Mohon tunggu...
Annie Nugraha
Annie Nugraha Mohon Tunggu... Seniman - Crafter, Blogger, Photography Enthusiast

Seorang istri dan ibu dari 2 orang anak. Menyukai dunia handmade craft khususnya wire jewelry (perhiasan kawat), senang menulis lewat blog www.annienugraha.com dan seorang penggemar photography

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Memahami Anggi Lewat Bersemi di Mentari

10 September 2022   20:05 Diperbarui: 22 September 2022   01:00 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Front Cover Buku Bersemi di Mentari | Foto koleksi pribadi

Berkenalan dengan Anggi

Remaja perempuan kelas 3 SMP yang sering dibecandain seperti burung bangau karena kakinya yang kurus dan tinggi. Anaknya minderan, sering menutup diri dan membatasi pergaulan karena merasa "tidak setara" dengan teman-teman sekolah lainnya yang berasal dari keluarga berada.

Masuk SMP bergengi seperti Mentari pun adalah satu keberuntungan. Ayahnya, Pak Purwono, adalah pegawai Yayasan Karya Mentari yang menaungi sekolah dimana Anggi dan Yogi, kakaknya, menuntut ilmu, Kondisi inilah yang memungkinkan Anggi bersekolah di Mentari dengan harga khusus bahkan nyaris gratis.

Tapi keberuntungan itu ternyata bagi seorang anak remaja yang hidup sederhana seperti Anggi, menjadi kisah dan perjuangan sendiri. Menjadi sederhana di tengah kesenjangan ekonomi, nyatanya menguji Anggi untuk berdamai dengan diri sendiri yang sedang dalam proses mencari jati diri dan punya segerbong mimpi akan hidup nyaman lengkap dengan fasilitasnya.

Anggi harus melewati itu.

Hidup dalam keterbatasan, sesungguhnya Anggi cukup beruntung. Keluarganya hangat dan selalu mendukung. Tak ada yang kurang kecuali motor butut Ayahnya yang sering butuh kasih sayang dan penanganan khusus.

Anggi juga punya teman istimewa. Namanya Melin. Meski anak orang berada nyatanya Melin mau bergaul dengan Anggi tanpa pamrih. Jajan di kantin bareng. Naik mikrolet bareng. Ngobrol juga bebas tanpa batas. Pleasant friendship atmosphere yang bisa ikut kita rasakan saat membaca buku ini dari awal hingga akhir.

Gak cuma Melin. Sebenarnya ada teman sekolah lainnya yang mau bergaul dengan Melin tanpa memandang sisi sosial ekonomi. Seperti Keiko yang cantik dan pandai menari. Andre, cowok idaman yang serba bisa. Dan masih banyak lagi yang mau bergaul dengan Anggi. Seperti yang pernah Ayahnya katakan. Masalah sebenarnya sejatinya ada pada diri Anggi yang menutup diri.

Fase Remaja | Design karya pribadi
Fase Remaja | Design karya pribadi

Klimaks rendah dirinya menggapai titik tertinggi saat di satu ketika Anggi harus melewati perundungan verbal yang ujung-ujungnya menyerang mentalnya. Kena mental begitu istilah kekiniannya.

Anggi yang tadinya mulai bangkit dari keterpurukan mendadak harus terjun bebas kembali ke titik asal. Semangatnya untuk mengikuti rangkaian seleksi sebuah event studi banding ke sebuah sekolah di Sydney pun mulai mengkeret di pojokan. Padahal berbagai persiapan untuk menghadapi proses pemilihan 3 terbaik sudah dilakukan Anggi semaksimal mungkin.

Akankah Anggi mampu mengalahkan dirinya sendiri?

Merubah Diri | Design karya pribadi
Merubah Diri | Design karya pribadi

Menilik Bersemi di Mentari

Bidhari Andana (Nana) berhasil mengajak saya mengakhiri 120-an halaman novel ringan ini dengan senyum mengembang hanya dalam waktu tak lebih dari 2 jam waktu membaca.

Setelah melewati 5 hari dalam ruang perawatan rumah sakit, novel Bersemi di Mentari sangat menghibur tanpa harus terlibat dalam sebuah pemikiran yang ruwet. Berhari-hari melewati masa tanpa membaca, Bersemi di Mentari nyatanya berhasil meletupkan banyak kerinduan saya akan sebuah kisah remaja yang menarik untuk disimak.

Problematikanya disajikan natural dengan diksi sederhana dan plot cerita yang tergiring rapi dari awal hingga akhir, dari Bab 1 hingga Bab 16. Masalah khas usia remaja yang terkadang harus melewati masa-masa sensi, waktu-waktu penuh riak yang butuh sedikit waktu untuk dilewati. Sebuah proses menuju usia dewasa yang nyatanya memang harus dialami.

Nana pun menyajikan karakter Anggi dengan begitu lugasnya. Gak ribet. Sederhana saja.

Bahkan saya sudah bisa menebak 1/3 bagian proses pendewasaan Anggi setelah melewati 2/3 bagian dari buku Bersemi di Mentari. Terutama di saat Anggi harus mengakhiri performance menarinya saat pita kaset pengiring tetiba kusut dan macet lalu ketahuan siapa pelakunya.

Mungkin kemampuan menebak ini diakibatkan karena keseringan nonton drama atau film-film remaja, yang populer dengan tema pergolakan remaja dan sering jadi pembicaraan.

Satu hal lain yang seru untuk dibicarakan adalah masa dimana cerita ini dihadirkan.

Tahun 90an. Back to the nineties. 

Tahun dimana mikrolet masih berjaya. Kopaja masih jadi salah satu transportasi umum yang populer disamping Metro Mini. Mobil Great Corolla yang kala itu masuk dalam kendaraan pribadi yang istimewa.

Apalagi jika digunakan sebagai moda antar jemput pribadi anak-anak orang kaya. Kaset dengan pita putar. Motor Honda CB 100. Dan tentu saja kehadiran boyband asal Amerika yang menguasai trend musik dunia di awal 90an yaitu New Kids On The Block (NKOTB).

Ah mendadak last great memories itu mencuat ke permukaan.

Meski saat semua hal tersebut di atas populer disaat saya sudah dewasa (baca: sudah bekerja) nyatanya kehadiran hal-hal ini mengukukuhkan suasana 90an yang (sangat) ingin dihadirkan oleh Nana. Dan itu manis terurai. Konsep kuat agar pembaca "masuk" dalam imajinasi di tahun yang bersangkutan, cukup terwakilkan lewat "printilan" bukti fisik yang menjadi bagian dari cerita secara keseluruhan.

Bersemi di Mentari | Design karya pribadi
Bersemi di Mentari | Design karya pribadi

Sebuah Legacy Untuk Putri yang Sedang Beranjak Remaja

Buku fiksi yang diterbitkan oleh Stiletto Book pada Juni 2022 ini sudah bikin saya jatuh cinta sejak melihat front cover nya yang sweet, girly dan refreshing. Pradnya Asmita sang cover designer tampaknya berusaha menghadirkan nuansa remaja cerah ceria lewat ilustrasi 2 orang anak remaja yang duduk bareng dan dinaungi oleh rimbunan bunga yang jatuh dengan cantiknya.

Di bagian bawah saya membaca sebuah pesan yang ditulis oleh Anang YB, mentor penulis. Rangkaian kalimatnya sungguh menggelitik "Kalau kamu cari novel yang segar dengan konflik yang khas remaja, ini buku yang pas banget. Ditulis buat kamu yang ingin meraih sukses dengan cara berani tutup kuping atas suara-suara nyinyir di sekitarmu."

Makjleb. Bener banget.

Pikiran saya langsung tertuju pada anak perempuan tercinta yang saat ini, tahun ini, baru menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Nyatanya, Bersemi di Mentari memang pas untuk anak gadis saya dalam menabung pengetahuan tentang proses pendewasaan diri. Setidaknya, meskipun dalam konteks fiksi, bisa jadi cerita di dalam novel ini terjadi dalam wujud nyata di satu sudut belahan dunia. Bisa jadi lewat fiksi yang terurai di Bersemi di Mentari ada belasan bahkan puluhan pendidikan jiwa yang membantu gadis saya ini meniti tangga takdirnya.

Dan menjadi semakin menyentuh hati saat sebuah kalimat singkat sarat makna yang dituliskan oleh Nana ".....persembahan untuk putriku yang beranjak remaja......"

Legacy!!

Sebuah warisan.

Bagi seorang penulis seperti saya, Nana, dan masih banyak lainnya, melahirkan sebuah karya tulis adalah salah satu dari sekian banyak impian dalam rangka meninggalkan warisan bagi anak, cucu dan keturunan-keturunan berikutnya. Tujuannya? Banyak banget.

Salah dua diantaranya adalah sebagai pertinggal, jejak, bahwa kita pernah eksis di dunia. Berikutnya adalah meninggalkan satu dan atau banyak hal yang sekiranya menjadi manfaat bagi siapapun yang membacanya. Sekarang dan nanti.

Jadi jika kembali ke kata legacy, novel Bersemi di Mentari seharusnya bisa menjadi bagian ini. Karena nyatanya konflik yang dihadirkan, premis yang diuraikan dan esensi cerita yang disampaikan, adalah buaian fakta yang bisa saja terjadi di sekitar kita. Rangkulan cerita evergreen yang bisa menjadi penyemangat anak-anak remaja dalam menyelami dan melewati proses metamorphosa menuju dunia dewasa.

Back Cover buku Bersemi di Mentari | Foto koleksi pribadi
Back Cover buku Bersemi di Mentari | Foto koleksi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun