"Tak lelo, lelo, lelo ledung. Cep menenga aja pijer nangis. Anakku sing ayu rupane. Yen nangis ndak ilang ayune."
Pendapat Pribadi Untuk Tabir
Membaca Tabir membawa saya pada satu pemikiran bahwa buku ini telah mengajarkan kita bahwa kematangan mental dan gejolak psikis akan terus hadir dalam kehidupan saat rangkaian teka-teki semasa kecil tak membawa kita pada kebaikan. Â Rahasia dan luka masa lalu, bisa menjadi tabir, dan membuat kita "terkunci" pada jejak kenyataan yang sesungguhnya bukanlah fakta.
Mera mengalami itu.
Hidupnya menjadi tak tenang, berselimut banyak tanda tanya, hingga akhirnya Mera tak sanggup lagi untuk menahan semuanya.
Sebagai seorang pembaca yang menyukai cerita misteri, Tabir, hingga halaman terakhir, membuat saya terpekur pada kenyataan hidup yang menyakitkan. Â Apalagi kemudian rasa sakit itu terlalu lama terpendam bahkan semakin menumpuk sempurna oleh luka-luka masa lampau dan yang muncul kemudian.
Salut untuk Ika Patte yang sudah mengobrak-abrik kesakitan jiwa Mera hingga dia harus bergumul dengan halusinasi tak berujung. Ika Patte begitu sukses mengatur alur cerita hingga konflik yang tadinya kita pikir "hanya itu saja" ternyata lebih complicated dari sekedar seorang pesakitan yang sedang mencari jati diri.
Tak butuh banyak berpikir bahwa Tabir adalah buku misteri. Â Front cover dan back cover buku ini sudah berbicara banyak. Â Mulai dari warna, tulisan, blurb hingga kehadiran sebuah naga meliuk dalam lingkaran yang kemudian kita ketahui adalah gelang Naga Antaboga. Â Sebuah gelang yang menjadi penghubung antara Mera, ibu dan ayah kandungnya.
Buku Tabir, menurut saya, pantas dimiliki oleh siapapun yang mencintai, menyukai buku-buku misteri. Â Dan Ika Patte layak mendapatkan pujian karena kesuksesannya mengolah alur cerita yang berbobot dan intens menampilkan sosok Mera dengan segala keruwetan jalan hidupnya.