Kaidah-kaidah fiqhiyyah merupakan kumpulan dasar-dasar secara umum terhadap peristiwa-peristiwa dalam berbagai ruang lingkup. Kaidah-kaidah ini bersumber dari hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan hadits. Terdapat lima kaidah di antaranya Al-umuru bimaqasidiha, Al-Yaqinu la yuzalu bi saak, Al-mashaqqah tajlibu al-taysir, Ad-dhararu yuzalu dan Al-'adah al-muhakkamah. Namun, yang akan saya bahas disini adalah kaidah Ad-dhararu yuzalu.
Kaidah ad-dhararu yuzalu merupakan salah satu kaidah dalam hukum Islam yang artinya "Kemudharatan harus dihilangkan". Kaidah ini memiliki makna yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam, karena dapat membantu dalam menghindari tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Seseorang tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri dan orang lain baik secara fisik, kehormatan dan harta. Sebagaimana tidak diperbolehkan membalas kerusakan dengan kerusakan yang sama, artinya tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.
Secara etimologi, dharar berasal dari kata adh dharar yang artinya sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sementara secara terminologi, menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Jadi, arti dharar disini yaitu menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali.
Penerapan dalam fatwa :
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:147/DSN-MUI/XII/2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam fatwa ini terdapat kaidah ad-dhararu yuzalu dan kaidah furu' yaitu "Segala madharat (bahaya, kerugian) harus dihindarkan sedapat mungkin." Fatwa ini menjelaskan bahwa masyarakat memerlukan adanya penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan yang sesuai dengan prinsip syariah. Karena keperluan tersebut dan untuk menghindari kemudharatan, maka dibentuklah jaminan sosial ketenagakerjaan.
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:132/DSN-MUI/X/2019 tentang Perjumpaan Piutang (Muqashshah) Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam fatwa ini terdapat kaidah ad-dhararu yuzalu "Segala mudharat (bahaya/kerugian) harus dihilangkan." Fatwa ini menjelaskan bahwa saat ini praktik Perjumpaan Piutang banyak dilakukan oleh masyarakat dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan memerlukan penjelasan dari segi prinsip syariah. Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa "Perjumpaan Piutang (muqashshah) ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Yang diperbolehkan terdiri dari Perjumpaaan Piutang demi hukum (jabriyah) dan Perjumpaan Piutang karena adanya kesepakatan atau pilihan (ittifaqiyyah/ikhtiyariyah)." Oleh karena itu, Perjumpaan Piutang (Muqashshah) diperbolehkan tetapi harus dilakukan sesuai dengan syarat-syaratnya untuk menghindari kemudharatan.
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:146/DSN-MUI/XII/2021 tentang Online Shop Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam fatwa ini terdapat kaidah ad-dhararu yuzalu dan kaidah furu' yaitu "Segala dharar (bahaya, kerugian) harus dicegah sebisa mungkin." Fatwa ini menjelaskan bahwa jual beli melalui teknologi informasi telah berkembang di masyarakat termasuk penggunaan platform online shop. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan "Yang dimaksud dengan satu majelis dalam setiap akad seperti yang telah kami jelaskan bukanlah keberadaan kedua pihak yang bertransaksi dalam satu tempat. Sebab terkadang tempat kedua pihak itu berbeda ketika ada perantara yang menghubungkan keduanya. Seperti transaksi via telepon, radiogram atau via surat." Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa melakukan transaksi melalui perantara seperti handphone diperbolehkan, namun harus berdasarkan prinsip syariah agar menghindari terjadinya kemudharatan.
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:150/DSN-MUI/VI/2022 tentang Produk Asuransi Kesehatan Berdasarkan Prinsip Syariah.