Buku ini sampai di rumah tepat 2 hari sebelum saya opname karena DBD. Bungkusnya belum sama sekali dibuka saat saya harus dilarikan ke UGD. Hingga akhirnya menjadi hiburan berkualitas selama terpaksa "dipenjara" dalam sebuah ruangan 20m2 di RS Siloam Lippo Cikarang.
Meski harus dipegang dengan susah payah karena tangan kiri terhubung dengan infus cabang 3, isinya yang sangat menarik membuat saya tak mampu berhenti membaca hingga tuntas hanya dalam 3 jam saja.
Itupun diselingi oleh kunjungan perawat yang bolak-balik mengukur tensi, suhu tubuh, serta menyuntik/memberikan obat bahkan mengambil darah untuk kepentingan mengontrol trombosit dan gula darah. Dan tentu saja ditambah dengan kondisi kepala oleng karena lemas oleh tensi yang cenderung rendah.
Tapi Jerome Polin Sijabat (Jerome), meskipun baru penulis pemula, berhasil menggiring saya untuk menikmati setiap lembar buku ini dengan rasa sukacita.
Selain terurai dengan untaian kalimat yang mudah dicerna serta (sangat) komunikatif, buku Mantappu Jiwa dilengkapi dengan rancang visual yang atraktif dan menarik hati.
Ada berbagai rumus matematika, karikatur lucu, potongan-potongan quote bermakna ala Jerome (#rumusjerome), lembaran berwarna yang mencerahkan mata, yang kesemuanya sangat menghibur dan begitu menyenangkan untuk bahkan sekedar dilihat.
Saya harus bilang terimakasih banyak nih untuk Jerome. Karena buku ini bukan hanya menghibur hati yang sedang gundah tapi juga memberikan sentilan semangat selama menikmati sakit dengan penuh keterbatasan gerak, hiburan, bahkan seseorang untuk diajak bicara.Â
Sekedar info, saat saya dirawat adalah masa-masa dimana virus Covid-19 masih beredar dengan dahsyatnya di bumi pertiwi.Â
Satu hal krusial yang menyebabkan pasien tidak diperkenankan menerima tamu dan harus dijaga oleh orang yang sama (tidak boleh berganti-ganti) dan hanya diperkenankan berada di kamar tidak lebih dari 5jam setiap harinya.
Jadi bisa terbayangkan betapa sepi dan sunyinya masa-masa yang harus saya lewati meski berada di sebuah kamar VIP yang sarat fasilitas.
Pembagian Cerita di Dalam Buku
Berisi 224 halaman, buku yang hadir dengan judul lengkap BUKU LATIHAN SOAL, MANTAPPU JIWA (Mantappu Jiwa), sudah bikin saya tersenyum-senyum dengan hanya membaca judulnya.
Seperti yang sudah saya tulis di atas, buku perdana Jerome ini hadir dengan konsep cerah ceria dengan berbagai sentuhan tambahan berbagai lembar yang eye-catchy dan yang kesemuanya terhubung dengan pelajaran matematika.
Satu mata pelajaran yang menjadi favorit Jerome tapi adalah momok terhebat saya selama jadi murid. Untuk mapel yang satu ini hanya cukup nilai 6 sepanjang masa (halah).
Hadir tanpa Daftar Isi, setelah selesai saya baca, buku Mantappu Jiwa terbagi atas 3 episode cerita. Yang pertama adalah masa-masa perjuangan mendapatkan beasiswa.
Kedua adalah saat-saat sudah berada di Jepang dan bergumul dengan semua ujian masuk universitas. Sementara yang ketiga adalah edisi khusus berupa cerita singkat tentang hadirnya channel Youtube Nihongo Mantappu yang pertama kali rilis pada 23 Desember 2017. Setiap episode hadir dengan begitu lugas dan kaya akan makna. Ditulis dengan diksi memikat gaya anak muda kelahiran 1998.
Rangkaian Perjuangan Sebelum Berangkat ke Jepang
Beranilah bermimpi karena melalui mimpi kita memiliki asa untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik (Annie Nugraha)
Rangkaian kalimat di atas sepertinya pas banget untuk mewakili apa yang ditulis oleh Jerome tentang mimpinya untuk bersekolah di luar negeri.Â
Lahir pada 2 Mei 1998, saat Indonesia sedang mengalami krisis, dari seorang Ayah pendeta dan seorang ibu rumah tangga biasa, nyatanya Jerome tak menyerah dengan keterbatasan yang dimilikinya. Terutama untuk masalah finansial.
Hal terakhir ini nyatanya sangat membantu Jerome dalam mengejar beasiswa. Karena dengan rajin mengikuti lomba, skill menghadapi dan memecahkan soal ujian seleksi jadi semakin terlatih.
Practise makes perfect and experiences will lead you better.
Bukan itu saja. Mental pejuang pun bisa didapatkan dari lomba ini. Itupun tak langsung berhasil jadi juara. Semua berproses dengan segala cerita kekecewaan atau kekalahan.
Hingga akhirnya usaha tersebut membuahkan hasil. Jerome jadi juara 3 pada olimpiade matematika tingkat nasional yang diadakan oleh Universitas Brawijaya, Malang.Â
Kemenangan pertama yang membawa langkah-langkahnya lebih mantab untuk mempersiapkan diri menghadapi berbagai macam ujian untuk meraih beasiswa. Intinya gila belajar kapanpun dan dimanapun.
Setelah sempat gagal mendapatkan apa yang diinginkan di 2 universitas bergengsi di Singapura, Jerome, anak lelaki ke-2 dari 3 bersaudara itu, mendapatkan kesempatan emasnya saat mengikuti Mitsui Busan Scholarship for Indonesian Student dari Mitsui & Co (sebuah perusahaan raksasa milik Jepang). Satu kesempatan yang sangat kompetitif karena hanya meloloskan atau memberikan beasiswa untuk 2 orang saja dari sekian banyak pelamar.
Belajar dari kegagalan, Jerome pun lebih mempersiapkan dirinya untuk mengikuti seleksi dokumen yang kemudian dilanjutkan dengan tes matematika dan bahasa Inggris.
Dari tes 2 mapel ini dipilih 22 orang dari ratusan pelamar. Kemudian dilanjutkan dengan tes tulis psikologi, diskusi kelompok, wawancara singkat dan tes kesehatan yang mengerucutkan semua candidate menjadi 14-15 orang. Yang terakhir adalah wawancara per orang sebagai tahap final terpilihnya 2 orang.
Ada 1 fase tulisan yang sungguh mencuri perhatian saya dari serangkaian proses di atas. Pada saat wawancara terakhir Jerome yang ditanya soal pilihannya pada Matematika Terapan mengungkapkan cita-cita dan mimpinya untuk menjadi Menteri Pendidikan Indonesia.
Alasannya sungguh inspiratif.Â
"Karena guru PKn saya saat SMA mengatakan bahwa kunci dari kemajuan suatu negara adalah pembangunan. Kunci dari pembangunan adalah pendidikan. Jadi jika tidak ada pendidikan yang baik, maka tidak ada pembangunan dan tidak ada kemajuan negara. Maka itu saya ingin menjadi menteri pendidikan untuk bisa memajukan Indonesia"
Saya rasa inilah jawaban kunci yang menguatkan terpilihnya Jerome sebagai salah seorang penerima beasiswa dari Mitsui.
Jadi ketika 3 hari berikutnya kabar lulusnya Jerome menerima full scholarship dari Mitsui, saya, pembaca yang ikut berdebar-debar jadi terlonjak bahagia, seperti kedua orangtua Jerome.Â
Jawaban diplomatis sarat motivasi seperti ini kayaknya patut dijadikan inspirasi bagi anak-anak yang sedang memburu beasiswa. Tentu saja diikuti oleh persiapan matang atas semua mapel yang akan diuji dalam tes tertulis.
Perjuangan Selama di Jepang Hingga Diterima di Waseda University
Dijemput oleh pihak Mitsui Jepang, Jerome dan Imam (scholarship awardee yang lain), memulai sejarah baru dalam hidup mereka. Tinggal di asrama dan belajar di Tokyo Japanese Language Education Centre selama kurang lebih 1.5 tahun, Jerome harus berjibaku kembali dengan perjuangan penuh tantangan sebelum akhirnya diterima oleh universitas pilihannya.
Jadi ceritanya sebelum masuk ke perguruan tinggi, setiap calon mahasiswa asing (non warga negara Jepang) wajib mengikuti salah satu tahap ujian yang dikenal dengan nama EJU. The Examination for Japanese University Admission for International Student yang meliputi Bahasa Jepang, Bahasa Inggris, Kimia, Fisika dan Matematika. Semua mapel disajikan dalam bahasa Jepang tentunya.
Oia sebelum berangkat, Jerome dan Imam sempat mengikuti kursus bahasa Jepang selama kira-kira 1 bulan yang dibimbing oleh 2 orang Japanese Sensi (native speaker). Tentu saja tujuannya adalah agar mereka mudah beradaptasi dan bersosialisasi saat sudah berada di Jepang dan dapat mengikuti EJU dengan lebih maksimal.
Angka yang diraih melalui EJU akan mempengaruhi universitas mana yang akan menampung atau menerima calon mahasiswa yang datang dari negara lain.
Semakin tinggi nilai EJU maka akan semakin tinggi kualifikasi atau level dari universitas yang dituju. Berdasarkan urutannya ada 4 perguruan tinggi yang menjadi pilihan. Tokyo University, Tokyo Institute of Technology, KEIO University, WASEDA University dan HOKKAIDO University.Â
Kesemuanya hanya menampung sedikit mahasiswa internasional dengan rate angka hasil ujian yang sangat tinggi dan ketat. Itupun harus bersaing dengan anak-anak lain yang berasal dari negara Asia lain seperti China, Taiwan dan Korea.
Yang menurut penuturan Jerome, mereka ini memiliki kemampuan berbahasa Jepang lebih mumpuni dengan jumlah peminat yang jauh lebih banyak.
Kebayang ya gimana level persaingan dan tekanan psikologis yang harus dihadapi dan dialami. Sebagai seorang yang lahir dari bukan bahasa Jepang sebagai bahasa Ibu dan tahu persis sulitnya mempelajari dan memahami huruf-huruf Jepang (Katakana, Hiragana dan Kanji), proses belajarpun tentunya bukan hal yang remeh temeh.Â
Terutama Kanji yang sulitnya nauzubillah. 1 huruf tunggal bisa mewakili 1 ungkapan atau perbendaharaan kata dengan arti yang cukup panjang.
Saya sampai bertanya-tanya. Seandainya nilai EJU tidak seperti yang diharapkan, dalam artian tidak menembus ke-empat universitas ini, bagaimana tindak lanjut dari pemberi beasiswa kepada para awardee ya? Satu hal yang tidak dijelaskan di bukunya Jerome.
Menyadari hal ini, Jerome pun memprioritaskan waktu belajar ketimbang sebelum-sebelumnya. Gigih belajar bukan hanya di Tokyo Japanese Language Education Centre saja tapi juga membabat habis waktu-waktu bersenang-senang, bersosialisasi dan bermedia sosial.
Setidaknya lolos persyaratan administrasi dan minimum angka yang dibutuhkan oleh universitas tujuan, sebelum akhirnya tetap harus ikut ujian tertulis kembali yang diadakan oleh universitas yang dimaksud. Jadi ujian tertulisnya 2 kali lipat loh. Satu sebagai syarat administrasi. Kedua untuk persyaratan penerimaan.
Dan itu super sulit. Bisa dibayangkanlah ya. Jangankan soal dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa sendiri pun mapel bidang ilmu eksakta itu luar binasa maboknya. Apa karena saya anak ilmu sosial ya? Tapi gak juga sih.Â
Orang sepintar Jerome aja selalu menulis kata "sulit atau susah" untuk setiap ujian kimia, fisika, dan matematika yang harus dia hadapi. Entahlah. Membayangkannya aja saya gak sanggup (haaalaah).
Singkat cerita, berkat kegigihan yang tanpa henti, Jerome pun lolos aplikasi administrasi (berkas) untuk melamar ke Waseda University (Waseda) dengan total nilai EJU 197/200. Top banget dah.Â
Lanjut dengan ujian yang diadakan Waseda, Jerome pun kembali mengikuti ujian tertulis kimia, fisika, matematika dan ditutup dengan seleksi wawancara plus menulis Essay tentang mengapa dia ingin masuk Waseda.
Karena memiliki pengalaman interview saat proses aplikasi beasiswa di Jakarta lalu, Jerome pun menutup sesi wawancara dengan hasil yang mengagumkan. Impian menjadi Menteri Pendidikan pun jadi andalan.
Diperkuat lagi dengan tekad ingin melahirkan SDM berkualitas melalui semua yang dia dapatkan dari belajar di Jepang. Tentu saja diikuti dengan sebuah janji bahwa kedepannya Jerome ingin memperkuat hubungan kerjasama dalam bidang pendidikan yang sudah terbangun dengan sangat baik antara Indonesia dan Jepang.
Lagi-lagi, menurut saya, presentasi mimpi inilah yang akhirnya melahirkan keputusan Waseda untuk menerima Jerome sebagai mahasiswa di jurusan Matematika Terapan.
Aaahh sungguh saat menginspirasi. Hebat kamu Jerome.
Lewat buku ini pula Jerome bercerita tentang 2 prestasi yang dia raih selama tahun-tahun awal berada di Jepang. Kalau tidak salah terjadi sebelum aktif kuliah di Waseda.
Pertama adalah menjadi juara dan meraih sertifikat Yuushuu (luar biasa) dalam lomba pidato bahasa Jepang.
Mengulik tema "Hal Kecil Itu Penting", lewat lomba yang diadakan oleh Tokyo Suginami Rotary Club ini, Jerome berhasil mendapatkan hadiah berupa jam tangan, voucher untuk membeli buku, uang dan tentu saja sertifikat tadi.
Kedua adalah berhasil mengantongi sertifikat N1. Tes bahasa Jepang untuk orang asing dengan level tertinggi setelah N5, N4, N3 dan N2. Nilainya pun di atas rata-rata. 180 dari minimum 100 yang harus dikantongi.
Materi tesnya sendiri meliputi reading, listening, grammar dan vocabulary. Kerennya lagi, Jerome mendapatkan sertifikat N1 ini hanya dalam 6 bulan periode belajar bahasa Jepang. Sementara orang lain baru bisa meraihnya setelah 3 tahun belajar. Gilak. Encer banget ya otaknya.
Lahirnya YouTube Channel NIHONGO MANTAPPU
Youtube Channel inilah yang pertama kali mengenalkan saya pada sosok Jerome. Adalah suatu hari, Fiona, putri saya, memperlihatkan sebuah video dimana Jerome sedang mengajak ke-3 teman Jepangnya (Yusuke, Otsuka dan Tomo) untuk menikmati masakan Padang saat mereka berada di Surabaya, kota dimana keluarga Jerome berada.
Videonya sungguh seru dengan percakapan dalam bahasa Jepang dan keseruan menikmati kuliner khas Indonesia yang cenderung oily dan pedas untuk standard orang Jepang.
Dari sini saya hampir tidak pernah absen menonton video-video yang dilahirkan oleh Jerome yang kemudian mentasbihkan diri sebagai Waseda Boys bersama Yusuke, Otsuka dan Tomo.
Menyempatkan diri menulis tentang lahirnya Nihongo Mantappu di buku ini, kita bisa membaca uraian sarat pengalaman Jerome dalam membidani munculnya YouTube channel yang membawanya begitu populer hingga saat ini.
Channel ini awalnya lahir dari kerjasama Jerome dan Kevin. Saat dimana Jerome merasakan ada waktu luang sebelum aktif kuliah di Waseda dan sebagai sarana menyalurkan hobinya di bidang sosial.
Mereka meluncurkan video pertama pada 23 Desember 2017. Opening speech MINNASAN - KONNIJWA dan closing speech MANTAPPU JIWA pun mulai dikenal oleh publik. Tapi sayang kerjasama mereka sempat terhenti saat akhirnya Kevin menyatakan diri keluar pada pertengahan 2018.
Takdirlah yang ahirnya mempertemukan Jerome dengan Yamashita Tomohiro (Tomo). Seorang teman di kampus yang sama dan dia kenal saat mengikuti pelajaran bahasa Inggris.
Tomo, menurut Jerome, memiliki kepribadian yang sangat berbeda dengan orang-orang Jepang lainnya. Pengalaman pernah tinggal di Amerika dan Kanada selama 5 tahun menjadikan Tomo orang yang lebih terbuka, lebih aktif dan talkative plus tentu saja fasih dalam bahasa Inggris.
Karakter yang jarang dimiliki oleh orang Jepang kebanyakan. Mereka berdua membuat vlog pertama bersama yang berjudul Waseda University Campus Tour. Persahabatan mereka akhirnya semakin kuat dengan hadirnya Yusuke dan Otsuka. Teman baik yang mereka kenal dari kelas bahasa Mandarin.
Beranjak dari visi misi ingin menghadirkan video yang menyampaikan pelajaran bahasa Jepang bagi publik, Jerome akhirnya menambahkan pengetahuan tentang kehidupan di Jepang, motivasi dan opini terhadap suatu fenomena atau permasalahan yang sedang terjadi, di dalam konten YouTube Nihongo Mantappu.
Tapi selain hal-hal yang disebutkan terdahulu, Jerome juga sering berkolaborasi dengan teman-teman yang lain yang tinggal di Jepang dan berasal dari berbagai negara.
Pernah juga diundang secara khusus oleh Raffi Ahmad saat sedang berkunjung ke Tokyo dan berkolaborasi dengan berbagai youtuber dan vlogger ternama dari Indonesia.
Bahkan seiring dengan menaiknya jumlah subscriber, Jerome menerima kerjasama promosi dengan berbagai perusahaan asal Indonesia (seperti Tokopedia, Roma Biskuit, Cimory dan lain-lain).
Dari kesemuanya, kalau saya tidak salah hitung, vlog bersama dengan Waseda Boys lah yang paling dominan. Selain acara makan-makan (baik di resto maupun di rumah), wisata ke berbagai destinasi menarik di Jepang, kegiatan-kegiatan konyol seperti mukbang plus game seru dan lucu, percakapan dan diskusi mengenai banyak hal, vlog bersama Waseda Boys lah yang menurut saya paling seru.
Kerjasama asyik mereka sebagai satu kesatuan Waseda Boys lah yang akhirnya menyadarkan Jerome tentang betapa penting dan berharganya sebuah team work.
Jerome yang dahulunya selalu mengedepankan ego dengan pembuktian bahwa kesuksesan dapat diraih dengan perjuangan sendiri, menjadi (lebih) melunak dengan hadirnya para sahabat ini, dan memahami bahwa bekerja dalam sebuah teamwork akan mendapat lompatan kesuksesan yang lebih bernilai dan tinggi. Apalagi dalam proses perkembangan awalnya, Jerome dibantu oleh banyak pihak untuk mempromosikan channel YouTubenya.
The truth is that teamwork is as the heart of great achievement (John C. Maxwell)
Saya, Jerome dan Mantappu Jiwa
Sekali lagi saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Jerome, seorang pelajar Indonesia di Jepang yang sedang berjuang mewujudkan mimpi-mimpinya.
Lewat buku ini, meskipun Jerome seumuran dengan anak sulung saya, saya memahami lebih banyak lagi tentang arti sebuah kegigihan. Saya pun bisa membayangkan betapa bangganya orang tua Jerome mendapati anak lelakinya, di usia awal 20an, sudah begitu matang dalam menentukan jalan hidupnya.
Apalagi ditambah dengan pencapaian channel Nihongo Mantappu yang sudah mencapai 6 juta-an subscriber hingga saat saya menulis artikel ini. Keberhasilan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebuah popularitas tak main-main diimbangi dengan kemapanan finansial.
Menelusuri buku ini kembali saat sudah keluar dari rumah sakit, saya tak henti mesem-mesem tertawa saat melihat karikatur lucu dan berbagai rumus matematika yang njlimet setengah mampus itu.
Bahkan saking cintanya Jerome pada dunia matematika, dia tak rela kalau para pembaca bisa lolos dari mapel pengencer otak itu. Di bagian akhir buku, lelaki bermarga Sijabat ini, menuliskan 10 soal matematika untuk dikerjakan. Saya sih boro-boro bisa menjawabnya, membaca soalnya pun gak mengerti.
Sukses terus untuk Jerome. Tetap kreatif dan gigih menimba ilmu sebanyak mungkin di negeri orang. Tabunglah banyak kebaikan dan pelajaran hidup sepanjang jalan. Jadilah generasi penerus bangsa yang menginspirasi.
Dan semoga cita-citanya untuk menjadi Menteri Pendidikan Indonesia bisa tercapai. BTW, titip salam untuk Tomo ya. Suka banget kalo Jerome sudah kolaborasi dalam vlog dengan Tomo dan aktif menggunakan bahasa Inggris sebagai media komunikasi utama.
Cikarang, 28 April 2021, Annie Nugraha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H