UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
 NAMA: ANNIDA AQIILAH
NIM: 23010400122
DOSEN: DR. NANI NURANIS.SOS, M.SI
Ilmu pengetahuan merupakan sebuah dasar bagi manusia untuk melihat segala fenomena yang terjadi di dunia. Semiawan di dalam bukunya yang berjudul Panorama Filsafat Ilmu menjelaskan mengenai perkembangan Ilmu pengetahuan.Â
Pada masa Yunani Kuno, ilmu sangat melekat dengan filsafat dan tidak ada pembuktian yang jelas mengenai hal tersebut, bagaimana ilmu pengetahuan tersebut sangat didasari oleh sistem filsafat yang dianut. Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan pun mulai didasari oleh sebuah sistem penalaran yang sistematik, sebuah fakta dapat dibenarkan atas dasar bukti yang dikaji secara empiris.Â
Perkembangan metode ilmiah dan penalaran ini menyebabkan ilmu pengetahuan tersebut bebas dari filsafat. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya, filsafat sendiri itulah merupakan sebuah dasar dari ilmu pengetahuan. Secara harfiah kata 'Filsafat' itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang terdiri dari philos yang berarti cinta, dan sophos yang memiliki beberapa arti, yakni kebijaksanaan, intelegensi, keterampilan, pengetahuan dan pengalaman.Â
Jika dilihat dari definisi secara harfiah ini, filsafat merupakan cinta akan sebuah kebijaksanaan akan pengetahuan. Pada dasarnya, ketika seorang manusia mulai berpikir mengenai suatu hal, disitulah sebenarnya mereka sedang berfilsafat, dari hal inilah kita bisa berasumsi bahwa sebenarnya filsafat mempertanyakan apa yang seharusnyaÂ
menjadi aspek yang paling mendasar dalam sebuah hal. Melihat dari pernyataan ini, dapat diketahui sebenanrnya kebebasan berpikir merupakan dasar dari manusia berfilsafat, rasa ingin tahu manusia akan suatu hal membuat manusia memiliki hasrat bebas berfikir Argumen Kantian menyatakan bahwa kebebasan ilmu pengetahuan bersumber pada kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar dan merefleksikandirinya dan dunianya secara kritis. Keingintahuan manusia merupakan kekhasan era pencerahan. Kebenaran dalam filsafat merupakan keingintahuan manusia untuk menetukan dirinya sendiri (Mufid, 2009:242). Pada dasarnya, manusia memiliki kebebasan dalam bertidak, berfikir sesuai dengan kemauannya sendiri.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa filsafat berkaitan dengan ilmu pengetahuan, salah satuya yakni ilmu komunikasi. Filsafat dalam ilmu komunikasi mengkaji hal yang paling mendasar , mulai dari teori, hingga ke berbagai aspek yang lebih kompleks. Terdapat beberapa landasan di dalam filsafat komunikasi, Pertama yaitu ontologi, yang merupakan hakikat dari ilmu komunikasi itu sendiri. Pada aspek ini, komunikasi dilihat dari hal yang paling mendasar, bagaimana ilmu komunikasi tersebut dilhat sebagai objek, Kedua, yaitu episitemologi. Aspek epistemologi merupakan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan diperoleh.Â
Pada hal ini, realitas dilihat sebagai aspek mengapa dan bagaimana realitas atau fakta itu benar dan terbukti. Kemudian, ketiga adalah aksiologi, yang merupakan nilai serta manfaat dari ilmu pengetahuan itu sendiri, Lanigan, di dalam Mufid (2009:88) menyatakan bahwa apabila dikaitkan dengan filsafat komunikasi, aksiologi adalah studi mengenai etika dan estetika, sehingga dapat dikatakan bahwa aksiologi merupakan kajian tentang nilai manusiawi dan bagaimana merefleksikannya.Â
Asumsi-asumsi mendasar di dalam aspek filsafat komunikasi seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi dapat kita jadikan landasan dalam mengkaji fenomena-fenomena terkait dengan ilmu komunikasi. Pada makalah ini, penulis akan membahas mengenai pemberitaan media terhadap kasus kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto. Seperti yang telah diketahui, Dwi Hartanto merupakan seorang pelajar asal Indonesia yang memperoleh beasiswa Depkominfo untuk melakukan studi doktoral di Belanda. Dwi memiliki segudang prestasi yang membanggakan, salah satunya yaitu keberhasilannya dalam meluncurkan Satellite LaunchÂ
Vehicle (SLV) pada Juni 2015, bahkan ia sempat dijuluki sebagai The next BJ Habibie. Pemberitaan mengenai sosok Dwi Hartanto sudah menyebar luas sejak tahun 2015. Dimulai dari situs detik.com tanggal 15 Juli 2015, dengan judul " Dari Belanda, Putra Indonesia Sukses Ciptakan Wahana Mutakhir." Artikel ini kemudian dilanjutkan dengan pemberitaan-pemberitaan tentang hal positif tentang dirinya seperti di tempo.co, okezone, republika.co.id dan media online lainnya. Bahkan, metro tv melalui tayangan mata najwa sempat membuat episode berisi wawancara khusus mengenai dirinya pada episode yang tayang pada tanggal 14 November 2016. Namun, pemberitaan mengejutkan dari Dwi Hartanto muncul belakangan ini. Ia menuliskan pembelaan mengenai dirinya dalam bentuk surat yang berisi klarifikasi yang ia muat di dalam ppidelft.net. Ia meminta maaf atas informasi yang tidak benar mengenai dirinya yang selama ini diberitakan di media. Ia mengeluarkan pernyataan dengan memberikan argumen bahwa media telah membesar-besarkan berita mengenai dirinya. Jika kita meninjau lebih dalam lagi mengenai kasus ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya kasus mengenai pemberitaan yang salah atas Dwi ini merupakan bukti dari bagaimana media saat ini perlu dipertanyakan secara langsung, apakah sesungguhnya berita yang telah disampaikan melalui media telah memenuhi etika dari media itu sendiri.
Untuk memahami lebih lanjut lagi mengenai permasalahan ini, secara ontologis, kita bisa mempertanyakan bagaimana hakikat media itu sendiri bagi masyarakat, bahwa sesungguhnya media seharusnya dapat menyampaikan segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada, namun, dengan adanya kasus ini, hakikat fungsi media bagi masyarakat kembali dipertanyakan. Pemberitaan tanpa adanya verifikasi disini pada dasarnya telah menyalahi aturan yang sebenarnya. Etis atau tidaknya media disini dalam menyampaikan sebuah berita, kita bisa melihat bahwa adanya pergeseran nilai di dalam kasus ini, media seolah tidak berada pada koridornya sebagai penyampai informasi.
(Sumber: Mufid, M. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenadamedia)
- Pembahasan
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, etika merupakan aspek aksiologis yang akan dikaji dari aspek filsafat. Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani, yakni "ethos" yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, dan cara berpikir. Sedangkan dalam bentuk jamak, disebut ta etha atau adat kebiasaan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa etika membahas mengenai apa yang harus dilakukan dan kebiasaan. Etika seringkali disebut filsafat moral, sebab merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalm hubungan mereka dengan tujuan hidupnya. Etika memiliki tiga pengertian pokok, yakni ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral, kumpulan nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah. Komunikasi merupakan kegiatan yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Ilmu komunikasi itu sendiri merupakan ilmu yang berhubungan dengan aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Sebagai aspek tersebut, komunikasi sendiri tidak lepas dari bentuk penilaian, baik dari segi komunikator atau komunikan. Terkait dengan kasus yang akan dibahas, pada penulisan ini, pembahasan berfokus kepada bagaimana etika di dalam dunia pers.
Jika kita melihat kasus pemberitaan Dwi Hartanto ini, kita bisa menilai bahwa media di Indonesia sebenarnya mengalami pergeseran dari sisi nilai yang dimiliki oleh media sebagai bentuk komunikasi massa. Charles Wright (1986) mengemukakan beberapa fungsi dari komunikasi massa, salah satunya yakni sosialisasi, yakni media massa seharusnya dapat berfungsi sebagai pendidik,dimana pengetahuan, nilai dan norma yang sudah ada dari satu generasi ke generasi lain. Kemunculan sosok Dwi Hartanto di media sebenarnya merupakan bentuk usaha yang diberikan oleh media massa untuk meberikan semacam motivasi kepada generasi muda di Indonesia, dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia itu sendiri, akan tetapi sejak kemunculan pernyataan klarifikasi dari pihak Dwi Hartanto, media terkesan memberikan sebuah berita yang dipertanyakan keabsahannya.
Jika kita melihat kembali poin-poin di atas, kasus ini sebenarnya mempertanyakan kembali konsistensi media massa dalam menjalankan perannya sebagai penyalur yang menyampaikan berita yang sesuai dengan realita. Seorang jurnalis memang memiliki kebebasan dalam menyampaikan sebuah informasi, akan tetapi, kebebasan tersebut haruslah dibatasi dengan code of conduct yang dimiliki. Kasus ini sebenarnya memberikan kesan bahwa rendahnya verifikasi yang dilakukan. Bill Kovach dan Tom Rosentiel di dalam bukunya yang berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme menjelaskan bahwa verifikasi adalah sebuah elemen penting dalam
jurnalisme. Kovach dan Rosentiel (2006:102) menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya jurnalis dalam mendekati sumber berita yang akan diberitakan. Pada dasarnya, pengecekan mengenai Dwi Hartanto ini bukanlah sulit untuk dilakukan karena sebenarnya fakta yang tidak sesuai tersebut merupakan hal-hal yang mencakup data pribadi dari Dwi Hartanto sendiri. Setelah munculnya klarifikasi atas kebohongan tersebut, berita yang dihasilkan seolah terkesan memiliki unsur kebenaran yang berspekulasi, dimana kebenaran kurang dipikirkan secara matang, dan dikerjakan dengan penuh resiko dan cenderung cepat. Pada dasarnya, kebenaran dalam berita merupakan aspek yang fundamental. Seperti yang telah dijelaskan bahwa sebenarnya di dalam dunia jurnalistik itu sendiri, terdapat stardar dalam melaporkan sebuah kebenaran dalam berita. Pasca klarifikasi yang dilakukan oleh Dwi Hartanto, media kemudian berlomba-lomba kembali untuk memojokkan sosok Dwi Hartanto, dengan memberikan judul berita yang tidak kalah sensasional. Media pun memberitakan Dwi Hartanto mengidap gangguan kejiawaan. Dari hal ini sebenarnya validitas dari berita pun dipertanyakan. Informasi yang diberitakan cenderung mengarah ke orientasi keuntungan, dimana khalayak lebih menyukai berita yang sensasional. Akan tetapi jika makna kebenarannya berdampak pada pergeseran nilai pada fungsi media itu sendiri, posisi tanggung jawab dari media perlu dipertanyakan.
Setelah memasuki era reformasi, media dijadikan sebagai salah satu pilar demokrasi. Kebebasan pers pun telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 pasal 2, yang menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, serta Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa[1]. Jika berlandaskan pada undang-undang ini, kita dapat berasumsi bahwa pers berperan sebagai perwakilan suara rakyat, oleh sebab itu pers diberikan kebebasan dalam melaksanakan amanat rakyat. Apabila kita mengacu pada undang-undang tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa media seharusnya bisa memberikan berita yang dapat memberikan nilai moral pada masyarakat.
Kebebasan yang diberikan kepada media membuat media itu sendiri luas mencari informasi sebanyak mungkin, ditambah lagi dengan teknologi yang semakin berkembang yang membuat kecenderungan masyarakat akan membaca media online. Berita yang disebarkan secara online memiliki kecenderungan untuk sebisa mungkin disampaikan secara cepat, sehingga munculah beberapa berita. Mufid (2009:240) menyatakan terdapat beberapa aspek dari media massa sehingga dapat menampilkan karya yang media anggap hal tersebut adalah hal yang strategis. Pertama, adanya sebuah jangkauan yang luas dalam menyebarkan informasi yang mampu melewati batas wilayah, kelompok umur dan jenis kelamin, status sosial, serta perbedaan paham dan orientasi atau psikografis, sehingga hal yang akan disampaikan melalui media menjadi perhatian luas bagi masyarakat di berbagai wilayah dan kalangan. Kedua, media memiliki kemampuan untuk melipatgandakan pesan. Sebuah berita dapat dilipatgandakan beritanya, serta dapat diulang penyiarannya. Pelipat gandaan pesan ini memiliki dampak yang sangat besar bagi khalayak, oleh sebab itu pemberitaan yang disebarkan kepada khalayak harusnya bersifat positif. Keempat, yakni adanya konsep agenda setting. Jika kita kaitkan kasus pemberitaan Dwi Hartanto dengan keempat poin di atas, bisa dikatakan bahwa isu ini adalah isu yang strategis untuk diberitakan. Hal pertama, yakni kehadiran sosok Dwi Hartanto dianggap sebagai kebanggaan rakyat Indonesia, sehingga sesungguhnya media awalnya bermaksud baik untuk menghadirkan pemberitaan Dwi sebagai bentuk inspirasi bagi generasi muda di Indonesia. Kemudian, karena berita ini terus disebarluaskan, dari satu media ke media lain, akhirnya berita ini dijadikan sebagai topik yang disukai oleh masyarakat, dampak dari pelipatgandaan ini mengakibatkan berita yang disampaikan telah ditambahi bumbu-bumbu yang berlebihan karena masing-masing dari perusahaan media tersebut berlomba-lomba untuk mendapatkan berita yang berbeda dan sensasional demi mendapatkan rating yang baik. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, bahwa sebenarnya kasus ini mulai mereba di pertengahan tahun 2015, dan mulai redup di akhir tahun 2015, isu ini merupakan kasus yang disukai oleh khalayak, sehingga dapat dilihat kecenderungan pemberitaan mengenai Dwi, kemudian akhir-akhir ini, berita klarifikasi Dwi Hartanto muncul di media dan mulai redup dengan adanya pemberitaan mengenai pelantikan Gubernur DKI Jakarta, serta pernyataan-pernyataannya.Â
Jika dilihat dari segi aspek psikografis, pemberitaan mengenai Dwi Hartanto ini merupakan jenis media yang sebenarnya disukai oleh masyarakat modern. Masduki (2001:26) menjelaskan bahwa budaya mendengar dan membaca akan mempengaruhi rutinitas mendengar jenis informasi tertentu, masyarakat biasa serta berbagai gelaja perubahan dunia cenderung disukaiÂ
oleh masyarakat modern di perkotaan. Kita bisa menilik kembali, bahwa pemberitaan ini awalnya diberitakan melalui berita online yang sebenarnya cenderung dikonsumsi oleh masyarakat modern yang tinggal di perkotaan, kemudian konten dari pemberitaan tersebut juga sangat cocok dengan target yang dituju, sehingga berita ini merupakan salah satu berita yang disukai oleh masyarakat dan sempat menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Namun kembali lagi, jika kita melihat fenomena yang terjadi di sini, kecenderungan akan media yang menampilkan berita tersebut membuat adanya pergeseran nilai di dalamnya. Dapat dilihat secara jelas bahwa sikap media yang terkesan bebas begitu saja menyampaikan informasi, membuat khalayak menerima berita yang terkesan tidak terverivikasi. Berdasarkan teori efek media massa dalam teori jarum hipodermik yang digagas oleh Laswell pesan digambarkan seperti sebuah peluru ajaib yang memasuki pikiran khalayak dan menyuntikkan beberapa pesan khusus. Teori ini juga menjelaskan bagaimana media mengontrol apa yang khalayak lihat dan apa yang khalayak dengar. Khalayak dianggap homogen dan tidak mengerti apa-apa, oleh sebab itu media sangat berperan penting dalam memberikan konten berita yang positif. Oleh sebab itu, hal kebebasan yang dimiliki oleh media harus dilandasi oleh batasan tetentu, yakni tanggung jawab sosial dari media itu sendiri atas berita yang disampaikan.
Pada filsafat, tanggung jawab merupakan kemampuan seorang manusia yang menyadari bahwa segala tindakan yang dilakukannya pasti memiliki konsekuensi (Mufid, 2001: 243). Kebebasan yang dimiliki seharusnya dikelola dengan menggunakan norma yang merupakan tanggung jawab sosial, yakni sebuah implementasi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini, Media itu sendiri dalam menyampaikan berita tentu saja harus memikirkan bagaimana konsekuensi dari berita yang ditampilkannya. Media sebagai pilar demokrasi dan perwakilan bagi kedaulatan rakyat tentu saja memiliki peran untuk menerapkan standar tanggung jawab sosial itu sendiri, sehingga seharusnya media bisa menyajikan berita yang sesuai dengan koridornya.
(Sumber: Masduki. 2001. Jurnalistik Radio, Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. Yogyakarta: LKIS)
- Penutup
Kasus mengenai kebohongan Dwi Hartanto ini sendiri memberikan persepsi bahwa sebenarnya telah terjadi pergeseran dari apa itu hakikat media massa di Indonesia. Pemberitaan mengenai Dwi Hartanto pada awalnya merupakan usaha positif yang dilakukan oleh media untuk menjalankan fungsi sosialisasinya. Akan tetapi fakta yang diberikan kepada khalayak sekarang ini dapat menimbulkan dampak ketidakpercayaan khalayak terhadap berita yang disampaikan. Kasus ini merupakan salah satu contoh bahwa terdapat perubahan orientasi dari media massa itu sendiri. Jika media terus memberitakan berita yang kebenarannya terkesan masih dipertanyakan, maka bisakah masyarakat percaya kepada media massa saat ini. Secara etis, media massa seharusnya bisa memberikan pertahanan bagi masyarakat dalam menghadapi post truth era dimana kebenaran diabaikan, apabila kita telah melihat posisi media massa di dalam pemerintahan yang demokratis.Â
(Sumber: Semiawan, C. 2005. Panorama Filsafat Ilmu. Bandung: Mizan)
Daftar Pustaka
* Kovach, B dan Rosenstiel, T. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme. Diterjemahkan oleh: Yusi A. Jakarta: Pantau
* Mufid, M. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenadamedia
* Nurudin. 2003. Komunikasi Massa. Malang: Cespur
* Masduki. 2001. Jurnalistik Radio, Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. Yogyakarta: LKIS
* Semiawan, C. 2005. Panorama Filsafat Ilmu. Bandung: Mizan
* http://www.gresnews.com/berita/tips/451311-dasar-hukum-kebebasan-pers-di-indonesia/0/ diakses pada 17 Oktober 2017, pukul 23.19
Diakses di http://www.gresnews.com/berita/tips/451311-dasar-hukum-kebebasan-pers-di-indonesia/0/ 17 Oktober 2017, pukul 23.19
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H