Anggi yang tadinya mulai bangkit dari keterpurukan mendadak harus terjun bebas kembali ke titik asal. Semangatnya untuk mengikuti rangkaian seleksi sebuah event studi banding ke sebuah sekolah di Sydney pun mulai mengkeret di pojokan. Padahal berbagai persiapan untuk menghadapi proses pemilihan 3 terbaik sudah dilakukan Anggi semaksimal mungkin.
Akankah Anggi mampu mengalahkan dirinya sendiri?
Menilik Bersemi di Mentari
Bidhari Andana (Nana) berhasil mengajak saya mengakhiri 120-an halaman novel ringan ini dengan senyum mengembang hanya dalam waktu tak lebih dari 2 jam waktu membaca.
Setelah melewati 5 hari dalam ruang perawatan rumah sakit, novel Bersemi di Mentari sangat menghibur tanpa harus terlibat dalam sebuah pemikiran yang ruwet. Berhari-hari melewati masa tanpa membaca, Bersemi di Mentari nyatanya berhasil meletupkan banyak kerinduan saya akan sebuah kisah remaja yang menarik untuk disimak.
Problematikanya disajikan natural dengan diksi sederhana dan plot cerita yang tergiring rapi dari awal hingga akhir, dari Bab 1 hingga Bab 16. Masalah khas usia remaja yang terkadang harus melewati masa-masa sensi, waktu-waktu penuh riak yang butuh sedikit waktu untuk dilewati. Sebuah proses menuju usia dewasa yang nyatanya memang harus dialami.
Nana pun menyajikan karakter Anggi dengan begitu lugasnya. Gak ribet. Sederhana saja.
Bahkan saya sudah bisa menebak 1/3 bagian proses pendewasaan Anggi setelah melewati 2/3 bagian dari buku Bersemi di Mentari. Terutama di saat Anggi harus mengakhiri performance menarinya saat pita kaset pengiring tetiba kusut dan macet lalu ketahuan siapa pelakunya.
Mungkin kemampuan menebak ini diakibatkan karena keseringan nonton drama atau film-film remaja, yang populer dengan tema pergolakan remaja dan sering jadi pembicaraan.
Satu hal lain yang seru untuk dibicarakan adalah masa dimana cerita ini dihadirkan.