan.Â
    Lewat BTS, dia menemukan teman, motivasi, cinta, kehangatan, dan keluarga. Sekarang dia sudah tidak tersesat lagi. Beruang yang tersesat di bulan, sudah menemukan jalan pulang dan menemukan sumber kebahagiaannya.Â
    Saat membaca ceritanya, aku meneteskan air mata dan menangis tersedu. Ikut membayangkan, bagaimana dan apa yang dia hadapi saat itu. Pasti begitu berat untuknya. Meski aku tidak mengenalnya sama sekali, aku berharap bisa datang dan memberinya pelukan. Aku hanya bisa ikut memanjatkan doa untuknya. "Semoga dia sedang berbahagia", ucapku saat itu. Sekarang, setiap kali mengingat ceritanya, sudut bibirku terangkat naik. Ku harap dia mendapat cinta, perhatian, dan apresiasi yang dia pantas dapatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H