Tapi apa dan bagaimana caranya agar mimpi ini bisa terwujud? Anitawati tentu saja tidak bisa bergerak dan melakukannya sendiri. Â Dua tangan dengan satu kepala tentulah tidak cukup kuat untuk mencari, memungut, dan menyatukan banyak serpihan jejak sejarah. Â Bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam hitungan hari. Â Bahkan dalam hitungan bulan. Â Perlu energi, upaya dan tim besar untuk melakukan semua ini.
Namun jika tidak segera dimulai, siapa yang akan melakukannya? Â Jika bukan oleh putera/puteri daerah, adakah orang lain yang bersedia mewujudkan mimpinya?
Rangkaian pertanyaan ini pun akhirnya bermuara. Â Semesta mengijinkan perempuan gigih ini bertemu dan menata bekerjasama dengan beberapa peneliti dari Universitas Indonesia dan Rumah Cinwa. Â Anitawati, menjejak satu demi satu langkah lama yang terjadi dan terkubur sejak puluhan tahun yang lalu. Â Â
Barisan peneliti dengan kualifikasi terbaik pun dibentuk dan dipimpin oleh 3 srikandi yaitu Dr. Ade Solihat, S.S, M.A, Dwi Woro Retno Mastuti, M. Hum dan Dr. Ari Anggari Harapan, M.Hum.Â
Pencarian sekian banyak data sahih pun digali, dikumpulkan dan disiapkan serta disusun menjadi sebuah buku yang setara dengan sebuah penelitian ilmiah. Â Tumpukan bukti disajikan dengan tujuan mengangkat kembali rangkaian jejak sejarah dan didukung oleh presentasi bukti yang dapat dijamin keabsahannya.
Dari sinilah kemudian cikal bakal pemantaban revitalisasi kain tenun Tidore terpatri.
Ini juga membuktikan bahwa rangkaian kegiatan demi "melahirkan kembali" tenun Tidore sungguh bukan main-main. Â Termasuk diantaranya merangkai sekian banyak fakta sejarah yang membuat seluruh tim semakin bersemangat untuk menghadirkan kembali kain tenun, wastra milik Tidore, yang kemudian diberi nama sebagai Puta Dino.Â
Puta berarti kain. Â Sementara Dino berarti jahit/susun. Â Jadi jika kedua kata itu digabungkan maka Puta Dino berarti jahitan/susunan kain, dalam bahasa daerah Tidore.
Untuk masyarakat Tidore sendiri, kisah pencarian jejak Puta Dino mengalami proses dan usaha yang tidaklah sedikit. Â Catatan awal yang terangkat adalah bahwa busana adat non-tenun terbagi berdasarkan atas strata/kedudukan dari seseorang. Â
Berbagai jenis pakaian yang dikenakan pada masa lampau lebih banyak bersumber dari perdagangan dengan berbagai negara. Â Jenisnya pun beragam. Â Mulai dari sutra, katun, dan bahan-bahan lain yang biasa digunakan untuk membuat pakaian. Â
Bahkan tercatat bahwa materi pakaian kala itu banyak diambil dari batik-batik Jawa atau kain jenis lain yang dikirim atau diperdagangkan di Tidore. Â Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa pada masa itu, tenun tidaklah menjadi satu produk yang dominan dikenakan atau diperkenalkan dalam kegiatan sehari-hari.